Kemarahan Si Surya

19 3 0
                                        

Kita menjumpai pria berbaju Chiton tadi sedang berdiri di belakang oracle. Sembari mengelus busurnya, dia terkikik kecil melihat api yang berkobar di sekitaran sini. Melihat api yang bergerak melahap hutan, lagi. Muka Kenn merah padam menahan amarah, matanya berkilat-kilat, ia juga mengepalkan tangannya.

"Apa yang kau lakukan, pria gila?" Pria itu menoleh begitu mendengar pertanyaan dari Kenn. Tampaklah wajah mulus berkulit putih pucat dengan bibir merah nan tipis. Pria itu tersenyum menyeringai. Rambut pirangnya semakin menyala di depan kobaran api.

"Aku membencimu. Dan ini ... ini kelemahanmu, kan? Apa salahnya aku melakukannya?" balas pria itu dengan suara lantangnya.

Kenn semakin terbakar kesal, kami menghampiri pria angkuh itu. Anehnya, udara di dekat hutan yang terbakar sangatlah sejuk. Ini seperti api dingin, tetapi lama-kelamaan juga bisa mematikan.

Pria tadi menghadiahi tawa penuh ejekan kepada kita, beberapa detik sebelum Kenn bergerak untuk menyerang, pria itu sudah terlebih dahulu pergi. Aku melongo tak percaya ketika melihat secara langsung, pria tadi berjalan santai menuju api yang menyala-nyala.

Aku tahu jika api itu dingin. Namun, dinginnya bukan karena suhu nyala api yang berkisar hanya pada 400 hingga 600° Celcius. Tetapi, api itu mampu dingin karena adanya suatu sihir yang digunakan oleh Si Misterius. Sebab, dinginnya sudah sama seperti guyonan Eloise yang sering membekukan kawannya.

"Sudahlah, Kenn. Sekarang, kita cari air saja untuk memadamkan api ini," ajakku, sebelum Kenn semakin emosi.

"Tidak perlu!" tolak Kenn. Dia berjalan mendekat, api berada sepuluh meter dari hadapannya, dia tidak terbakar karena api ini dingin. Selanjutnya, Kenn mengacungkan liontin kalung miliknya, sehingga sebagian wilayah Delphi basah karena hujan. Inilah kekuatan ilusi cuaca yang dapat dilakukan oleh Kenn. Dan aku merasa sangat dibantu olehnya.

Kenn akhirnya mengajakku untuk kembali ke Oracle Delphi, tetapi aku menolak. Takut jika aku akan kembali menari-nari dengan gemulai, dari pada mendapatkan ramalan yang lebih jelas lagi dari Pythia.

Kenn terus memaksaku. Katanya, dia tidak ingin meminta ramalan lagi, dia yakin jika Pythia sudah enggan memberikan ramalannya untukku, setelah melihat aku — remaja lelaki dengan badan tegap — tiba-tiba menari seperti peri. Kenn berkata bahwa kami hanya akan menumpang berteduh. Akhirnya benar, tidak mendapatkan ramalan bukanlah masalah yang besar bagi Kenn, yang terpenting hanyalah semoga kita tidak kehujanan.

Saat memasuki ruangan yang tadi sempat aku gunakan untuk menerima ramalan — batu Omphalos, aku merasa bahwa kami lebih aman berada di sini, ketimbang berlarian tanpa arah di hutan Delphi sana. Kenn diam saja, mungkin sedang memulihkan tenaganya, agar tidak cepat lelah.

Duduk tercenung pada dekat batu Omphalos yang paling suci ini, aku mengamati sekeliling dinding oracle. "Kenalilah Diri Sendiri dan Tahu Batas." Kalimat tersebut diukur pada dinding oracle, membuat diriku bertanya-tanya mengenai maknanya.

Ketika mataku menyapu sekeliling ruangan, aku melihat ada benda berkilauan tertempel pada tembok oracle yang tinggi ini. Aku mendadak penasaran, lalu mengajak Kenn untuk menemuinya.

"Kalau itu bahaya?" tanya Kenn sebelum kita melangkah.

"Kita mempunyai energi untuk menyerangnya. Tenang saja. Selama kita terus bersama, musuh tidak akan datang untuk menyerang," balasku. Kenn malah berdecih kesal.

Akhirnya, kami mendekati sesuatu yang berkilauan itu. Aku memejamkan mata tatkala kami sudah sampai di depan benda berkilauan tadi.

Aku terbelalak lebar, Kenn menepuk pundakku, kita saling menatap. Aku hampir pingsan tatkala merasakan oksigen sudah tidak menembus paru-paru lagi, aku ingin meledak seakan terimpit sesuatu yang padat juga besar. Di depan kami, kala kami benar-benar sudah sampai padanya ... busur itu! Iya! Busur panah berwarna emas berkilauan yang sedang kami cari. Aku berteriak girang, membuat Kenn juga senang.

Namun, kesenangan kami tak berlangsung lama. Sepersekian detik setelah Kenn menyuruh diriku untuk menaiki badannya kemudian mengambil panah itu, tanah berguncang hebat, busur panah milik Ibuku hampir jatuh, tetapi tembok terus menahannya agar tetap melekat erat di sana. Dalam jangka sepuluh detik saja, tanah sudah tidak berguncang lagi. Kami mendengar dentuman keras dari arah luar, menyebabkan diriku urung mengambil panah yang sudah sedekat itu.

Kenn berjalan waswas, tanganku dan tangannya saling bertaut, melangkah menuju pintu oracle dengan pelan, dentuman itu berubah menjadi langkah kaki seseorang.

Aku dan Kenn berdiri di depan pintu oracle sembari memerhatikan seorang pria yang mirip dengan pria tadi, tetapi yang ini lebih tinggi sedikit dan juga membawa burung elang yang bertengger di pundak kanannya. Pahatan wajah sempurnanya mampu membuat kita bertanya-tanya, siapa dia?

Meski diam, aku dapat merasakan emosi yang ditahan oleh pria itu. Dia menatap aku dan Kenn secara bergantian; dengan tatapan tajam. Aku menunduk takut, sementara Kenn berusaha menyapanya.

"Selamat datang, Tuan! Apa kau sedang akan menerima ramalan?" tanya Kenn ramah, tetapi pria itu diam saja.

Dia berjalan mendekati aku. Sementara elangnya terbang perlahan mengikuti Sang Tuan, mata tajamnya terus mengawasi pergerakan aku dan Kenn.

Pria itu juga membawa busur panah berwarna emas dengan anak panah senada. Jika Ibu hanya memiliki satu anak panah emas, maka aku harus kagum dengan pria di hadapanku yang memakai Chiton ini — sepuluh lebih, anak panahnya berwarna emas semua.

Dia telah mempersiapkan alat memanah dengan bagus. Lima langkah lagi, niscanya dia akan sampai pada diriku. Elang tadi bertengger di pundak kiri Sang Tuan, ia menatap Kenn seperti melihat bangkai yang menjadi santapan makan siangnya. Dalam jarak sedekat ini, Sang Tuan membidikkan anak panahnya tepat di dada kananku. Aku terpaku dalam beberapa detik.

Aku memakai baju zirah berbahan besi, tetapi tidak dapat menahan diriku dari serangan panah Sang Tuan. Apa Ibu berbohong? Aku menahan diri agar tidak berteriak. Tusukan ini tidaklah menyakitkan, tetapi darah segar keluar dari balik zirah yang kukenakan.

Kenn yang melihat itu langsung bersiap mencabut panah dari dada kananku ini. Tetapi pergerakannya juga terhenti ketika Sang Tuan mengarahkan busur panah ke arahnya. "Siapa dirimu? Tidak sopan sekali! Kau benar-benar gil—"

"Anak kecil menguliahi diriku tentang kesopanan?" Pria itu akhirnya membuka suara. Membuat aku yang masih melongo tak berdaya harus kembali merelakan darah yang mengalir begitu saja.

"Maupun tua, tetapi jika memang tidak sopan, mau dikata apa? Dengar ya, Tuan! Kita tidak saling mengenal!" tegas Kenn, pria itu tertawa miring. "Car, tahan dirimu! Aku akan — SIALAN!" Kenn berteriak kencang ketika Sang Tuan membidikkan panah ke tangan kirinya. Kenn tidak memakai baju zirah. Ia hanya memakai seragam khusus dari Akademi Stelios Kourelis. Melihat darah segar mengalir tanpa ditutupi apapun, elang milik Sang Tuan memekik penuh bahagia. Ia seperti melihat emas dalam tumpukan sampah.

Sejujurnya, aku tidak merasakan sakit karena panah yang masih menancap di sini. Aku malah tidak bisa bergerak sama sekali setelah mendapatkan serangan tanpa aba-aba dari Sang Tuan. Walau badanku tidak kesakitan, lama-lama aku juga akan tumbang karena kehabisan darah. Kenn mungkin juga sama. Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu aksi selanjutnya dari Sang Tuan.

"Kalung yang bagus! Bulan, ya?" celetuk Sang Tuan. Ia tidaklah menatap ke arahku, melainkan hanya melirik sekilas.

Elang mulai terbang ke arah Kenn. Ia hampir menjilati darah yang keluar dari tangan Kenn. Namun, ia berhenti ketika Sang Tuan mengangkat tangan guna memperingatkannya.

"Asal kau tahu, Nak! Aku datang ke sini bukanlah untuk menerima ramalan. Namun, akulah ramalan yang sedang kalian pecahkan!" Sang Tuan memekik kencang. Pepohonan bergoyang seperti akan patah, langit tiba-tiba mendung disusul dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar. Aku mendadak ketakutan, badanku dingin seketika.

Disertai tawa jelaknya, Sang Tuan membidikkan panahnya dengan asal-asalan. Aku hampir terkena panahan itu, Kenn berusaha sebisa mungkin menyeretku untuk berlari dari sana. Sayangnya, kaki kami terkena panahan dari Sang Tuan Bengis!

Aku menjerit tertahan, Sang Tuan semakin puas menertawakan kami. Burung elang peliharaannya terbang mengelilingi aku dan Kenn.

"Dalam misi menyelamatkan Athanasía, kita memanglah tim yang kompak. Aku hadir dalam bentuk Averruncus. Namun kali ini tidak! Aku hadir dengan nama dan kepribadian asliku! Apollo — Si Surya yang tak lagi membela kalian, PENGKHIANAT!"

DELPHI: The Magic Crossbow Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang