Kali ini, aku dan Ibu sedang merencanakan keberangkatanku menuju Akademi Stelis pada nanti sore, sebelum acara Pemujaan Artemis di kuilnya, kami sedang mengobrol banyak hal.
"Kantong anak panah yang itu boleh kau bawa, sekaligus dengan satu anak panah yang masih tersisa. Gunakan kantong dan anak panah itu dengan sebaik mungkin. Anak panah emas itu tidak akan pernah bisa patah. Kau sudah memiliki bakat tersendiri, pasti gampang memakainya dengan baik." Ibu menunjuk sebuah kantong anak panah yang diletakkan khusus di dalam lemari kaca, ah aneh! Tetapi sejauh ini, aku baru pertama kali melihat kantung panah yang begitu memukau, bahkan anak panahnya juga.
Kata Ibu, kantong itu benar-benar asli dibuat dari emas. Berbentuk lonjong dengan agak rapat di bagian bawah, warnanya jingga kegelapan, tetapi mengilap. Sepanjang 65 cm, ukuran kantong itu, terdapat garis vertikal yang menghiasinya. Garis-garis itu berwarna emas yang tak kalah mengilapnya dengan bagian-bagian lain.
Anak panahnya juga dibuat berwarna emas senada dengan warna garis-garis vertikal yang menghiasi kantong. Ekornya berwarna coklat sesekali diselingi oleh warna putih, batang kokohnya terlihat menyilaukan mata karena terlalu indah. Sedangkan pada bagian mata, dipercaya dibuat menggunakan batu.
Fakta lain tentang anak panah dan kantong yang keren itu, Ibu mendapatkannya dari pengrajin nan bukan orang main-main.
"Tidak mungkin kau hanya mendapatkan anak panah dan kantong. Busurnya ke mana, Bu? Jika dilihat dari kedua benda itu, busurnya pasti tak kalah menakjubkan. Aih, mana mungkin hilang?" tanyaku, penasaran dengan bentukan busur jika anak panah dan kantongnya saja sudah sekeren itu.
Di luar dugaan, Ibu justru mengangguk dengan mantap. "Memang hilang, Phyre. Busur panah itu tertinggal di Oracle Delphi, bagian mana, ya? A-ah, bisakah kau membantuku?"
"Membantumu untuk apa?" Aku menatap Ibu dengan was-was, takut jika tiba-tiba disuruh untuk menelusuri area Oracle Delphi, aih, sebenarnya aku sendiri belum pernah mendatangi Oracle Delphi. Tetapi Ibu sudah sangat sering.
"Setelah diberi izin oleh Nyonya Dynn — pendiri Stelis, kau bisa pulang untuk mengambilkan busur panah yang hilang itu. Aku yakin, suatu saat nanti busur tersebut akan berguna. Oh iya, dengar-dengar, kau akan diberi tugas pertama untuk menjelajahi hutan di sekitar Delphi, kalau kau bersedia dan memiliki waktu luang, kau memiliki kesempatan untuk mengambil panah milikku itu," jelasnya. Aku baru melongo, mulutku pun masih terbuka lebar, tetapi suara nyaring dari luar membuat Ibu segera beranjak. Ugh! Memalukan.
"Nyonya Zap, pesananmu telah sampai!" teriak seorang gadis sembari membawa sekotak kardus besar, yang pasti juga berat. Aku sampai meringis sendiri ketika melihat wajahnya yang dipenuhi oleh peluh.
Tatapan kami saling beradu, mendebarkan hati meski dalam sekali temu, sebab aku sangat mengetahui bahwa gadis ini rupanya mencintaiku. Ya! Kami memang tidak saling mengenal, tetapi selalu ada perasaan geli yang tercipta di dalam perut, jika mengetahui bahwa ada setidaknya seorang gadis yang rupanya mencintaiku. (Tolong, jangan katakan ini sebagai ikatan batin!)
"Ternyata itu kau, Brissha! Terima kasih telah membawakan pesananku dengan baik dan selamat, mari masuk terlebih dahulu!" ajak Ibu, tetapi gadis itu menggeleng sembari terus menatapku dengan tatapan cinta.
"Kembali kasih, Nyonya Zap. Ehm, mungkin di lain waktu aku akan mampir kemari, tetapi saat ini aku sedang sibuk, Nyonya. Kalau begitu, permisi." Dia memang berpamitan pada Ibuku, tetapi senyuman kecilnya itu ditujukan untuk diriku. Agak geli sebenarnya.
Kami lalu kembali memasuki rumah, aku menunggu Ibu membuka kotak itu. Berharap semoga saja isinya bukan bom, atau semacamnya. Namun, mataku terbelalak lebar tatkala melihat benda itu keluar dari dalam kardus. Baju zirah! Untuk apa?
Berbahan dasar besi, atributnya lengkap. Tidak mungkin semua ini akan dipakai oleh diriku! Badanku terlalu kecil, lembek, untuk memakai pakaian sekeren ini. Setelah baju zirah keluar, aku dapat melihat ada busur dan anak panah setidaknya berjumlah empat. Ibu menyuruhku untuk segera mencobanya.
"Berhati-hatilah, Phyre! Baju itu terbuat dar—"
"Akh! Ini menyakitkan, Bu! Sakit sekali, tolong!" jeritku pilu, ketika berusaha memakai baju zirah itu.
"Aku baru akan mengingatkan padamu, Phyre. Bahwa, baju tersebut dibuat khusus dengan mantra pelindung. Harapannya, semoga kalian yang memakai baju tersebut akan aman dari serangan musuh." Lagi-lagi, aku melotot. Orang gila mana yang bisa menciptakan teknologi semacam ini? Baju dilengkapi dengan mantra khusus? Ibu akhirnya membantu diriku untuk memakai baju sialan ini.
"Akademi Stelis bukanlah akademi biasa. Banyak tantangan yang akan kau terima ketika berada di sana. Kumohon, ketika kau mendapatkan tantangan yang sulit, jangan libatkan orang lain, kecuali sudah diizinkan oleh Nyonya Dynn. Jika kau membutuhkan pertolongan para dewa-dewi, tolong, temuilah Eros di dalam hatimu."
Pada sore nan mendung, Matahari sudah tidak tampak lagi dari permukaan bumi tempatku berpijak. Saat ini, orang-orang pasti sudah berangkat menuju Kuil Artemis, kecuali aku. Ibu bahkan sudah bersiap untuk itu, kecuali aku. Ya! Aku tengah berdiri di depan rumah sembari memakai pakaian serba biru. Kaos biru dongker polos yang dipadukan dengan jaket berwarna biru benhur, celana panjang putih dan sepatu putih senada. Semua ini pilihan Ibuku. Katanya, biru adalah lambang dari Akademi Stelis. Jadi, setidaknya aku telah berpakaian serba biru, meskipun bukan seragam asli dari Akademi Stelis itu sendiri.
Alasan mengapa aku berdiri di depan rumah meskipun situasi sudah gelap, yaitu akan ada kereta dari Akademi Stelis yang menjemputku di depan rumah ini. Jujur, aku memang tidak mengetahui apapun tentang Akademi Stelis, Ibu yang sudah menceritakan semuanya padaku.
"Omong-omong, Bu. Di antara banyaknya tempat, mengapa Akademi Stelis yang kau pilih? Kau sendiri tahu bukan, jika akademi itu tempatnya para demigod-demigod sakti. Sedangkan aku? Apa, Bu?" tanyaku, ketika melihat Ibu datang dari dalam rumah.
Terlihatnya, Ibu amat terkesiap. Matanya melotot tajam, bahkan deru napasnya pun terdengar kian cepat. Pada detik berikutnya, Ibu berusaha biasa saja setidaknya untuk menyembunyikan kegugupannya itu.
"K-kau? Ah, tiada alasan lain, selain akademi itu akan melindungimu. Kau akan terus dilatih di sana, Carmelo. Tenang saja," balas Ibu tampak gugup.
Aku berusaha menatapnya, tatapan kami berserobok, menciptakan raut aneh dalam diri wanita kesayanganku ini. Dia bahkan berusaha untuk memalingkan wajahnya. "Apa yang kau sembunyikan, Bu? Tidak biasanya kau terlihat gugup seperti itu."
Aku terus memaksa Ibu untuk mengaku. Biarlah jika setelah ini aku akan dianggap tidak sopan, bahkan Ibu akan marah. Atau mungkin, akan memanahku dengan panah kesayangannya. Aku tidak akan memikirkan itu untuk hari ini. Yang ada, diri ini hanya menginginkan kejujuran dari Illiana Zaphire Jace, Ibuku sendiri.
Di bawah sinar mentari yang semakin memudar, Ibu melangkahkan kakinya mendekatiku. Kami duduk pada bangku di halaman rumah sembari menunggu kereta yang dimaksud. Ibu menepuk punggungku sebanyak dua kali, ia lalu tersenyum dengan senyuman manisnya. Mampu mempercantik wajah yang kian hari kian mengerut itu.
"Tak mungkin selamanya dunia akan jahat padamu. Aku ini Ibumu, apapun yang terjadi, aku akan tetap jujur kepadamu, Phyre."
"Tiga belas tahun yang lalu, Ibumu ini bertemu dengan seorang lelaki, tidak muda. Tetapi dia masih tampan, dia baik. Kami saling jatuh cinta, kami melakukannya, dan kau hadir di tengah-tengah kami, Phyre. Dewa dengan hobi memanah itu, pasti kau tahu, bukan? Kau dapat menyimpulkannya sendiri. Aku amat mencintainya walau dia brengsek! Percaya tak percaya, kau adalah putranya. Kau berhak masuk ke dalam Akademi Stelis dengan alasan itu."
Mataku terbelalak lebar, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan, separuh dari ragaku terasa seperti terkena sambaran petir Zeus beribu-ribu kali. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Pernyataan ini mampu membuatku terpaku sangat lama. Lantas, menatap wanita di sampingku ini yang tengah menitikkan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELPHI: The Magic Crossbow
FantasyDelphi adalah area suci milik Apollo yang biasanya digunakan masyarakat untuk menerima ramalan yang dituturkan langsung oleh Pythia. Selayaknya tempat suci yang lain, Delphi juga sangat dijaga ketat oleh manusia, nymph dan satir, serta para Olympian...
