"Hahhh, sejak kapan hidupku menye-menye?" Berkali-kali kesah itu keluar dari mulut Arsena. Menyesal akan kejadian tiga hari yang lalu. Menyesal bagaimana dia menumpahkan emosi yang selama ini dia tekan.
"Ya, memang aku tau hidupku kosong. Tanpa adanya keluarga, teman, pacar? Ah aku tak peduli!"
Hujan malam ini begitu deras, tak ada satupun hal yang menarik di langit. Arsena tak takut suara gemuruh petir, hanya takut jika petir menyambarnya. Bagaimana jika dia ditemukan gosong? Wajahnya yang tampan nan rupawan aduhai uwaw itu akan tercoreng.
Sebuah sofa ia taruh di belakang pintu, berniat mengganjal siapapun yang akan masuk seenaknya. Tau bahwa pintu yang mungkin didobrak akan langsung rusak, maka tak mungkin akan sengaja didobrak.
"Malam-malam gini enaknya makan indomi kuah, rasa kaldunya emmm! Menghangatkan," ucap Arsena mengikuti nada iklan yang sering ia dengar dulu.
"Mi sedap goreng 2, telur 1, pokcoy sisa sebatang, ayam sisa paha 2 dibikin ayam suwir aja." Dipilihnya beberapa bumbu sambil merebus air.
Arsena sering dimarahi kakeknya karena makan mi instan, padahal sangat jarang baginya makan makanan itu. Sehingga saat merasa begitu kesal, dibelinya beberapa karton mi instan dari beberapa merek serta berbagai rasa yang pernah ada hingga membuat kakeknya galau berguling-guling.
Dari 8 karton yang disita lalu diberikan pada cleaning service apartemen, hanya sisa 2 karton yang ada. Beruntung dia beli online sehingga dikirim esok harinya saat pagi. Minimal bisa dibuat donat mi instan.
Akhirnya mi instan goreng berkuah bumbu soto dengan telur rebus, sayur serta ayam suwir matang.
Cklek
Sial! Dia lupa membawa sofa yang ditaruh dibelakang pintu tadi. Dia rasa ada yang kurang, sehingga mengembalikan sofa itu ke tempatnya.
"Mi instan lagi?" Ejek Bernard sambil bersedekap.
Sementara pria lain dibelakangnya langsung menyerobot mengambil mangkuk dan sendok mi yang baru akan diseruput.
"Hmm, enak bangat! Huh hah." Ucap penyerobot itu memakan mi panas.
Arsena masih tetap mangap. Belum satupun mi atau kuah masuk dalam mulut, kini diambil orang.
"Cih!" Decak kesal Arsena yang kemudian mengambil piring ayam suwir lalu membawanya kembali ke dapur.
"Nah benar begitu!" Ucap Bernard melihat cucunya mengambil nasi.
Mereka saling diam, Arsena kesal dengan kedatangan mereka berdua. Rangga si pria penyerobot itu merasa bersalah memakan makan malam anaknya, sementara Bernard tersenyum kecil melihat pasangan ayah dan anak itu.
"Apa gengsi kalian bisa kubeli huh?" Putus keheningan Bernard dalam ruangan itu.
"Berapa? Bilang saja!" Ia terkekeh dengan Arsena yang melotot.
"Beli saja, cukup dengan mencabut warisanku!" Jawab Arsena berapi-api sehingga membuat kedua pria lain terlonjak yak percaya.
"Ah pasti menyenangkan, bisa pulang ke Jepang. Bangun toko kelontong 24 jam sekalian jualan mi rebus sama kopi, dikasih keras 'Tidak Menerima BON' ruko kecil saja cukup!" Ujar Arsena sambil membayangkan kebahagiaan kecilnya.
"Lagipula mana ada orang jepang ngutang?" Bernard begitu heran dengan cucunya itu. Imajinasinya bukanlah liar, tetapi sedikit tak realistis. Banyak anak bercita-cita kerja mapan dengan jabatan bagus, Arsena hanya memimpikan memiliki toko kelontong. Ajaib, tapi sedari dulu dari leluhurnya memiliki hidup mewah. Sementara setaunya, keluarga Rangga termasuk keluarga berada meski tak begitu kaya dengan bermandikan emas permata.
"Emang toko yang jual apa yang kamu inginkan?" Rangga mencoba berkomunikasi dengan anaknya itu. Sedikit lirih, namun tetap bisa terdengar mereka bertiga.
"Setidaknya jual mi instan, sabun mandi, deterjen, odol, sikat gigi, shampoo sachet, rexona sachet, fair and beloved, gula, garam, micin, masako, royco, ciki ngebul, wafer berapa lapis? Ratusan! Terus kopi sachet, emm..." Arsena terus berucap apapun barang atau merek yang terlintas di otaknya.
"Stop! Jika mau bangun supermarket bilang saja!" Sentak Bernard menghentikan kata-kata cucunya.
Sebenarnya Bernard amat suka dengan cucunya ini. Sebelumnya tak pernah ada cucu sendiri atau dari keluarga besar yang bisa membantahnya atau melawan. Mereka tergiur akan harta, sementara Arsena merupakan sosok invers semuanya. Ia bahkan almarhum istrinya suka kala anak itu memberontak dengan segala alasan yang terlintas dari benaknya.
Sempat saat mereka culik Arsena ke mansionnya, mengatakan akan memberikan mobil jika mau tinggal disana. Namun jawaban anak kecil usia 4 tahun itu masih polos, 'emang mobil bisa nyari kodok ya?'. Ia ingat kala itu Arsena begitu ingin kaos bergambar kodok gemuk namun tak pernah bisa ia dapatkan.
"Cih supermarket!" Begitu sinis dia menatap kakeknya.
"Kenapa?" Tantang Bernard agar anak itu tak berhenti berucap.
"Ngerepotin pake pegawai, mending toko kelontong. Kalo ada yang beli tinggal bilang 'selamat datang di toko kelontong Arsena, selamat belanja!' terus diakhiri 'sekalian pulsanya? Uang 500 nya didonasikan ke saya' pasti jadi trending!" Ujar Arsena amat yakin.
Bernard dan Rangga tak habis pikir. Mimpi Arsena itu agak nyeleneh, sejak kapan toko kelontong ada kata sambutan demikian. Donasi? Bahkan donasi ditujukan untuknya sendiri.
"Sen itu layanan minimarket! Lagipula donasi uang kembali 500. Pelanggan jepang mana? Orang gila mana yang rela 500 yen untuk didonasikan?" Sergah Bernard.
"Iya juga sih, 500 yen bisa beli bento. Mungkin harus jual bento juga biar ngga ngasih kembalian." Bayangan donasi pada pemilik pupus sudah.
Rangga makin menatap Arsena tak percaya. Semua pemikirannya absurd, tetapi terpikir sistematis. Tapi juga mustahil direalisasikan. Apakah dia juga lupa bahwa dia seorang arsitek.
"Udahlah pulang sana! Bikin mimpiku makin jauh. Aihhhh, wajahku yang uwaw ini bakal kerut mikirin toko kelontong." Keluhnya sambil mengusir kedua pria dewasa itu dan berlalu masuk kamar.
Mereka tak beranjak dari unit apartemen itu. Memilih menginap disana karena hujan deras yang tak kunjung reda.
"Apakah Arsena egois? Kurasa tidak, hanya dia tak peduli pandangan atau omongan orang." Bernard memulai bahasan.
"Ya seperti Bapak tau, rasanya kita sebagai orang tua yang egois. Menyetir kehidupan Arsen dan mengabaikan keinginannya, seolah semuanya tak baik untuknya." Rasa bersalah itu menyeruak memenuhi hatinya. Teringat dulu Rangga mengekang Arsena agar tak keluar selain bersamanya atau orang kepercayaannya. Padahal tujuannya adalah menjual anak itu sesuai keinginan orangtuanya.
Bukan menjual tubuh anak itu, melainkan menjual organ tubuhnya. Mengekang yang dimaksud adalah meyakinkan bahwa dia tak merusak organ tubuh yang berharga.
Beruntung Arsena bisa diam-diam kabur. Sehingga Rangga bisa berkelit sehingga bisa menahan agar orangtuanya tak mengejar Arsena. Lalu mencari anaknya diam-diam meski hasilnya nihil.
"Sudahlah selesai pembicaraan kita, lebih baik istirahat sudah terlalu malam." Bernard berlalu menuju kamar satunya.
Rangga yang terlalu rindu dengan anaknya memilih tidur di kamar Arsena. Terlebih dulu dia berganti pakaian lalu masuk ke kamar Arsena. Abaikan jika ia dicap nyelonong tak tau malu.
Ia masuk dalam selimut disebelah Arsena kemudian membawa anak itu dalam pelukannya. Sementara reaksi anak itu malah makin mendekat. Entah dalam dirinya memang menghafal bau tubuh itu sebagai kenyamanan. Atau memang sosok Arsena yang sedari dulu mendamba sosok orang tua yang bisa memeluk erat kala dia sendirian.
TBC
Hehe malem reader? Kalian udah makan mi instan hari ini?
By the way kalian suka mi goreng apa mi kuah?

KAMU SEDANG MEMBACA
SOLO
القصة القصيرة"Kalo masih punya otak MIKIR" bentaknya sambil menatap nyalang. "Lo masih tinggal disini cuma karena kita semua kasian, ngga usah drama!" "Pernah kepikiran hidup bebas diluar? Lakuin aja, Papa malah seneng kalau kamu inisiatif gitu. Seenggaknya Papa...