4

3.9K 247 2
                                    

Pagi yang mendung itu saat dimana Arsen memilih kembali ke sekolah. Dengan mengenakan seragam rapi, pukul 6 pagi dia turun.

Tujuannya kali ini memasak untuk dirinya sendiri. Akan lebih baik jika tak bertemu dengan keluarga ini.

"Fuyo, nasi uduk dengan suwiran ayam dan lain-lain mateng. Paket makan siang nasi kuning ayam goreng sambal terasi juga mateng. Haiya perfect cooking." Suara lantangnya sambil menutup kotak bekal.

"Den kok dibungkus semua?" Sergah seorang maid.

"Ah ngga apa Bibi, Arsen terlalu malas meladeni para tuan besar itu." Jawabnya singkat.

Singkat menuju sekolah, hanya sang supir yang setia mengantarnya tanpa babibu.

Tak ada kesan khusus baginya saat masuk sekolah. Karena harusnya sama saja, sekolah swasta elit gaya selangit. Ngga mungkin prestasi akan begitu dihargai.

Usai santap sarapan dalam kelas saat sepi sama saja saat siswa lain masuk kelas. Semua orang individualis, namun ini kenikmatannya. Tak ada yang saling kepo dengan orang lain.

Tring tring

Waktu istirahat kini mengantarkan Arsen menuju taman. Makan siang nasi kuning buatannya sendiri.

"Cih makan bekel, miskin lu?" Decah seorang siswi.

"Guys hari gini makan bekel, emang boleh se miskin itu hahahaha." Ejek beberapa gerombolan siswa lain.

Apakah Arsen mendengarnya, tentu tidak. Dengan lahap dia menyantap nasi kuningnya secara khusyu. Bagaimanapun makanan harus dihargai.

"Alhamdulillah," ucapnya sambil membereskan bekal.

"Halo babuku, kenapa baru kelihatan hmm?" Cegah seseorang sambil merangkul pundak Arsen.

"Ha?"

"Belaga bego lagi, ini juga tangan lo abis disambung?" Tatapan jijik pada kedua tangan Arsen.

Baru ia ingat orang ini, sosok yang menjadi tokoh antagonis dalam hidupnya di sekolah. Alfredo Ridl, siswa senior kelas XII Brata High School dan dikenal sebagai icon teladan sekolah. Padahal sama saja dengan siswa lain, nakal, bermasalah hanya beruntung dia kaya dan rupawan.

Arsena berjalan cepat menuju kelas, berharap bisa langsung berkilah dengan Alfredo. Namun, nasib berkata lain.

"Hei, Arsena! Tunggu sebentar," suara Alfredo terdengar jelas di telinganya. Arsena menghentikan langkahnya dengan enggan dan berbalik.

"Ya, ada apa?" tanya Arsena, suaranya hampir tidak terdengar.

Alfredo mendekat, senyum licik terlukis di wajahnya. "Lu udah menyelesaikan tugas matematika yang gue berikan minggu kemarin, kan?"

'Ck, kek gini rupa Alfredo. Ini tubuh juga ngapain takut, harusnya Arsena udah mati kan? Kenapa perasaannya masih ada.'

Arsena mengeluarkan buku bersampul biru tua itu dari ranselnya. "Sudah, ini dia," ujarnya sambil menyerahkan buku itu.

Alfredo menerima buku tersebut dengan sikap arogan.
"Bagus. Jangan lupa, hari ini setelah pulang sekolah, kau harus datang ke rumahku. Ada beberapa hal yang harus kau selesaikan untukku."

Arsena mencoba memberanikan diri. "Sorry ngga bisa, ada banyak tugas dari guru. Lagipula ngga semua orang bisa memenuhi permintaanmu."

Wajah Alfredo berubah tegang, suaranya menekan. "Kau tahu apa yang terjadi jika kau tidak mengikuti perintahku, kan? Ingat apa yang terjadi pada Reza."

Arsena merasa terpojok dan hanya bisa menggerutu pelan. "Heh? Reza saha?"

"Bagus. Jadi, jangan coba-coba melawan. Gue ngga suka ngulang instruksi," ujar Alfredo dengan nada dingin.

Arsena menatap Alfredo dengan campuran ketakutan dan sedikit rasa aneh.
"Ya gue akan ke rumah lu nanti," jawabnya dengan suara malas.

"Pintar. Sekarang, balik ke kelasmu dan jangan sampai terlambat," Alfredo mengakhiri percakapan dengan nada memerintah.

Arsena berjalan pergi, merasa dadanya sesak. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang.

Di kelas...

"Kenapa kelihatan begitu tertekan, Sen?" tanya salah satu teman sekelasnya saat mereka duduk di meja masing-masing.

Arsena mencoba tersenyum, meskipun hatinya kesal. "Tak ada apa-apa, hanya... hanya tugas seseorang yang ditumpuk ke gue."

Teman kelasnya menatapnya dengan penuh rasa miris sambil mengangguk.

Di rumah Alfredo, setelah sekolah...

Arsena duduk di meja belajar Alfredo, menyalin beberapa tugas yang diberikan. Setiap kali ia mendengar suara Alfredo, rasa takut dan putus asa menyergap hatinya.

"Udah nih, selesai sebagian besar tugas ini. Ada yang lain yang engkau kau butuhkan pemalas?" tanya Arsena dengan nada lelah.

Alfredo duduk di kursi, memeriksa pekerjaan Arsena dengan tatapan kritis. "Kerja bagus, Arsena. Gue punya satu permintaan lagi. Besok, pastikan aku lulus ujian biologi. Kau tahu apa yang harus dilakukan."

Arsena merasa semakin terdesak dan mencoba berargumen. "Gila, lu udah kelas 12 njir. Mana bisa tai."

Alfredo mendekat, matanya bersinar dingin. "Arsena, ngga ada pilihan dan bujuk guru kesayangan lo. Lakukan saja apa perintah gue, dan semuanya akan baik-baik saja. Ingat, hidupmu di sekolah bisa menjadi lebih sulit jika kau menolak."

Arsena merasa putus asa. "Baiklah. Aku akan mencoba," jawabnya dengan suara hampir tak terdengar.

"Bagus. Sekarang, pulanglah dan persiapkan semuanya untuk besok. Jangan mengecewakan," ujar Alfredo dengan nada puas.

Arsena mengemas buku-bukunya dan berjalan keluar, merasa seperti bayangan Alfredo selalu mengikutinya.

Di rumah Arsena, malam hari...

Arsena berdiri di depan cermin, berbicara pada dirinya sendiri. "Sebenernya ngga masalah ngga banyak ingatan Arsena, tapi malah bikin jadi masalah. Fak kata gue mah."

Dia masih bingung dengan kondisi Arsena sebelumnya. Bukankah dia seharusnya tak peduli dengan hal lain. Tapi apa sebenarnya maksud si Alfredo.

Malam itu hanya dihabiskan dengan menerka. Tentang banyak hal yang terjadi pada tubuhnya. Karena dalam ingatannya ada beberapa kali Arsena menunjukkan prestasi pada Daddynya meski berakhir bentakan disertai pukulan. Mungkinkah ada hal lain yang terlewatkan.

TBC

Masuk sini kayaknya agak bias ya, hehe

SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang