Bagian Awal untuk Mengakhiri

15 4 0
                                    

Semilir angin yang mengaburkan dedaunan membuat diriku merasa lega. Setidaknya ketika Hagne masih berada di sampingku. Aku memang membutuhkan Hagne. Aku ingin bercerita banyak kepadanya. Namun, setelah mendengar ungkapannya tadi, aku jadi merasa canggung.

Hagne, gadis unik yang usianya 6 tahun di atasku. Aku bahkan tidak terlalu mengenalnya. Hanya dalam sekali pertemuan yang benar-benar serius membutuhkan solidaritas di antara kita, Hagne sudah mengatakan bahwa aku kagum padanya.

Niscanya tidak begitu. Harusnya, aku yang menodong dia dengan pertanyaan semacam: "Hagne, apa kau menyukaiku? Aku tahu itu, loh! Mataku ini ajaib. Aku bisa melihat cinta tumbuh di hatimu." Sayangnya, belum sempat berkata seperti itu, Hagne malah sudah terlebih dahulu mengatakannya padaku.

Saat ini, posisi kita masih sama. Duduk berangkai sembari menatap Mentari yang hampir sepenuhnya dilahap malam. Aku belum ingin beranjak. Entah mengapa, aku merasa tenang berada di sini.

"Aku masih merasa bersalah atas kematian Kenneth. Aku jadi merasa tidak enak padamu, Hagne," ungkapku, setelah sekian lama termakan hening.

"Sudah takdirnya begitu, mau bagaimana lagi? Itu semua juga tidak sepenuhnya salahmu. Kenn pasti juga rela jika dirinya mati, asalkan mati dalam hal baik, yaitu membantu kawannya yang kesulitan," balas Hagne dengan bijak.

"Tetap saja. Aku hampir gila karena dihantui rasa bersalah. Andai Kenn tidak ikut denganku, dia pasti sedang bersamamu. Andai Kenn tidak membantu diriku, dia pasti masih ada di sini. Andai juga aku tidak mengajak dia bersembunyi di batang pohon jahat itu, dia pasti masih hidup. Aku benar-benar menyesal." Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar.

Mengingat tentang Kenn selalu berhasil membuat diriku terluka. Kepergiannya memang baru beberapa jam yang lalu. Efeknya, hatiku seperti dipanah berkali-kali dengan panah wabah milik Apollo. Sekali lagi aku menekankan bahwa diriku belum pernah merasakan sakit yang seperti ini.

Lama-lama, aku menyadari bahwa mungkin di masa depan kelak, aku akan mati karena rasa bersalah.

"Kau tidak berguna. Maksudku, tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Percuma menyesal, itu juga tidak akan membuat Kenn kembali hidup, kan? Sudahlah. Kematian memanglah takdir semua orang. Semuanya ... pasti akan dihadapi yang namanya kematian. Tinggal menunggu jatahnya saja," cetus Hagne.

Dia mungkin selalu berusaha menenangkan diriku. Aku tahu, sorot matanya sayu karena habis menangisi kepergian Kenn. Air mukanya pucat karena dihantui ketakutan pasca ditinggal oleh seorang Kenneth. Dia pasti menyimpan dalam-dalam rasa dendamnya terhadap diriku.

Jika ditanya mengenai siapa orang yang paling Hagne benci, mungkin gadis itu akan menjawab dengan lantang: "Seorang demigod kecil, Carmelo Zephyr!" begitu. Nyatanya, dia tidak melakukannya hingga sekarang.

"Tapi kau pasti juga sakit hati, Hagne. Aku merasakan sakitnya menjadi dirimu. Kalian terlihat begitu akrab. Aku bahkan sempat mengira jika Kenn dan kau itu ... sepasang kekasih," ujarku. Kalimat yang keluar dari bibirku seolah-olah memaksa Hagne untuk mengakui bahwa dia sedih pasca kematian Kenn. Ya memang begitu faktanya. Aku terkesan ingin semua orang membenci diriku.

"Tidak ada. Aku hanya merasa aman jika berada di samping Kenn. Dia paling memahami diriku dan semua masalahku, ketimbang demigod-demigod lain yang menganggap diriku aneh. Pasti kau juga begitu. Terlihat dari pertama kali kau masuk ke akademi ini, kau langsung menatapku dengan heran. Aku mungkin hanya merasa nyaman dengan Kenn, dia juga tidak mencintaiku. Dia hanya ingin melindungi diriku ini. Meski faktanya, kami memang terlihat dekat," ungkap Hagne panjang-panjang. Aku baru kali ini melihat dan mendengar Hagne mau berbicara panjang. Biasanya? Sekadar menatapku saja, dia tidak mau melakukannya.

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang