13

2K 146 1
                                    

Kemarin siang, dua orang mengetuk pintu kos Arsena. Menyampaikan tentang kepulangannya telah diatur. Kemudian membantu membereskan seluruh barang yang akan dibawa pulang.

Arsena merasa sakit kepala dengan kelakuan kakek yang tidak ia harapkan itu. Seolah berkuasa atas semuanya bahkan kehidupannya.

"Mohon maaf Tuan Muda, Tuan Besar ada kegiatan yang sangat tidak bisa ditinggal. Sehingga menyuruh saya untuk menjemput. Mari," sangat sopan dan tak banyak tanya, Arsena sangat menyukai orang seperti ini.

Tak begitu terkejut baginya tentang perlakuan seperti ini. Usai mengangguk, diikutinya orang itu menuju sebuah mobil mewah. Sementara dua orang yang mengantarnya dari Jepang mengurus barang bawaan.

"Gila!" Umpat pelan Arsena masih dalam mobil.

Pasalnya, dia diantar menuju apartemen yang seharusnya hanya dia yang tau. Bahkan kedua orang tadi sudah berada di lobby, siap dengan barang bawaan.

Mereka berlaku sopan disana. Paham jika Arsena pemilik unit sehingga menunggunya dibanding koordinasi dengan pihak keamanan untuk mengantar barang bawaan ini di depan unit. Toh kunci dibawa Arsena, ya meski Tuan Besar mereka sebenarnya telah menduplikasi kuncinya untuk mengurus kebersihan.

"Haish, pinggangku terasa remuk!" Protesnya membaringkan tubuhnya di sofa.

Membiarkan barang masih menumpuk di dalam koper. Baginya perjalanan dari pesawat langsung menaiki mobil tanpa istirahat seperti ia tak memiliki bokong. Kram dan kebas ia rasakan.

Tak terasa dua jam tidur di sofa, badannya juga agak lengket.

"Berendam air hangat bukan pilihan, tapi kewajiban." Monolog sambil mengeluarkan sebungkus garam mandi. Abaikan berapa pajak yang harus dibayar, sesungguhnya adalah kewajiban tukang paksa itu.

Satu jam, dua jam untuk dia mandi dan berendam? Tidak. Karena semenjak kepindahan ke Jepang, dia menyukai mandi saat musim panas. Dan suhu di kotanya saat ini 29° Celcius.

"Baru 3 jam? Biarkan saja. Jari kisut ku lebih menarik." Ucapnya pada jam diatas pintu kamar mand

Sebut orang gila mana yang menaruh jam weker sebagai jam dinding, di kamar mandi pula. Bahkan jika ada bebek karet disana mereka akan julit.

"Fuyo, kakek tua sudah membelanjakan kebutuhanku!" Ucapnya pada isi kulkas yang penuh dengan sayur, buah, daging dan beberapa barang lain.

"Sepertinya aku sugar babi nya. Mungkin kalau ketemu aku harus memakai pakaian badut babi pink!" Ujarnya tak jelas.

Satu jam berlalu untuk memasak dengan perut bergetar bahkan berguncang hebat. Kini nasi beserta soto daging yang tak lengkap dengan kering kentang itu telah masak.

"Haiya, lupa bikin sambel!" Terserah lagi, asal makan malam ini bisa meredakan lapar.

Bagi Arsena, makan soto sama sekali tak elit jika cukup menggunakan kuah, daging, bihun dan perasaan jeruk. Akan sangat elit jika mangkuk kosong diisi nasi lalu perlengkapan soto dengan taburan bawang dan seledri. Abaikan kering kentang, koya dan kerupuk karena tak ada disana. Lagipula membuat koya dan kering kentang akan membuatnya pingsan sebelum makan.

"Fuh, nikmat baget. Gurih ngga kayak bumbu instan yang kerasa manis micin." Bandingkan dengan masakan Indonesia yang selama ini dia beli bumbu instannya saja.

"Mereka bahkan tak menjual kencur. Sayur lodehku hanya sekedar sup dengan santan." Keluh kesah itu terus diucapkannya sendiri. Dulu sempat ia membayangkan bagaimana jika membuka toko bumbu Indonesia. Pasti sukses disana, apalagi jika bisa membeli sepetak tanah kosong. Menanam pisang lalu dijual daunnya, sudah pasti gelar 'Juragan Daun Pisang' tersemat dibelakang namanya.

Usai makan lalu beribadah, kakinya melangkah ke balkon. Lama dia tak menikmati pemandangan seperti ini. Apartemen di lantai 14 dipinggir kota besar. Sorot lampu mobil yang gemerlap karena waktu pulang kantor. Terlebih dengan langit hitam dengan bulan terang disertai gemerlap bintang.

"Haah, bukan seperti ini mimpiku." Monolognya memandang langit.

Mimpinya adalah hidup nyaman sebagai warga Jepang. Tinggal di pinggiran kota besar, bekerja profesional sebagai arsitek, punya toko kelontong, tak dikenali orang-orang yang dulu tau bahkan mengenalnya.

Bahkan tawaran beasiswa post graduate terpaksa tak ia ambil. Amat disayangkan, orang lain sering berharap mendapatkan kesempatan itu. Apakah mimpinya terlalu tinggi?

Selamat seminggu dia tinggal disana. Selama itu pula dia menghabiskan persediaan bahan makanan. Karena esok hari merupakan kepindahannya kembali ke kota kelahiran sekaligus kota penuh luka.

Pagi buta itu jemputan telah tiba, baju dan perlengkapan lain telah masuk ke bagasi mobil. Perjalanan darat berlangsung selama 4 jam melalui tol. Namun dia sampai di kediaman yang disiapkan jam setengah 11 karena macet.

Bukan rumah, melainkan rumah vertikal mewah yang ditempati. Kakeknya sadar jika anak itu tak akan mau menempati rumah lamanya. Selain ada benci akan keluarga itu, Arsena tak suka dengan tampilan warna emas mencolok.

"Tempati ini sementara, Kakek sudah siapkan rumah untukmu. Hanya perabotan dan dapur seperti gambaranmu perlu renovasi lagi." Jelasnya sambil menyesap kopi hangat.

Raut datar sedari tadi sore, hanya itu yang didapat Bernard. 'Secepat itukah perubahannya?' tanya dalam hatinya.

"Kebun." Satu kata itu mencelos dari bibir anak muda didepannya.

"Ya termasuk itu, Kakek juga melengkapi pengurus rumah serta mobil dengan supirnya. Tapi tak ada kemampuan menyetir untukmu apapun alasannya!" Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika anak itu bisa menyetir mobil sendiri. Bahkan kemarin baru lulus SMA saja bisa keluar kota sendirian, lalu di Jepang yang sering bolak-balik Osaka-Tokyo atau Osaka-Kyoto. Pasti akan lebih mudah menghilang disini.

"Istirahatlah, Kakek akan menemanimu hingga esok." Suruhnya saat Arsena hendak berdiri.

"Apa tidak apa-apa Tuan? Sepertinya cucu Anda sangat marah saat ini." Ungkap asisten Bernard.

"Itu yang sebenarnya kutakutkan. Yah sepertinya kau juga harus terbiasa dengannya." Raut kekhawatiran jelas terlihat dari wajah tua itu. Sosok Arsena baginya adalah cucu kesayangan. Meski tak saling akrab, anak itu bukan membenci melainkan sekedar tak menginginkan apa yang terjadi padanya.

Karena sejak kecil dulu, Arsena adalah anak independen dan mandiri. Sifat egois Bernard dan istrinya lah yang berhasrat ingin agar anak itu bergantung pada mereka. Dan kini, meski dengan ancaman kecil dengan paksaan anak itu sedikit menurut. Merupakan sebuah kebahagiaan dan pencapaian baik bagi Bernard.

"Kau bisa lihat dari sana Fiona, cucu kecil kita sudah tumbuh dewasa. Jauh lebih mandiri dari waktu kita sering menculiknya." Angan pria tua itu menembus beberapa memori belasan tahun lalu.

"Sen, Kakek akan selalu bangga padamu. Dan Kakek pastikan semua orang yang melukaimu akan mendapatkan ganjarannya." Tekadnya saat ini.



TBC

Maapkeun up sore gini, takut lupa hehehe😬

SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang