Puncak Kulminasi Ketakutan Kita

18 2 0
                                        

Aku dapat melihat secara pribadi, sembilan nymph lemas, Athanasía berusaha memberontak dari tali sihir yang menyesakkan dirinya itu. Aku sendiri diambang dilema. Kenn pingsan mungkin karena melihat api yang berkobar, dia agak trauma dengan api yang menyantap tumbuhan dengan nikmat. Monster besar di hadapanku, seakan sedang menertawakan nasib menyebalkan ini. Juga, para tahanan meski terdiam seakan-akan menjerit meminta bantuan.

Biar kujelaskan. Jadi, monster yang berdiri di depan kami merupakan sesosok Yeti. Dia adalah monster kutub yang berkulit putih, wajahnya agak mirip dengan monyet, memiliki gigi yang lengkap dan juga tajam. Cakar mereka berwarna hitam, yang pasti tak kalah tajamnya dengan gigi mereka. Ukurannya tiga kali lebih besar dari manusia. Yeti sebetulnya berasal dari wilayah Pegunungan Himalaya di Nepal dan Tibet. Orang-orang Nepal juga menyebutnya Bonmanche yang berarti "manusia liar" atau Kanchanjunga rachyyas yang berarti "Iblis Kanchanjunga."

Entah bagaimana caranya, Empusa bisa menyewa Yeti dari luar negri hanya untuk melumpuhkan makhluk fana seperti kami: aku dan Kenn, para nymph, dan Pemburu Artemis yang mungkin saja lebih lemah dari Empusa sendiri.

Yeti yang bulu dadanya mulai tipis - karena hidup di tempat yang bukan habitat asalnya, dia mengubah posisi yang semula berdiri menjadi jongkok. Badannya yang besar, menjadikan diriku seperti seekor semut jika dihadapkan dengannya.

Tangannya yang lebih besar dari tubuhku mulai bergerak. Hal pertama yang aku lihat, dia berusaha menggapai kijang bersayap. Yeti menarik sayap kijang milik kita dengan enteng, dia bahkan tinggal mengangkatnya dengan satu jari. Aku mendesis ngilu ketika mendengar bunyi KREKKK yang dihasilkan dari sayap kanan kijang. Kijang itu melolong keras, suaranya bukan lagi seperti anjing, melainkan seperti serigala kelaparan.

"Pendiri akademi yang katanya jenius, rupanya bodoh. Untuk apa kalian mengirimkan makhluk lemah seperti mereka? Cuih, memakan ketiga makhluk lemah ini takkan membuat diriku kenyang," ejek Yeti seraya menampilkan gigi tajamnya.

Kijang bersayap berusaha memberontak, lolongan kerasnya menciptakan pilu yang membuat diriku segera menarik tali busur panah, dan melepaskan anak panah menuju Yeti sialan itu.

Sepertinya, sialan bukanlah kata yang tepat untuk menunjuk Yeti tersebut. Justru, akulah yang merasa sial. Panah itu hanya mengenai buku lebat Yeti, panah itu meleset jauh, tidak melukai Yeti sedikitpun. Monster jelek berburu putih terbahak asyik ketika melihat diriku frustasi.

"Anak pintar. Kau pasti rajin berlatih. Kekuatan memanahmu cukup bagus, haha. Yang barusan ini, berhasil menghibur diriku, Nak." Yeti itu semakin tertawa, membuat kijang bersayap berbentrokan dengan dada halus Yeti. Dia semakin melolong seakan menangis.

Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku menyeret Kenn menjauhi Yeti. Tubuh Kenn lemas karena dia pingsan. Yeti sedang bermain-main dengan kijang. Aku akhirnya membiarkan Kenn terbaring sendirian, dan berjalan menuju Yeti sialan.

Aku memberentang busur panah dengan bernas kemurkaan, wajah menyebalkan Yeti membuat diriku semakin benci dengannya. Sementara kijang terus dimainkan oleh Yeti, anak panah keduaku meluncur bebas ke badan Yeti.

Sayangnya, akibat ukuran kami berbeda jauh, Panah itu hanya mengenai kuku tangan Yeti yang keras. Itu sama-sekali tidak menyakitinya. Malahan, panahku yang patah.

Mula-mula, Yeti tidak merasa terusik ketika aku mencoba memanah dirinya dari jarak jauh. Percobaan kedua meleset karena Yeti sempat menghindar, percobaan ketiga sempat gagal karena Yeti dapat menangkap anak panah itu dan mematahkannya. Aku sangat frustasi. Di sini tidak ada yang bisa membantu kami.

Akhirnya, aku kembali melepaskan dua anak panah sekaligus. Yang satu jatuh ke tanah, yang kedua malah hampir mengenai kijang bersayap, tetapi kijang dapat menggeser tubuhnya sendiri, sehingga panah itu mengenai Yeti, meski dia terlihat baik-baik saja.

Melihat kelima percobaanku gagal, Yeti tergelak meledek, kijang kembali terguncang di dalam genggaman Yeti. Aku melihat sendiri bahwa kijang itu telah lemas karena tulang-tulangnya — mungkin saja patah. Aku jadi ingin teriak memanggil nama Chiron untuk membantu kijang kami.

"Lihat siapa yang akan menang, Yeti Keparat!" Tak ingin mengulur waktu lagi, aku kembali melepaskan anak panah. Sayangnya, Yeti malah berdiri, dia melemparkan kijang begitu saja, membuat bunyi patahan tulang kembali terdengar nyaring dan menyayat.

Aku mundur beberapa langkah ketika Yeti menghampiri diriku. Tadi dia tertawa konyol, terhibur dengan aksi kurang heroikku. Kali ini, wajahnya berubah berangsang. Matanya berkilat, ia juga sempat menunjukkan taring, mungkin akan menakut-nakuti diriku.

Aku mundur sampai terantuk bebatuan besar, membuat tulang ekor yang baru saja sembuh kembali terasa nyeri.

"Sudahkah kau puas dengan permainan panahmu tadi, Tuan?" tanya Yeti, intonasinya menyuarakan jengkel bukan main, karena aku sempat bermain-main anak panah yang dianggap senjata orang dewasa baginya.

"Saatnya aku bergerak untuk membalasmu!" pekiknya penuh gelora. Aku hanya menelan ludah ketika dia berusaha kembali berjongkok, dan tiba-tiba saja menyambar diriku seperti yang ia lakukan kepada kijang tadi.

Badanku terasa remuk ketika bertumbukan langsung dengan tulang Yeti yang kerasnya melebihi batu. Aku menoleh ke arah Kenn yang berusaha bangun, ia tampak terkejut ketika melihat diriku sudah berada pada genggaman Yeti. Kenn berusaha bangun dan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya.

Aku berusaha mengambil anak panah emas milik Ibu. Yeti berusaha meremas diriku seperti perlakuannya pada kijang. Beruntung aku masih dapat memberontak. Dengan menggeligis penuh bimbang, aku hanya dapat memegang anak panah yang busurnya jatuh di bawah.

Yeti terus berjalan menuju perapian yang akan digunakan untuk memanggang buruannya. Aku takut bukan main, apalagi ketika energi ilusi Kenn mulai menipis, hawa di sekitar api ini menjadi lebih tegang. Rasa mual, pusing, dan sakit di sekujur tubuh kembali muncul ketika berada di sini.

Meski dalam genggaman Yeti, aku berusaha sebisa mungkin untuk memberontak dan menahan diri agar tetap sadar.

Aku menatap anak panah milik Ibu. "Artemis, bantu kita. Bantu kita dalam menyelamatkan PemburuMu, Artemis. Berilah kita kekuatan untuk melawan mereka," kataku seraya menggenggam erat anak panah ini.

Yeti menatap diriku dengan penuh amarah, aku melihat sendiri bahwa dia sedang mencabut akar pohon kecil yang besar dengan satu tangannya. Pohon kecil itu ditancapkan lagi di sekitar perapian yang masih kosong. Yeti melirik ke arah Kenn, seakan berkata, "Sekarang adalah giliranmu."

Aku sudah muak, kesal dengan pergerakan Yeti yang terkesan alot. Sembari menatap dadanya yang berbulu lebat, aku mulai akan melancarkan aksi.

Dalam hitungan ketiga, aku berusaha kuat menancapkan panah emas ke tubuh Yeti itu. Ketika dia mendapatkan tancapannya itu, Yeti sempat melotot ke arahku, sebelum teriakan tragis memekakkan telinga.

Semua makhluk; nymph, demigod Kenn, kijang, dan Pemburu Artemis menatapku dengan penuh ngilu. Mereka berusaha menutup telinga karena suara jelek Yeti hampir memecahkan gendangnya.

Bulu putih di dada Yeti perlahan berubah menjadi merah. Panah emas milik Ibu juga kehilangan warna emasnya, menjadikan panah indah itu juga kehilangan indahnya. Bebarengan dengan aku mencabut anak panah, Yeti terguling lemas, aku berhasil lolos dari genggaman sialannya itu.

Aku turun dari tubuh jelek Yeti, menarik Kenn untuk menyelamatkan nymph dan Athanasía. Namun, tanah tiba-tiba bergetar, kita semua tidak dapat beridiri tegak. Aku terpental sangat jauh, Kenn juga. Kijang bersayap kembali melolong panjang. Tanah semakin bergetar, seperti akan gempa. Aku kehilangan kesadaran ketika kepalaku berbenturan langsung dengan batang pohon.

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang