Setelah kenyang makan soto, Gladys mengajak Jidan untuk berjalan-jalan di taman kota. Ramai orang di sana yang jujur saja lebih cepat membuat Jidan lelah, ia ingin segera ke kamarnya, berbaring sendirian untuk memulihkan tenaga. Tapi melihat Gladys begitu antusias mengelilingi taman kota itu, mencoba jajanan yang satu ke jajanan yang lain seolah ia punya lambung yang sangat besar untuk menampung seluruh makanan yang masuk, juga tersenyum dan tertawa melihat anak-anak kecil yang bermain gelembung atau semacam baling-baling dengan lampu warna-warni yang dilemparkan ke atas lalu turun perlahan ke bawah, yang terkadang nyangkut ke ranting pohon di sana.
Gladys membeli satu untuk dirinya sendiri, tapi berakhir ia berikan pada seorang anak kecil yang nangis karena mainan baling-balingnya itu nyangkut di pohon padahal Gladys sendiri baru beberapa kali memainkannya.
Ia juga mengajak Jidan untuk naik delman, tapi Jidan jelas menolak. Bagaimana bisa ia ikut duduk di sana bersama anak-anak kecil? Menjadi seseorang yang besar sendirian di tengah para bocah ingusan. Tidak bisa.
Sayangnya, Gladys bisa.
Kalau Jidan menolak, bukan berarti menyurutkan Gladys untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa naik delman itu sendiri dan membuat Jidan terpaksa menunggunya dalam diam sendirian seperti orang hilang yang tak tahu harus apa dan harus ke mana selama Gladys dibawa berkeliling naik delman.
Mereka baru pulang setelah Jidan nyaris memohon untuk yang kesekian kalinya kalau ia sudah capek dan mau istirahat di kostan karena besok harus beraktivitas seperti biasa lagi.
Tapi lihat siapa yang tertidur sepanjang perjalan pulang!
Gladys.
Perempuan itu baru juga menempelkan bokongnya di kursi busway, sudah langsung menyandarkan kepalanya di bahu Jidan dan tak lama memejamkan mata. Bahkan ketika Jidan terpaksa membangunkannya karena sudah sampai, ia meminta Jidan untuk menggendongnya seperti tempo hari setelah berjalan sebentar melewati JPO.
Dan Jidan menurut. Rasanya tak tega melihat wajah lelah itu merengek sambil mengeluh kalau kakinya pegal dan badannya lemas semua, walaupun sebenarnya Gladys bisa menghindari hal itu kalau ia menurut pada Jidan untuk pulang lebih awal dan tidak terlalu bersemangat bermain di sana.
Gladys mengatakan ini adalah perayaan hari ulang tahun Jidan, tapi yang terjad justru sepertinya Gladys yang lebih menikmati perayaan itu tersebut dibandingkan Jidan. Tapi tak apa, toh Jidan senang ketika melihat dalam beberapa jam terakhir senyum Gladys tak surut menyertai bibirnya. Baginya, itu perayaan yang sesungguhnya.
"Pak Guru," gumam perempuan itu ketika tubuhnya sudah naik ke punggung Jidan.
"Iya, Gadis?"
"Gimana hari ini? Seneng nggak gue ajak makan soto sama jalan-jalan ke taman kota?" Matanya sedikit terbuka, melirik ke arah Jidan yang diam saja. "Pak Guru," tegurnya. "Kok nggak jawab, sih? Nggak seneng, ya?"
"Seneng kok."
"Kok!?" Gladys mencibir tak terima. "Kayak nggak seneng jawabnya."
"Seneng, Gadis." Jidan mendesah. "Saya harus gimana?"
Perempuan itu membuang napas panjang. "Iya, gue lupa kalau yang lagi gue ajak ngomong ini Pak Guru yang nggak punya banyak ekspresi."
Jidan mendengus.
"Jadi, apa doa lo buat umur yang baru ini?" Tiba-tiba pertanyaan yang tidak Jidan sangka-sangka terlontar. "Biar gue bantu aminin," katanya lagi.
Jidan diam cukup lama, sampai beberapa langkah ke depan, sebelum kemudian akhirnya ia berujar pelan, "Punya alasan lain buat tetep hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance[SELESAI] Jidan dan Gladys bertemu satu sama lain dengan membawa lukanya masing-masing. Berharap akan sembuh dengan menjalani hidup bersama sampai lupa bahwa mereka hanya untuk saling menyembuhkan, bukan untuk saling jatuh cinta.