Yang pertama kali bangun adalah Gladys. Perempuan itu hampir selalu bangun lebih dulu dari Jidan kalau mereka sedang tidur bersama. Kali ini saat matahari bahkan belum muncul ke permukaan, ia sudah bangun untuk membersihkan dan merapikan rumah, menyiram tanaman di halaman depan yang Jidan bilang sejak lelaki itu pergi kost, Sadewa yang mengurusnya karena sebelumnya Jidan yang selalu melakukannya.
Setelah itu, Gladys pergi untuk membasuh wajah dan sikat gigi sebelum pergi keluar untuk jalan-jalan pagi yang membuahkan hasil dengan membawa pulang dua porsi lontong sayur yang ia temui di ujung jalan. Dan saat ia pulang, ia melihat Jidan sedang berdiri cemas di depan rumah, celingukan mencari keberadaan Gladys, dan saat matanya sudah mendapati perempuan itu tengah berjalan santai membawa kantong lontong sayur itu, Jidan membuang napas lega.
"Udah bangun?" tanya perempuan itu setelah dengan ceria menunjukkan hasil temuannya, si lontong sayur.
"Habis dari mana?" Jidan memilih untuk bertanya alih-alih menjawab pertanyaan tersebut.
"Jalan-jalan, terus ketemu tukang lontong sayur, ya udah beli, lumayan buat sarapan." Gladys nyengir.
"Aku khawatir."
"Biasa aja kali."
"Aku bangun, tapi kamu nggak ada. Aku cariin ke seluruh penjuru rumah, aku panggilin nggak nyahut juga. Kamu nggak bawa hape juga."
"Ya ..., niatnya cuma jalan dikit ke depan, eh malah sekalian ngobrol sama ibu-ibu yang lagi beli sayur. Kebetulan tukang sayurnya deketan sama tukang lontong."
Jidan menatap tak percaya. "Kamu ngobrol?"
Gladys mengangguk. "Kamu nggak tahu kan kalau ibu yang rumahnya selang tiga dari rumah ini habis diselingkuhin sama suaminya? Heboh banget tadi ibu-ibu pada ngomongin. Terus ada tuh anak yang ngakunya kuliah di luar kota, eh ternyata jadi ani-ani. Seru banget kayaknya tinggal di sini, banyak dramanya. Aku bakal betah sih kalau tinggal di sini."
Jidan mencelus. Ia tak percaya kalau kemampuan bersosialisasi Gladys sudah ke tahap berbaur dengan ibu-ibu tukang gosip.
"Coba deh kamu berbaur sama mereka, pasti kamu betah."
"Aku nggak suka gosip."
"Itu bukan gosip, Mas Jidan. Itu fakta. Yang mereka omongin itu bukan sekadar gosip, tapi beneran nyata."
"Nggak suka ngomongin orang."
Gladys berdecih malas. "Ah, terserah. Padahal seru."
"Bukan masalah seru atau nggaknya, Gadis, tapi juga nggak baik. Ada banyak cara buat bersosialisasi sama orang lain, nggak harus dengan ngumpul sambil ngomongin orang."
Perempuan itu cemberut. "Jadi aku salah?"
"Nggak salah, tapi kalau bisa yang kayak gitu dihindari," jawab Jidan. "Aku nggak membatasi kamu buat ngobrol sama siapa pun, buat berteman sama siapa pun, tapi kalau topiknya udah ngomongin orang, lebih baik jangan."
"Iya, Mas Jidan."
"Pinter." Jidan menepuk-tepuk puncak kepala Gladys sembari tersenyum bangga. "Bukan maksud aku buat ngelarang ini dan itu ke kamu, tapi untuk hal-hal yang buruk, kamu harus coba ngurangin sampai ngehilangin kebiasaan itu, demi kebaikan kamu juga."
"Iya, Mas Jidan." Gladys benar-benar patuh.
Jidan mendesah. Lalu melangkah mendekat pada Gladys yang masih cemberut dan menundukkan kepala, ia memeluk perempuan itu. "Maaf jadi ngomelin kamu pagi-pagi gini."
"Nyebelin, tapi aku ngerti."
"Aku jadi sering ngomelin kamu, ya. Ngelarang ini itu ke kamu."
"Aku tahu maksudnya baik, tapi kalau kamu lagi ngomelin gitu tuh aku nggak nyangka kalau kamu ternyata secerewet itu." Gladys merenggangkan pelukan, menatap Jidan galak. "Kenapa kamu cerewet banget!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.