Ada kalanya, Sela merasa begitu kesepian. Memilih untuk menjalani hidup yang 'biasa saja' bukan berarti membuat Sela otomatis terbebas dari masalah. Ketika masalah-masalah itu datang, tidak ada siapapun yang bisa Sela jadikan tempat mengadu. Mama sibuk dengan dunianya, apalagi Nisa, sahabat satu-satunya yang kini masih tersisa pun, punya masalahnya sendiri.
Acapkali Sela memendamnya sendiri. Menangis diam-diam saat malam hari, menangis sampai jatuh tertidur.
Katanya, manusia butuh 3 kali pelukan dalam sehari untuk bisa merasa lebih baik. Sela pikir, kalimat barusan hanyalah omong kosong belaka.
Namun semakin hari, Sela semakin sadar, kalau itu bukanlah hanya sekedar kalimat angin lalu belaka. Ada kalanya Sela merasa ingin dipeluk, ingin merasa kalau dia aman saat berada di samping seseorang.
Tak ayal, dia sering kali bermimpi sedang di peluk seseorang, padahal pada kenyataannya, dia hanya sedang memeluk bantal.
Namun untuk pagi ini, rasanya benar-benar nyata. Sela tak bisa membuka matanya barang sedikit saja saking nyamannya. Cuaca yang dingin begitu serasi dengan hangat dekap tubuh seseorang.
Sela kira, dia masih bermimpi. Sampai akhirnya matahari kian meninggi, membuat Sela terpaksa bangun akibat cahaya terang yang menimpa wajahnya.
Disaat itulah, Sela terbelalak. Napasnya tercekat.
Sejak kapan dia tidur seranjang dengan Shaka?
Apa yang sudah mereka lakukan?
Mereka … tidak berbuat sesuatu yang tercela, kan?
Rasanya Sela sudah siap menangis histeris jika saja tangan Shaka tak segera mengusap punggungnya. Mata Shaka masih terpejam, bersuara serak. "Harusnya gue yang nangis, Rosela. Bukan elo. Gue gak bisa tidur dari semalam."
Sela mengerjap. Mencoba-coba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi kepalanya kepalang pusing. Yang bisa Sela ingat hanyalah dia sedang mengobrol dengan teman-temannya, lalu Ayi membawa sebotol minuman, lalu…
Semuanya buram.
Sela mengusap kepalanya. Menangis. Dia tidak mendadak amnesia, kan?
"Gue nggak ingat apa-apa, Ka," Sela berucap dengan nada bergetar. Shaka membuka matanya. Melihat Sela yang mulai menangis sesenggukan di dalam dekapannya. "Terus ini apa? Gue–gue nggak aneh-aneh kan, semalam?"
Pandangan Shaka mengikuti arah telunjuk Sela, tepat pada lehernya yang memerah. "Oh, ini. Kan lo yang bikin."
Tangisan Sela makin menjadi-jadi.
***
Butuh waktu satu jam bagi Shaka untuk menenangkan Sela yang menangis sesenggukan. Sesuai dengan dugaannya, dibutuhkan banyak tenaga untuk menjelaskan apa yang terjadi semalam. Termasuk bagaimana Melati bersama teman-temannya yang lain yang secara tidak langsung, membuat Sela meminum alkohol dan berujung mabuk.
Soal 'tanda merah' yang ada di leher Shaka, itu terjadi saat Sela merengek hendak mencari kucingnya ke luar kamar. Shaka bersusah payah menahan Sela, bagaimanapun, gadis itu sedang mabuk. Shaka membujuk Sela kalau dia akan mencari kucing kesayangannya itu jika Sela sudah jatuh tertidur.
Alih-alih menurut, Sela justru memberontak. Dia nyaris lari keluar kamar jika saja Shaka tak buru-buru menariknya. Terpaksa Shaka menggendong Sela agar menurut naik ke atas kasur, tak lupa juga mengunci pintu kamar. Sela terus saja memberontak dan berujung menggigit leher Shaka.
"Beneran gitu?" Sela bertanya disela sedu sedannya. Matanya membengkak dengan hidung memerah. Pernpasannya tersumbat. Sesekali bahunya masih tersentak. Shaka gemas, tapi dia memilih untuk tetap diam, dengan sabar mengusap air mata Sela yang berjatuhan di atas pipi. "Gue gak melecehkan elo, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Law Of Arshaka
RomanceWaktu zaman sekolah, kalau soal fisika, Sela suka beberapa materi meskipun gak begitu menguasai: hukum Newton, hukum Kepler, hukum Archimedes dan sebagainya. Setelah tamat, Sela suka Law Of Attraction yang lagi gencar di suarakan di berbagai sosial...