Tiga hari lamanya Arsena masih nyaman tertidur di brangkar rumah sakit. Mengabaikan banyak hal mengejutkan terjadi. Apalagi dengan kepindahannya ke rumah sakit yang memang jauh dari tempat tinggalnya saat itu.
Sementara orang yang bertanggung jawab atas dirinya masih setia menggenggam tangannya. Menanti datangnya sosok yang begitu ia cintai.
"Eungg" tubuhnya sedikit menggeliat, sementara matanya perlahan terbuka menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke matanya.
"Huhh, sudah bangun boy?" Hela nafasnya lega.
Cup
Dikecupnya dahi Arsena sambil tersenyum lembut. Diusap perlahan beberapa titik keringat di sela jahitan leher anak itu agar tak gatal.
"Siapa?" Arsen bingung dengan orang itu.
Dia sedikit paham dengan mimik wajah yang sedikit khawatir, namun terdapat sebuah kelegaan. Tapi salahkan jika dia waspada setelah mendapatkan kecupan dahi?
Apalagi setelah kejadian bersama manusia laknat itu. Bahkan orang ini tak dikenalnya berani mengecup bagian wajahnya.
"Tenang boy, tak perlu khawatir. Aku tau apa yang ada dalam pikiranmu saat ini." Ucapnya menenangkan Arsena.
Pria itu tersenyum, Arsena menyukai itu. Seolah menenangkan hatinya, memberikan kekuatan dan menyirat ia akan baik-baik saja bersamanya.
"Tunggu sebentar, dokter akan segera kemari. Setelah itu akan kuceritakan apa yang terjadi sesungguhnya." Ucapnya sambil berdiri.
Benar saja, dokter dan seorang perawat masuk ruang rawat VVIP itu. Memeriksa banyak hal terlebih dengan kondisi jahitan serta segera meminta bagian dapur untuk menyiapkan makanan pasien yang baru sadar itu.
POV flashback
"Sudah kau tuntaskan semuanya?" Tanya pria itu datar.
"Sudah Tuan, semua barang sudah diangkut menuju ke rumah Tuan." Jelas Theo singkat.
"Hanya itu?" Selidik si pria.
"Maaf jika perkataan saya kasar, hanya Tuan Andrean berkata mengusir Tuan Muda menggunakan kalimat agar saya membawanya jauh dan tak kembali kesana atau ke hadapannya sambil memberikan uang." Jelasnya sambil menyerahkan amplop besar yang berisi uang yang lumayan banyak.
Pria itu mengangguk lalu mengambil backpack yang tadi dibawa Theo dan memasukkan uang itu kesana.
Memang Theo merasa tak mau dirugikan. Semua uang yang diterima Tuan Mudanya harus ia bawa semua tanpa meninggalkan sepeserpun. Pantang baginya meninggalkan uang itu pada manusia kriminal macam itu.
Singkat cerita, usai proses administrasi pemindahan pasien selesai. Arsena langsung dibawa menuju kota lain yang jauh. Pria itu sengaja menyewa sebuah helikopter yang diparkir di rooftop gedung rumah sakit agar tak meninggalkan jejak. Tak lupa juga untuk menyogok pihak rumah sakit untuk tak memberi data kepindahan Arsena atau apapun semenjak hari itu.
Dan sampai lah mereka berdua di kota ini. Dengan rumah sakit yang lebih baik serta lebih canggih peralatannya serta para tenaga yang lebih berkompeten.
"Jadi, siapa Anda?" Arsena merasa cerita itu bertele-tele, tak menjawab apa pertanyaannya sebenarnya. Sementara pria itu masih bisa tersenyum tenang bersama Theo yang berdiri diam dibelakang seolah tak mendengar apapun.
"Rangga Bhaskara."
Degg
Singkat padat dan jelas. Arsena tak menyukai itu, baginya sosok yang bernama Rangga Bhaskara telah meninggal dijagal oleh Daddy-nya tiga hari setelah dia lahir. Sekarang apa? Apa dia hantu atau seseorang yang mirip dengannya, atau bahkan orang yang mengaku-ngaku saja.
Rangga menggenggam lembut anak itu. Mencoba meyakinkan "Ini Daddy mu boy. Orang itu bukan siapa-siapa mu, hanya sosok kriminal yang perlahan ingin kau mati sengsara." Jelasnya sedikit mengabaikan kondisi Arsena yang baru saja sadar.
"Banyak hal yang mereka tutupi tentangmu, bahkan sosok gila yang telah melahirkanmu." Mengingat hal terberat masa lalunya membuat hatinya terasa diremat.
"Daddy janji akan terus berada didekatmu. Memastikan putra kesayangan Daddy tak kekurangan apapun." Matanya mulai memerah basah.
Klise bagi seorang Arsena akan drama ini. Layaknya scene novel dimana seorang tokoh baru sadar dari koma dan mendapati fakta orang tuanya masih hidup lalu berpelukan sambil berderai air mata. Dia benci sangat membenci adegan itu.
Reaksi tubuh malah kontras.
'Anj.. ini tubuh malah menye-menye!' umpatnya dalam hati.
Adegan itu berlangsung beberapa menit. Meski begitu ada kelegaan di hati mereka berdua. Seolah masing-masing memiliki kesempatan untuk menjadi keluarga layaknya keluarga normal.
Selama empat hari berlalu di rumah sakit. Banyak hal terkuak, soal diagnosa kebohongan yang menyebut kelainan Arsen yang tak bisa merasakan sakit, alasan kematian Rangga Bhaskara, kondisi Nyonya Suryajaya, bahkan cara Rangga melindungi putra semata wayangnya.
Meski Arsena sekarang tak memiliki ingatan lamanya. Setidaknya kini ada seseorang yang benar-benar tulus menyayanginya. Dia tak akan melupakan hal manis ini.
"Yah memang bukan suatu kesalahan mengikuti Daddy ku yang sesungguhnya." Gumamnya memandang langit-langit ruang rawat.
"Waktunya hidupku bahagia sambil memberikan kebahagiaan pada keluargaku sendiri. Pertama tak perlu berkomunikasi dengan keluarga lucknut itu ..."
Strateginya kali ini menghindari apapun yang berpotensi bertemu dengan keluarga lamanya.
"Ah ya, lebih baik menarik uang-uangku dari tabungan itu. Jangan sampai aku hidup miskin."
Baginya dia kaya sekarang. Memiliki uang di beberapa tabungan bank. Daddy-nya juga seorang dokter spesialis terkenal. Tak mau jika harus masuk ke setelan pabrik atau menjadi miskin seperti di kehidupan sebelumnya.
Waktu siang dokter telah membebaskannya dari perawatan rumah sakit. Tak lupa mengingatkan Theo membawa beberapa buku tabungannya untuk dipindahkan saldonya.
"Saya harus mengganti oli mobil Tuan Muda. Apa tidak lebih baik ke bengkel dulu baru ke bank?" Bujuk Theo pada tuan muda yang keras kepala di sebelahnya.
"Tidak, turunkan aku di bank RBI. Lanjutkan urusanmu nanti kutelpon jika sudah selesai." Ucap Arsena final tak ingin dibantah.
Akhirnya diturunkan di depan lokasi bank yang ia maksud. Usai mengambil nomor antrean dia hanya tersenyum layaknya logo bimbingan les anak SD yang terkenal itu.
"Fucek kata gue mah, antrean ke 57 sementara pelayanan masih 32." Sesalnya duduk di satu-satunya kursi tunggu yang tersisa.
Semua orang pasti merasakannya. Dimana menunggu antrean bank yang super lama. Meski membawa ponsel yang katanya pintar namun tak memiliki paket data. Serasa menjadi manusia purba yang mencoba membuat api menggunakan batu ditengah hewan liar yang bisa makan langsung dari pohonnya.
'Pengen nangis aku, Daddy tolong!' kata hatinya sambil keluar masuk aplikasi wassap.
TBC
Ahay, makasih reader sekalian udah mampir sampai kesini. Cuma belom dapet vote sama sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
SOLO
Short Story"Kalo masih punya otak MIKIR" bentaknya sambil menatap nyalang. "Lo masih tinggal disini cuma karena kita semua kasian, ngga usah drama!" "Pernah kepikiran hidup bebas diluar? Lakuin aja, Papa malah seneng kalau kamu inisiatif gitu. Seenggaknya Papa...