#21 senang

582 115 7
                                    

Betapa terkejutnya Jidan saat ia membuka mata dan mendapati ada Gladys di sampingnya, tertidur di sebelahnya, dan memeluknya, menjadikan salah satu lengannya sebagai bantal sementara mata itu masih terpejam dengan begitu tenang. Kalau tidak ingat apa yang terjadi sebelum pagi ini datang, mungkin Jidan sudah melompat saking kagetnya. Tapi ia benar-benar ingat apa yang terjadi sampai mereka bisa tidur di atas kasurnya saat ini.

Mereka berciuman lama, sampai rasanya bibir mulai kebas, tapi tak ada satu pun dari mereka mau menyudahi pagutan bibir itu kalau Sadewa tidak tiba-tiba menelepon Jidan, yang menjadikan paksaan untuk mereka akhirnya saling melepas diri meski Gladys sempat enggan dan tanpa kata menyuruh Jidan untuk mengabaikan telepon tersebut dan lanjut ciuman saja dengannya.

Tapi ini Sadewa. Jidan tak mungkin melakukannya. Jadi saat lelaki itu akhirnya menjauh dengan duduk di tepi kasur, meninggalkan Gladys yang masih duduk di atas meja, Gladys menatap sebal Jidan yang mulai mengobrol dengan Sadewa. Dan dengan ide jahilnya yang muncul kemudian, Gladys turun dari meja, menaiki kasur, lalu berhanti di belakang tubuh Jidan. Memeluk leher lelaki itu dari belakang, menyandarkan dagunya di pundah Jidan, mencium pipi Jidan, mencium rambut, mencium telinga, mencium leher, mengusap dada, apa pun Gladys lakukan untuk mengganggu Jidan. Dan Jidan meski tak mengatakan apa pun pada perempuan itu, ia berusaha untuk melepaskan Gladys dari tubuhnya, walau sia-sia karena perempuan itu rasanya begitu menempel hingga Jidan terpaksa membuat alasan agar teleponnya lebih cepat berakhir.

"Gadis, kamu—" Jidan baru menurunkan ponsel dari telinganya, baru menoleh ke belakang untuk melihat perempuan yang sejak tadi mengganggu konsentrasinya, tapi ia belum sempat melayangkan protes karena Gladys langsung menyambar bibirnya dan kembali menciumnya.

Meski Jidan mengakui kalau ia suka ciuman, tapi ia mencoba untuk tetap waras dengan mendorong pelan tubuh Gladys hingga membuat pagutan itu terlepas, dan Gladys mencebik.

"Kenapa, sih? Gue mau cium lo!" katanya dengan nada kesal.

Jidan sudah duduk sempurna di atas kasur, menghadap perempuan itu yang bibirnya cemberut dengan tangan terlipat di dada. "Iya, tapi nggak gitu caranya, Gadis."

"Emangnya gimana harusnya? Ciuman ya gitu caranya."

"Bukan, bukan itu maksud saya. Bukan caranya ciuman. Tapi kamu gangguin saya tadi waktu saya teleponan sama Dewa, nggak boleh gitu."

"Kenapa sih lo itu banyak nggak bolehnya kalau sama gue? Nggak boleh ngomong kasar, nggak boleh teriak-teriak, nggak boleh nyetel musik dangdut pakai speaker, nggak boleh cemburu sama Mbak Kiul, sekarang nggak boleh gangguin lo waktu lagi teleponan sama Dewa. Lo nyebelin banget!" Gladys semakin ngambek. Tapi bukannya pergi dari sana, ia malah membanting tubuhnya ke kasur, membaringkan diri di sana, lalu memunggungi Jidan.

"Gadis, tapi maksud saya baik. Kamu nggak boleh ngomong kasar, nggak boleh teriak-teriak, sama nggak boleh nyetel musik dangdut keras-keras tuh karena takut orang lain yang dengernya nggak nyaman, takut ganggu, dan nanti mereka sebel sama kamu."

"Terus kenapa gue nggak boleh cemburu?" tanyanya tanpa mencoba untuk menatap Jidan.

"Cemburu boleh, tapi saya rasa harus lihat kondisi. Kalau kamu lihat saya deket sama perempuan lain dengan cukup mesra, kamu boleh cemburu. Saya terima. Ini kan saya cuma nerima hadiah pemberian dari Kia yang nggak mungkin saya tolak, lagian pagi tadi juga kamu yang nyuruh dia buat beli hadiah buat saya, kan?"

"Terus kenapa gue nggak boleh gangguin lo? Gue suka gangguin lo." Masih dalam posisi yang sama, hingga membuat Jidan mendekat, menyetuh tubuh itu agar berbalik hingga mereka bisa saling bertatapan.

"Gadis, saya lagi bicara di sini."

Gladys masih tetap bersiteguh dengan pendiriannya untuk tak menatap Jidan.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang