Selamat Datang, Angin Pemanah

39 15 19
                                        

"Tiga belas tahun yang lalu, Ibumu ini bertemu dengan seorang lelaki, tidak muda. Tetapi dia masih tampan, dia baik. Kami saling jatuh cinta, kami melakukannya, dan kau hadir di tengah-tengah kami, Phyre. Dewa dengan hobi memanah itu, pasti kau tahu, bukan? Kau dapat menyimpulkannya sendiri. Aku amat mencintainya walau dia brengsek! Percaya tak percaya, kau adalah putranya. Kau berhak masuk ke dalam Akademi Stelis dengan alasan itu."

Mataku terbelalak lebar, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, separuh dari ragaku terasa seperti terkena sambaran petir Zeus beribu-ribu kali. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Pernyataan ini mampu membuatku terpaku sangat lama. Lantas, menatap wanita di sampingku ini yang tengah menitikkan air matanya.

Masih dalam posisi terkejut, Ibu lantas memeluk diriku dengan cukup erat, aku susah bernafas. Wanita yang sejak kecil selalu berusaha untuk membahagiakan diriku, rupanya dia menyimpan rahasia sebesar ini. Benar katanya, aku terlampau kecil untuk memahami 'jati diriku sendiri'.

"Maafkan aku, Phyre! Maafkan aku," katanya dengan nafas yang terputus-putus, membuat diriku semakin merasa iba.

Sejujurnya, aku tidaklah marah dengan Ibu. Mau siapapun lelaki yang pernah dicintai, terserah saja, asalkan lelaki tersebut benar-benar baik kepada Ibu. Sebab, aku juga pernah membenci 'sosok Ayahku' yang belum pernah hadir di kehidupan kami berdua. Kupikir dia lelaki yang tidak bertanggung jawab. Rupanya, dia adalah dewa?

Di tengah keharuan yang melanda, aku melihat ada cahaya putih datang dari langit, cahaya itu hampir bisa menerangi malam yang mulai datang. Aku terpaku sejenak, sembari menyipitkan mata karena silau. Ibu yang semula berada pada dekapanku, kian menatap cahaya tersebut. "Itu apa?" tanyaku lirih.

Jantung berdegup lebih kencang ketika melihat cahaya mulai sirna, digantikan dengan siluet kereta kencana yang ditarik oleh dua kijang bersayap nan kian detik kian mendekati rumah kami. Ibu langsung berdiri, ia menghampiri kedua wanita itu memakai chlamys yang dikhususkan untuk wanita, berwarna biru safir, masing-masing dari mereka memiliki kalung dengan bentuk lingkaran tidak rapi — aku menganggap bahwa kalung tersebut merupakan kalung berbentuk angin, yang juga berwarna biru senada. Mahkota mereka merupakan ranting pohon oak yang dimodifikasi sedemikian uniknya, di tengah mahkota tersebut juga terdapat lambang bulan sabit.

"Selamat sore, Nyonya Ivy dan Nyonya Kaia. Senang akhirnya kalian meluangkan waktu untuk menjemput putra saya, Zephyr," sapa Ibu dengan lembut.

Aku masih ternganga, tidak percaya melihat kereta kencana yang benar-benar didesain dengan fantastis! Atapnya berkilauan dengan warna biru berlian, adapun tempat duduknya diberi warna dongker. Tetapi, penyangganya mungkin terbuat dari perak, karena terlihat langsung dari warnanya.

"Terima kasih atas sambutan baiknya. Kami sangat senang bisa menjemput Zephyr, sebab itu semua sudah menjadi tugas kami untuk menjemput para demigod yang akan segera dilatih." Yang itu, entah Nyonya Ivy ataupun Kaia, keduanya sangat mirip, mungkin saja memang kembar. Sedangkan diriku tidak mengenali mereka berdua.

"Merupakan suatu kehormatan bagi kami, sebab Nyonya Illiana mau menyerahkan putra Anda untuk dilatih," kata yang badannya lebih pendek.

Ibu menanggapi mereka dengan senyuman, Ibuku memang murah senyum. Sementara diriku segera mengambil sebuah ransel besar karena wanita yang bertubuh lebih tinggi dari yang satunya mulai melambaikan tangan — pertanda menyuruhku untuk segera berangkat.

"Phyre, kau tidak boleh membuat kerusuhan di sana! Tugasmu adalah berlatih dan teruslah berlatih, Ibu akan menunggu kepulanganmu, Sayang!" Aku yang semula sudah akan naik ke kereta kencana ajaib ini, seketika menoleh, mendapati Ibu sedang tersenyum menahan tangis untuk mengantarkan keberangkatan diriku.

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang