Delphi yang Tak Lagi Asri

19 3 0
                                        

Panah yang menancap pada bagian belakang pergelangan kaki. Apollo pernah melakukan yang serupa pada Achilles. Tak heran, apabila bagian belakang pergelangan kaki ini juga disebut sebagai tendon Achilles. Panah ini menciptakan rasa sakit yang teramat, kaki ini rasanya seperti akan putus. Aku menjerit, menahan tangis meski itu susah. Sementara Apollo terus tergelak meledek, Kenn berusaha merangkak sembari menyeretku.

"Mau lari ke mana, Nak? Percuma, Delphi adalah wilayahku. Kau dipastikan akan mati pada saat ini juga!" Suara Apollo mampu membuat kami terperanjat. Aku benar-benar sudah menangis. Wajarlah, aku hanya seorang anak kecil yang terpaksa melakukan ini semua.

Lebih gilanya lagi, aku baru menyadari jika monster yang dimaksud oleh Ibu adalah Apollo. Ibu menolak ketika aku mengatakan bahwa akan ada monster yang menyerang diriku. Ibu menyatakan, bahwa monster itulah yang memberi ramalan padanya. Dan monster yang ia maksud ialah Apollo.

Demi Zeus! Terkutuklah, wahai Apollo!

Aku berusaha menggapai kalung bulan sabit ini. Berharap semoga Artemis mau membantu kami. Nyatanya tidak. Berpuluh-puluh menit berlalu, Artemis tak kunjung hadir.

Meski sedang terancam, Kenn memilih untuk duduk bersandar pada tembok Oracle Delphi. Entah sedang merapalkan mantra apa, Kenn berani-beraninya mencabut kedua anak panah, satu di tangan dan satu di kaki. Selanjutnya, darah membanjiri lantai oracle.

Elang semakin memeluk kesenangan, dia terbang mengintai aku dan Kenn, membuat kami takut setengah mati. Apollo berjalan santai ke arah kami, dengan tubuh tegap sempurnanya, elang mengekorinya. Akibat tubuh amat atletis, pintu hampir tidak muat ketika Apollo hendak masuk. Ia membelakangi cahaya Matahari, menciptakan bayangan seperti monster — sebetulnya dia memang monster.

Dengan tersenyum miring, dia berjongkok di depan aku dan Kenn. Kenn menatapnya sinis, aku terbaring ketakutan. Tangan kekarnya bergerak menyentuh kaki kami. Aku sempat menghindar, tetapi gagal karena  tubuhku terlalu lemah. Darah keluar dari dada dan kaki, menyebabkan diriku hampir mati.

Untuk berjaga-jaga, Kenn mengambil anak panah bekas dari kakinya, anak panah yang sudah merah dibalur darah. Aku berusaha tidak membuka mata karena saking terkejutnya melihat banyaknya darah yang tumpah.

Sekali lagi, Apollo menyentuh pergelangan kaki kami. Tidak ada hal aneh di sini. Hanya saja, dia langsung menyeret kaki aku dan Kenn secara tiba-tiba. Membuat kami berteriak. Kenn yang memegang anak panah berusaha menancapkannya ke lengan Apollo yang tersaji langsung di hadapannya.

"Kau akan menyerang musuh menggunakan senjata yang dirakit oleh musuhmu? Dengar, Kenn! Aku ini Dewa Pemanah. Sekalipun kau ingin menancapkannya ke tanganku, silakan saja, aku tidak akan terluka. Apalagi, panah itu sudah bekas. Aku ini Dewa Wabah sekaligus Dewa Penyembuh. Putraku — Asclepius sudah terkenal mendunia karena dia selalu bisa menyembuhkan segala jenis penyakit!" Apollo berceloteh panjang lebar sembari terus menyeret kaki kita berdua.

Mirisnya, punggungku yang sempat mulus harus kembali tergores lantai yang terbuat dari batu ini. Janganlah kalian membayangkan bahwa lantai di sini sudah semulus lantai di Akademi Stelis. Karena gesekan antara kulit dan batu inilah, menyebabkan darah kembali keluar dari punggungku. Kenn sepertinya biasa saja, dia tidak menampilkan ekspresi apapun. Aku menduga bahwa Kenn sudah terlalu muak dengan semua ini. Dia ingin membunuh Apollo secepat mungkin, meski itu sulit karena Apollo adalah makhluk immortal.

Ukiran yang berada di dinding Delphi sudah tidak indah lagi. Aku menyebut ini sebagai arena uji coba Tartarus dalam dunia atas. Iya, Oracle Delphi yang kukira ramah, melindungi, dan tidak semenyeramkan ini, justru malah sebaliknya.

Aku merasa putus asa dengan nasib kami. Entahlah, apa Nyonya Dynn benar-benar memberi saran yang tepat? Ataukah, dia memang sengaja ingin membunuh kami secara perlahan lewat siksaan ini?

Detik kian melambat, aku tak dapat mengharapkan kehadiran menit, bahkan akan mati sebelum satu jam hadir. Sepanjang puluhan meter, Apollo menyeret kami tanpa iba. Kulitku terkelupas secara paksa. Aku hampir tak tahan lagi, aku memejamkan mata, tetapi Kenn berusaha membangunkanku.

"Kita harus tetap sadar," ucapnya pelan. Tentu saja, Apollo mendengarnya.

