"Menurutku, mata ajaib itu memiliki fungsi lain. Mungkin saja, kau menaruh perasaan dan harapan kepada target memanahmu. Sehingga, para target itu akan menaruh rasa yang lain juga pada hatimu, lalu mereka dengan sangat ikhlas menyerahkan nyawa mereka kepadamu, Tuan Phyre. Percaya aku!" kata Kalandra.
Pernyataan itu terus berenang-renang di benakku. Mengusik malam-malam tenang yang biasanya diisi oleh kantuk. Kini, aku bahkan tidak bisa mengedipkan mata.
Aku memahami betul maksud dari perkataan Kalandra. 'Target akan menaruh rasa pada hatimu'. Iya, aku mengakui hal itu. Semenjak kecil, memanah bukan lagi sekadar hobi, tetapi sebuah kecintaan tersendiri yang mungkin melebihi rasa cintaku kepada gadis-gadis yang kini juga sedang mencintaiku.
Cakrawala membentang luas dengan warna biru pekat yang bergradasi langsung dengan warna biru yang lebih muda darinya. Pun, di tengah kedinginan ini, Bulan turut hadir menemani sepinya malam.
Di atas dipan, aku terduduk sembari menikmati ketenangan malam dengan cara membuka jendela kamar. Suara serangga menambah suasana ramai pada malam.
Mengenai 'aku sebagai keturunan pemanah hebat' terkadang juga bisa berpikir tentang 'siapa sebenarnya sesosok di balik figur Ayah yang selama ini hanya ada di dalam dongengan Ibuku?' secara, semua keunggulanku tak mungkin hanya didapatkan dari seorang wanita bernama Zaphire saja. Pasti ada sedikit gen dari Ayah yang menempel lekat pada diriku.
Di tengah asyik-asyiknya melamun, pintu kamar terbuka lebar. Menampilkan bayangan yang amat kukenal, Ibuku. Dia hadir membawa senyuman hangatnya. Seakan terus meyakinkanku, bahwa semua akan terjadi dengan baik-baik saja.
"Apa yang membuatmu bingung, Phyre? Tanyakan saja kepadaku." Wanita itu berkata dengan intonasi yang lembut, membuat gundah di dalam dada hilang seketika.
"A-aku? Tidak ada. Kurasa, aku hanya kesulitan untuk memejamkan mata." Aku menjawab, yang pastinya dipenuhi oleh alibi.
"Begitu, ya?" tanya Ibu, menampakkan raut kekecewaannya jika aku benar-benar tidak ingin berkeluh-kesah di hadapannya.
Diamnya kami memakan waktu yang cukup lama, menyibak kehangatan yang tercipta, menciptakan kecanggungan yang cukup menyebalkan. Akhirnya, kami saling tatap dalam hitungan detik.
"Aku ingin membicarakan tentang Akademi Stelis. Apapun alasannya, kau harus tetap datang ke sana untuk menempuh pendidikan yang lebih baik lagi. Selama berada di ακαδημία τοξοβολίας [akadimía toxovolías]¹ kau jarang mengikuti kelas karena guru yang datang pun juga tidak patuh pada aturan. Sedangkan aku sudah berkali-kali mengingatkan bahawa kau harus memiliki persiapan jika suatu saat mereka datang kepadamu untuk menantang berperang." Ibu memperingatkan hal itu lagi. Muak? Tentu. Dalam sehari, aku bisa mendengar Ibu membahas tentang akademi-akademi itu lebih dari lima kali.
"Sedangkan Akademi Stelios Kourelis — Stelis, Ibu tahu betul jika akademi itu benar-benar mendidik para muridnya dengan baik. Kau tidak hanya diajarkan memanah saja, tetapi banyak ilmu bertahan dan bela diri yang akan kau dapatkan di sana. Memiliki fasilitas bagus, sekaligus sistem yang super ketat. Dipastikan tidak akan ada yang bisa keluar dari sana sebelum benar-benar dinyatakan lulus," sambungnya. Aku menghela nafas.
Menurut kabar yang beredar, Akademi Stelios Kourelis merupakan akademi rahasia yang tidak dapat didatangi oleh orang-orang biasa. Letak gedung akademi itu berada di belakang Bukit Horin — salah satu bukit yang memang berada di sekitar sini. Banyak orang yang berusaha membobol akses ke akademi itu melewati jalur sihir, tetapi selalu dapat ditangkis dengan kesalahan sistem yang selalu muncul dengan tanda-tanda gerbang utama akademi yang tiba-tiba menyetrum dan tanda-tanda aneh lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELPHI: The Magic Crossbow
ФэнтезиDelphi adalah area suci milik Apollo yang biasanya digunakan masyarakat untuk menerima ramalan yang dituturkan langsung oleh Pythia. Selayaknya tempat suci yang lain, Delphi juga sangat dijaga ketat oleh manusia, nymph dan satir, serta para Olympian...
