Setetes air mengenai keningku, membuat aku membuka mata. Rupanya, aku belum juga mati. Sejatinya, aku memang tidak mengharapkan kematian, misi ini masih menjadi amanah dari Ibu yang belum sempat terlaksana dengan baik. Aku masih harus menjemput Ibu di rumah sembari membawa busur itu. Jadi, aku masih belum mati. Namun, melihat kondisi tubuh yang sudah lemah, aku juga tak dapat menjamin bahwa kami dapat pulang dengan selamat. Kenn kondisinya masih sangatlah kritis, sama seperti diriku.
Aku terbelalak tatkala menyadari bahwa kami sudah tidak berada di dalam oracle lagi. Aku dan Kenn terbaring lemah di bawah pohon besar yang masih basah akibat hujan buatan Kenn tadi. Air yang menetes dan membangunkan diriku adalah air hujan yang masih terperangkap di dedaunan.
Yale sudah tidak menampakkan dirinya. Dalam detik ini, aku bernapas dengan lega. Namun, siapa yang mengeluarkan aku dan Kenn kala kita tak sadarkan diri tadi? Tidak mungkin Apollo, kan?!
Suara pekikan hewan terdengar agak jauh dari tempat kami duduk. Aku mengamati sekeliling dengan mata ajaib ini — meski keadaannya juga sama lemah dengan tubuh. Akibat terlalu lemah, jarak pandang tidak terlalu jauh. Tidak seperti ketika melihat Yeti beberapa waktu yang lalu.
Di balik semak-semak, aku melihat ada hewan besar sedang menundukkan kepalanya. Terlihat juga tanduk tingginya. Rupanya, Yale tidak benar-benar pergi. Kupikir, dia yang sudah menyeret kami sejauh ini. Karena, terdapat banyak bekas luka di wajah Kenn, aku mungkin iya.
Memiliki kesempatan untuk kabur, aku langsung membangunkan Kenn yang masih belum sadar. Aku menggerakkan tubuhnya dengan sedikit keras. Kenn mungkin masih lemah, tetapi terpaksa sadar karena tindakanku.
"Kita memiliki kesempatan untuk kabur, Kenn! Ayolah!" Tanpa banyak berkata-kata, kami berjalan pelan menyusup dari pohon ke pohon satunya lagi. Tentunya tanpa suara.
"Car, kau tahu di mana busur milik Ibumu berada?" tanya Kenn setelah agak jauh dari Yale yang menyebalkan tadi. Aku tentu saja menggeleng.
"Aku baru bangun beberapa menit sebelum membangunkanmu, Kenn. Panah itu pasti dibawa oleh Apollo, entah disembunyikan di sekitar sini, ataukah dibawa pulang ke Olympus. Yang terpenting, kita harus kabur saat ini juga!" seruku. Kenn akhirnya mengangguk. Dia memimpin perjalanan kali ini.
Kaki ini sungguh tidak kuat. Antara tulangnya benar-benar patah, atau memang aku yang terlalu lemah. Aku terhuyung ke depan, mengenai punggung Kenn yang bajunya sudah robek dan terdapat bercak darah di sana. Kenn tentu langsung terkejut. Tak berselang lama, dia yang juga lemah harus menjaga diriku juga.
"Kita sudah berjalan terlalu lama. Kita akan ke mana? Apa mau istirahat terlebih dahulu?" tawar Kenn, aku menggeleng.
"Hutan ini sangatlah berbahaya, Kenneth. Kita tidak bisa leluasa bergerak. Saat ini, tidak ada yang berpihak pada kita, selain diri sendiri. Sebisa mungkin kita harus berlari, cepat! Yale sudah mendekat!" Mendengar seruanku, Kenn buru-buru menyeretku berlari. Tak peduli badannya sungguh remuk, yang terpenting adalah keselamatan kami.
Langkah kaki Kenn cukup panjang, cepat, dan semakin jauh. Aku tidak dapat mengimbanginya. Aku sudah tidak berpikir dan melihat apapun di depanku. Rupanya, ada akar pohon yang keluar dari tanah, menyebabkan diriku terjerembab jatuh. Kenn yang sudah hampir jauh kembali mendatangiku.
Kejadian ini benar-benar tragis. Di depan kami, sosok menyebalkan tadi kembali datang — Yale! Asal kalian tahu, Yale selalu cepat ketika ia berlari. Jangan harap kalian akan selamat jika kondisi kaki kalian tidaklah kuat, seperti aku pada saat ini.
Kenn berteriak kencang, dia menyuruhku untuk menghindar. Rasanya malas, aku enggan menghindari Yale karena kupikir diinjak oleh kaki besarnya merupakan hal yang menyenangkan. Lima puluh meter dari depan kami, Yale benar-benar menunjukkan kemarahannya. Aku tidak dapat berbuat lebih selain diam menunggu kejadian apa yang akan menimpa kami pada saat ini. Kenn buru-buru berjongkok di hadapanku. Ia mengambil tiga benih pohon yang selalu ia bawa, lalu meletakkannya begitu saja di tanah. Sekitar lima belas menit berlalu, belum ada satupun biji-bijian yang tumbuh menjadi pohon. Kenn terus merapalkan mantra sebelum Yale tiba. Beberapa menit setelahnya, pohon besar berduri tumbuh begitu saja — tiga sekaligus.
Setelah percobaannya berhasil, Kenn menggendong tubuh lemasku lalu membawa diriku pergi. Aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku mulai kehilangan kewarasan dengan tanda-tanda; berpikir bahwa mati di saat ini merupakan solusi yang tepat! Namun, semua pikiran busuk itu kutepis. Kenn terus membawaku berlari menjauhi tiga pohon berduri.
Sampai pada sebidang tanah luas yang tidak ditumbuhi pohon sedikitpun. Hanya ada ranting kering dan dedaunan dari pohon lain, Kenn menghentikan langkahnya di sini.
Dia melemparkanku begitu saja, dia juga langsung terjatuh karena energinya di siang ini cukup terkuras habis-habisan. Harus mengeluarkan kekuatan ilusinya, menumbuhkan tiga pohon dalam waktu kurang dari satu jam, menggendong Si Beban ini sembari berlari. Wajar jika dia langsung ambruk begitu saja.
"Ibunda. Apa kau tega melihat salah satu putramu terluka? Terluka dalam sesuatu yang tidak dapat disebut sebagai peperangan. Saya tidak sedang berperang. Namun, mengapa saya harus melawan dan dilawan? Engkau dermawan, Ibunda. Saya amat mengharapkan bantuan dari engkau!" gumam Kenn sembari menatap langit yang cerah. Aku bergerak untuk mendekatinya, lalu menatapnya dalam-dalam.
"Maaf, Kenn. Karena aku, kau malah ikut terluka begini. Aku janji, setelah keluar dari hutan ini dan mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan, aku akan mengabdi padamu, Kenn," ujarku dengan suara lemah, terisak hampir menangis.
"Terima kasih dan sama-sama," balas Kenn.
"Siapapun engkau — Ayahandaku. Di manapun keberadaanmu, tolong bantu aku. Aku tidak meminta apapun, selain meminta tolong padamu untuk mengambilkan apa yang seharusnya menjadi milikku. Hadirlah jika kau benar-benar ada!" batinku.
Siang yang panas, Matahari bersinar terik. Di tempat ini, hampir seluruhnya terkena sinar Matahari karena tidak ada pohon yang menghalangi. Plasma panas bercampur medan magnet itu berbentuk bulat sempurna, menyinari planet biru sebelum purnama hadir.
Di tengah tanah yang lapang ini, bayangan kami berdua terbentuk. Tiba-tiba saja, siluet sesuatu berbentuk besar menghalangi Matahari. Membuat aku dan Kenn terpaksa mendongakkan pandangan.
Aku menjerit ketika melihat ada hewan besar berbadan singa dengan cakar tajam serta kepala rajawali. Kita semua mungkin mengenalnya dengan sebutan Griffin atau Si Raja Udara.
Griffin mengepakkan sayapnya tatkala aku dan Kenn berusaha berlari. Karena kepakan sayap besarnya itu, aku dan Kenn hampir terbang seperti dedaunan kering di bawah kami. Kenn tak peduli apa-apa, dia terus mengajakku berlari sejauh mungkin. Tetapi, makhluk bertubuh singa kepala rajawali itu terus mengejar kami.
Aku kembali berteriak ketika kuku tajam Griffin mencakar leher bagian belakangku. Aku juga kembali terjerembab tatkala Griffin menggerak-gerakkan kakinya seraya terbang.

KAMU SEDANG MEMBACA
DELPHI: The Magic Crossbow
FantasiaDelphi adalah area suci milik Apollo yang biasanya digunakan masyarakat untuk menerima ramalan yang dituturkan langsung oleh Pythia. Selayaknya tempat suci yang lain, Delphi juga sangat dijaga ketat oleh manusia, nymph dan satir, serta para Olympian...