Geram dengan Apollo yang berani bermain-main dengan anak kecil saja, Kenn langsung menancapkan mata panah ke tangan Apollo, membuat Tuan itu menoleh seraya mengernyitkan dahi. Aku terkejut ketika samar-samar melihat anak panah yang semula utuh langsung patah ketika diusahakan menancap pada tangan Apollo.

Melihat kami yang kebingungan disertai takut, Apollo semakin leluasa bergerak. Dia mempercepat jalannya. Tubuhku serasa tidak berkulit lagi.

Aneh? Memang. Aku juga baru menyadari jika sejak tadi aku memakai baju zirah. Namun, baju ini nyatanya tak mampu bertahan setidaknya untuk menyelamatkan diriku. Bagian belakang baju ini robek tak bersisa, membuat tulang di tengah darah terlihat menggelikan jika ditatap.

Rasa panas terus menjalari tubuh, badan serasa melepuh. Sampai akhirnya, Apollo menghentikan kami di sebuah ruangan — tempat panah milik Ibu disembunyikan. Rasanya lebih jauh dari aku berjalan sendiri. Apakah Apollo melewati jalan lain? Entah juga.

Di sana ternyata sudah ada seekor hewan — apa itu? Hewan berperawakan besar, mirip banteng Ethiopia. Ketika membuka mulut, terlihat siungnya seperti milik babi hutan. Ia juga memiliki tanduk, sepanjang lebih dari satu hasta. Makhluk sebesar kuda nil ini memiliki ekor gajah dengan warna kuning kecoklatan. Dia menatap aku dan Kenn dengan nyalang, seakan ingin memangsa kita saat ini juga.

Aku tidak tahu pasti, yang di depan kami itu makhluk apa. Apollo menutup pintu yang sebelumnya aku tidak sadar jika di sini ada pintu. Pencahayaan nyaris kosong, alias gelap. Tidak ada cahaya apapun yang masuk ke sini, selain kemilaunya busur panah yang menggantung di dinding sana.

"Yale, kau awasi kedua makhluk jelek ini. Aku akan mengambil itu!" Apollo berjalan menuju busur panah yang sebelumnya memang akan aku ambil, sedangkan Yale — nama makhluk itu, bergerak menghampiri kita berdua. Kenn sudah terlihat lemas karena sejak tadi emosi, aku juga begitu.

Ketika Yale mendekat dan Apollo berhasil mengambil busur panah itu, udara di sekitar sini mendadak panas. Menyebabkan dagingku semakin melepuh, tulangku juga meleleh. Seperti air mata yang kini sudah membanjiri.

Kekuatan ilusi Kenn sudah tidak dapat diandalkan lagi ketika dalam situasi seperti ini. Satu-satunya cara agar terus hidup: meminta kepada Ayahansa-Ibunda Dewata masing-masing. Namun, aku hendak meminta kepada siapa?

Aku hanya menangis, apalagi ketika melihat Apollo semakin bersinar sembari membawa busur panah yang seharusnya dibawa oleh diriku. Apollo mendekat ke arahku, lalu menyerahkan busur itu. Aku tidak menggapainya, percuma saja. Dia pasti sedang mengelabui kita.

"Ini yang kau cari, bukan? Sebetulnya, aku tidak benar-benar membencimu. Aku hanya benci ... mengapa busur sebagus ini jatuh pada tangan orang yang salah? Ini seharusnya menjadi milikku, atau jika Hephaestus tidak sudi, biarlah benda ini berada pada Museum Olympus. Terdengar lebih pantas, dari pada dipegang oleh kalian-kalian para sialan itu!" Sesuai dengan dugaanku, Apollo langsung berdiri tanpa benar-benar menyerahkan busur itu padaku.

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Apollo. Sepertinya, ini adalah masalah dewata, atau jika tidak, Apollo memiliki masalah sendiri dengan Ibuku. Namun, dendam yang ada pada diri Apollo sangatlah besar.

Dalam gelap, aku melihat Apollo mengamati busur indah itu. Ketika firasatku tidak enak, ini semua langsung terbukti. Beberapa saat setelah Apollo mengamati busur itu, dia memegangnya di kedua sisi. "Aku akan mematahkannya, dari pada menyebabkan malapetaka," ucapnya.

Sisa tenagaku hanyalah sedikit. Namun, emosiku sekarang sudah meninggi. Aku berusaha berdiri untuk meraih busur panah itu. Namun gagal. Puncaknya, aku mengambil busur panahku sendiri, lalu mengarahkan pada Apollo, tentu saja membuat Yale marah. Hewan menyebalkan itu langsung berlari ke arahku.

"Aku tidak sejahat itu kepadamu, Nak. Tidak seperti mereka-mereka yang selalu egois. Baiklah, aku akan pergi, busur ini akan aku bawa. Selamat bersenang-senang!" Apollo berjalan ke luar pintu, elang mengikutinya.

Tinggallah Yale dengan segenap amarah sedang menatap aku dan Kenn dengan penuh api-api. Kenn berusaha mengajak diriku untuk kabur, bagaimanapun caranya. Kita sempat berdiri, tetapi Yale langsung menubruk badan lemah ini.

Aku dan Kenn terpental jauh, membentur tembok oracle. Hingga, kita tak sadarkan diri, atau memang mati.

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang