Sphinx Berwajah Iblis

13 4 0
                                        

"Suatu kehormatan besar bagi kami, karena Dewa Averruncus dan Dewi Agrotera berkenan datang kemari untuk menolong kami!" katanya. Dewi Agrotera hanya diam, sedangkan Déwa Averruncus terlihat semakin angkuh karena dipuji.

Kami melongo mendengar penuturan dari Athanasía, Kenn yang semula pingsan pun tersedak ramuan yang dipaksakan masuk ke mulutnya oleh Nyonya Heavesy.

"Oh, beruntungnya kami dapat diberi kesempatan untuk bertemu serta dibantu oleh kalian. Terima kasih! Terima kasih karena menyempatkan untuk hadir," puji Chiron penuh kekaguman. Aku masih menganga lebar, Alaric langsung menampar pelan pipi kananku, membuat bibirku segera mengatup rapat-rapat.

"Kalian begitu keren! Aku juga ingin kuat seperti kalian!" Selena tiba-tiba angkat bicara.

"Biasa saja," balas Averruncus — sebut saja Apollo dengan lagak besar kepalanya.

"Kau sombong, angkuh seperti Cyra. Sayangnya, gadis itu sedang tak ikut dalam misi ini." Selena membahas tentang Cyra — si demigod keturunan Apollo yang kala itu enggan disuruh melakukan lempar cakram karena masih terkena tekanan mental akibat kejadian buruk yang menimpa Hyacinthus.

"Maaf, Cyra itu siapa?" tanya Apollo, intonasinya menyiratkan bahwa dia amatlah penasaran.

"Dasar bodoh! Kau sangat hobi bergonta-ganti pasangan, Dik! Cyra adalah salah satu putrimu yang juga seorang akadmia di Stelios Kourelis. Hentikan perdebatan tidak berguna kalian itu! Sekarang, kita akan mencari jalan untuk membunuh Empusa dan keluar dari hutan ini." Artemis melerai perdebatan yang hampir memanjang antara Selena dan Apollo. Barulah ketika Artemis mengatakan bahwa Cyra merupakan keturunannya, Apollo langsung berjalan meninggalkan kami, dia agaknya malu.

Perlu diketahui, mereka datang tidak dalam wujud aslinya. Dewa-dewi Olympus dapat datang dalam wujud apapun. Makhluk fana seperti kami, niscanya tidak akan kuat melihat wujud asli dari para dewa-dewi Olympus. Manusia bisa jadi langsung meledak dan meninggal pada detik pertama ketika mereka diperlihatkan kedewataan mereka.

Kami berjalan perlahan menyusuri hutan ini. Kenn sudah tidak repot-repot lagi untuk mengendalikan ilusinya, dewa-dewi di depan kami sudah melakukannya, Kenn bahkan ditumpangi oleh Chiron — lucunya, Kenn duduk di punggung kuda Chiron seperti kesatria loyo penunggang kuda berkepala manusia.

Aku berjalan seraya dituntun oleh Alaric. Para nymph tetap memaksa berdiri meski keadaan mereka belum cukup baik, Athanasía sendiri berjalan sembari berpegangan dengan Nyonya Heavesy.

"Nanti kita akan berhenti di suatu titik — di mana ada mayat rekan kami masih di sana. Sebelum kami ditangkap oleh nymph jahat yang menahan kami. Kepergiannya sungguh tragis, biarlah Ibunda Demeter yang memeluknya di dalam keabadian." Seorang Dryad bernama Nyonya Taly melaporkan kedukaan mereka dengan suara yang bergetar, ia pasti sedang menahan tangis.

Tidak ada yang berani menyahuti. Aku yakin, mereka pasti sungkan dengan keberadaan Artemis dan Apollo. Tak heran apabila mereka memilih untuk bungkam. Padahal, jika kedua makhluk immortal itu tidak ada di sini, kita semua niscanya akan menjadi kelompok yang gaduh, penuh tawa meski sebentar lagi akan kehilangan nyawa.

70 meter dari gerbang pohon damar itu, kita sudah disambut ramah oleh sesosok hewan aneh, yang mana ia memiliki paha singa bersayap elang, bukan Griffin karena dia berkepala manusia, kepala wanita itu memiliki rambut panjang yang berasal dari api, dia juga memiliki taring tajam. Pastilah sosok Sphinx di depan kami adalah Empusa. Raja terakhir dalam pertarungan ini setelah beberapa anak buahnya mengalami kekalahan. Kemunculannya dibarengi oleh suara seruling yang beradu langsung dengan auman singa. Kelompok kami mundur beberapa langkah, kecuali kedua makhluk immortal di depan kami itu.

Auman itu semakin keras, seruling menambah kesan menyeramkan karena tidak ada yang membunyikannya. Dalam situasi tegang ini, Averruncus alias Apollo yang juga menjabat sebagai Dewa Musik masih sempat mengomentari suara dari kedua hal yang saling bertabrakan itu.

"Selera musik Si Penyihir amatlah buruk. Seruling untuk ular, semestinya berada pada 440 Hz, dia malah menambahnya hingga pada 445 Hz, meski tertambah sedikit, suaranya jelek. Aku membenci itu. Seingatku, dia datang pada saat ulang tahun Hecate — Ibundanya, sembari membawakan lantunan musik yang keren. Mengapa sekarang jadi anjlok se—"

"Lantas, apa kontribusi celotehanmu terhadap keselamatan kita semua?" tanya Artemis, Apollo langsung terdiam.

Sphinx berwajah Empusa semakin mendekati kami. Dia berjalan pelan dengan empat kakinya, kedua sayap tak berhenti mengepak, membuat kijang bersayap gatal ingin mengimbangi kepakan indahnya, jika kijang tidak dalam keadaan cacat.

Chiron berjaga-jaga membawa tombaknya, aku sendiri sudah memasang anak panah. Perlu kalian ketahui, tindakan ini pastinya merupakan tindakan konyol. Bagaimana tidak? Aku remaja kecil, bermain-main panah yang kata Apollo sendiri merupakan senjata untuk orang dewasa. Aku bermain-main panah, di depan Dewa dan Dewi Pemanah. Lucu, bukan?

Namun, tidak ada yang salah selagi semua itu digunakan untuk berjaga-jaga. Tuan Satir menyiapkan tameng berlogo angin dengan warna biru mengilap, di tengah logo angin itu terdapat cucuk tajam. Alaric juga sudah siap meski tanpa alat sedikitpun. Dia berkuasa penuh atas air di sekitar sini.

Empusa menampilkan wajah garangnya, sekalipun tak membuat kami takut. Dengan menampilkan taring tajamnya, Empusa bergerak gesit menerkam ke arah Athanasía yang berdiri di samping Artemis. Empusa menjatuhkan tubuh Athanasía. Cakar tajamnya hampir merobek kulit wajah Athanasía. Empusa bahkan sempat berteriak di depan wajah Athanasía, membuat Pemburu Artemis itu berteriak kencang sembari berusaha melarikan diri.

Melihat aksi gila yang dilakukan oleh Empusa, Artemis dan Apollo segera mengarahkan busur panahnya. Artemis lebih dahulu menarik tali busur, membuat anak panah melesat lebih cepat. Pergerakan Sphinx pun tak kalah cepatnya. Dia berlari tepat saat panah jatuh mengenai lengan Athanasía. Sphinx berlari menjauhi kelompok kami. Membuat Apollo segera mengejarnya. Artemis sendiri langsung mencabut anak panah dari lengan Athanasía, dia juga menyuruh Nyonya Heavesy untuk mengobati luka-luka Athanasía.

"Anak-anak, kalian di sini saja! Aku dan saudaraku yang akan menangani Empusa. Kalian akan terluka jika ikut campur dalma urusan ini. Soalnya, Empusa benar-benar mengerahkan seluruh sihirnya dalam misi kali ini. Tunggu di sini!" Artemis berlari lajak ikut bersama saudaranya dalam mengejar Empusa. Empusa sangat pandai, ia bahkan sesekali hinggap di pohon bagaikan burung. Membuat Apollo sendiri agaknya kesusahan.

Meski lingkup pelarian Empusa hanya di sekitar situ, tetapi gesitnya mampu membuat kedua makhluk immortal itu kewalahan. Artemis membidikkan panahnya secara asal, sayang malah mengenai batang pohon.

Empusa mulai beraksi, terlihat dari bibirnya yang berkomat-kamit lalu api yang lebih besar muncul sebagai hiasan kepalanya. Api-api itu melahap hutan, membuat Alaric ikut dalam pertarungan.

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang