19

1.2K 97 1
                                    

Rintik hujan mulai membasahi kota itu. Angin berhembus perlahan layaknya membawa segala rasa pergi entah kemana. Namun segalanya terasa sunyi.

Pukul 5 sore itu menjadi saksi akan seluruh emosi yang selama ini dipendam Arsena. Melalui apa yang terlihat dimana Arsena melakukan semuanya mandiri. Solo fighter yang merasakan apapun sendirian.

"Sial, bajingan, anjing, babi, tai, brengshake milkshake susu stroberi ayam panggang!"

Umpatan itu terus menggema di lorong tanpa memikirkan siapapun yang mendengarkan.

"Kenapa mesti Arsena?" Teriaknya tertahan agar tak mencolok.

Ditatapnya balkon kosong yang basah karena air hujan. Lima menit lalu hujan yang telah reda meninggalkan sisa air menggenang.

"Fag ini tanaman udah disiram campur pupuk bersubsidi sekarang ilang abis kehujanan!" Kesalnya menatap beberapa pot tanaman.

Uring-uringan tak hanya karena air di pot menggenang, tetapi juga karena mimpi sialan hingga ia jatuh dari sofa bed. Arsena benci akan semuanya, ingatan tentang sosok bodoh tak bertenaga itu.

"Kenapa mesti nurut coba? Bisa sebenernya tinggal tarik balik pas di tangga trus liatin pas dia gelinding." Celoteh Arsena teringat mimpinya tadi.

"Lagian pulang kerja harusnya mandi, bukannya bobok sore! Mati kan." Kesalnya pada dirinya sendiri yang kini tengah menuang genangan air ke timba.

Cklek

"Permisi Tuan Muda, mobil sudah siap." Nuel tiba-tiba masuk mendapati tuan kecilnya berjongkok dengan aktivitas yang tak terlihat dari arahnya.

"Brisik!" Sewot Arsena.

Nuel heran, padahal tadi dia sudah sopan tanpa meninggikan nadanya. Bahkan tak menyentuh tuan kecilnya agar tak kaget. Namun yang terjadi malah dia disemprot dengan muka sinis. Lalu timba, bahkan isi airnya tak sampai seperempat. Kenapa harus membawa timba besar? Terlalu ajaib pemikiran Arsena bagi Nuel.

Lima belas menit menguyur air ke badannya lalu berganti pakaian, kini Arsena telah siap menuju acara kakeknya. Dengan pakaian kasual hanya kemeja putih dan chino pants serta sepatu sneaker yang tampak kontras terhadap asistennya.

'Bunuh diri namanya kalo pakai pakaian formal. Ngga bisa lari kalo tiba-tiba didorong dari puncak Everest.' pikirnya saat memilih pakaian yang akan digunakan.

Tanpa terasa, mobil yang ditumpanginya berhenti di sebuah cafe outdoor. Hamparan perkebunan cokl di sisi kirinya serta taman yang seperti perkebunan bunga di sebelah kanan hingga masuk ke belakang.

Mereka masuk ke dalam cafe, dimana ruang dalam telah sepenuhnya reservasi oleh seseorang yang disebut bukan atas nama Bernard dari kasir tersebut. Sedikit abai, Arsena masuk seperti yang disebutkan arahnya.

Dor
Dor
Dor

Potongan kertas menyembur dari beberapa sisi. Dimana beberapa anak tersenyum tulus menatapnya. Dan waktu seolah hening, tak ada satupun suara yang masuk dalam telinga Arsena. Hanya beberapa gerakan yang dia pahami.

Tubuhnya seolah kelu tak bisa bergerak. Layaknya otak tersengat listrik lalu kaku, tiba-tiba air matanya menetes. Tak sanggup rasanya ia menerima hal ini.

"Sen, it's okay! Ngga apa-apa, Daddy disini sama kamu." Sosok pria dewasa itu segera merengkuh tubuh Arsena, mengamankan agar tak terjadi hal buruk bagi sosok terpenting dalam hidupnya.

Bukan mengapa, Arsena selalu terpaku kala ada banyak anak dalam sebuah pesta. Dimana masa lalunya kala itu begitu menginginkan pesta saat ulang tahun. Namun didapati cacian beberapa orang tua teman Harris saat acara berlangsung hingga berakhir ia diseret dan dicambuk dalam ruang bawah tanah.

SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang