Hukum 28 Arshaka

218 22 10
                                    

Dalam kamus hidup Rosela, dia jarang menangisi hal-hal yang berada diluar kuasanya. Misal, seperti Papa yang lebih memilih keluarga barunya ketimbang keluarga mereka, tentu saja ada kalanya Sela berpikir kenapa Papa tidak memilih mereka saja? Untuk suatu momen, Sela menangis, namun selebihnya tidak lagi.

Karena apapun keputusan yang Papa buat dan pilih saat itu, semuanya ada diluar kuasanya.

Sama halnya dengan novel-novel online yang Sela tulis. Dia bukannya tidak pernah berusaha untuk mempromosikan karyanya agar lebih dikenal khalayak ramai. Bahkan tidak sedikit uang yang Sela gelontorkan untuk membayar beberapa akun untuk paid promote. Hasilnya? Yah pembacanya bisa naik satu-dua persen, bukan angka yang signifikan.

Lagi, itu diluar kuasa Sela. Yang menjadi kuasanya hanyalah usaha dan mungkin sedikit ekspektasinya yang harus bisa dia jaga; agak tinggi sedikit saja, Sela bisa oleng dan berujung mogok untuk nulis.

Tentu yang dia bahas disini, semuanya, adalah pengalaman pribadi.

Namun tidak untuk kali ini. Untuk sesuatu yang diluar kuasa Sela, dia menangis karena satu hal; tablet Aza, si ilustrator muda tempat Sela memesan sampul-sampul buku daringnya selama ini, rusak.

Apa hubungannya dengan Sela? Oke, mari Sela jelaskan.

Jadi beberapa saat yang lalu, Padanyaengajaknya ketemuan di kafe dekat rumah Sela. Dia sudah girang bukan kepalang karena membayangkan akan semenakjubkan apa sampul yang Aza buatkan untuknya. Ditambah, ini adalah buku dengan genre fantasi pertama yang Sela garap, tentu saja dia datang dengan penuh semangat.

Semuanya tampak normal sampai Aza mengeluarkan tabletnya dari dalam tas, lalu tanpa bisa diprediksi, seseorang lewat dan menyenggol lengan Aza sampai tablet itu terlepas dari tangannya dan jatuh berdebam menghempas lantai.

Kabar buruk pertama datang, tablet Aza mati total. Menurut analisis singkat, sepertinya ada masalah pada layarnya. Kabar kedua datang ketika Sela meminta back up file dari gambar yang dia pesan.

Dengan berat hati Aza menjawab, "Belum gue back-up, Kak. Baru selesai tadi dan gue saking semangatnya langsung kesini buat ngasih ke elo."

Sela lemas. Tanpa banyak kata keduanya segera pulang dengan wajah suram. Aza berulang kali mengucapkan kata maaf dan berjanji akan membuat kompensasi yang setimpal atas keterlambatan dan sedikit keteledoran yang dia buat. Sela hanya bisa memberikan pengertian dan bilang kalau dia mengerti, apapun yang terjadi, jelas Aza menjadi orang yang paling merasa sial disini.

Selama di jalan menuju pulang, Sela masih bisa baik-baik saja. Karena suasana hatinya kacau, Sela jadi tidak ingin pulang dan mendekam di dalam kamar—yang ada rasa sedihnya makin menjadi-jadi nanti. Jadi setelah memasukkan motor kembali ke dalam rumah, Sela membawa kakinya ke rumah Shaka.

Seperti yang dikatakan cowok itu kemarin, Shaka sedang pergi ke perusahaan tempat dia bekerja selama ini. Bu Jainab tetap menerima Sela dengan suka hati. Namun karena hari ini jadwal cek up Pak Heru, terpaksa Sela ditinggal seorang diri di rumah.

"Atau kamu mau ikut aja, Nduk? Di rumah kamu juga nggak ada orang, kan?" Bu Jainab menawarkan opsi lain. Seakan paham jika wanita muda itu sepertinya sedang tidak dalam kondisi hati yang baik untuk ditinggalkan seorang diri.

"Gak apa-apa, Bu, Sela di rumah aja. Dua jam lagi ada janji sama temen, takut gak sempat nanti." Sela meringis. Semenjak pacaran dengan Shaka, Sela jadi secara natural mengikuti gaya bicara Shaka. Dia tanpa sadar pun mengubah panggilannya pada Bu Jainab yang semula Bude jadi Bu.

Tidak konsisten memang.

"Kalo gitu kamu disini aja, tunggu Shaka. Sebentar lagi Mas juga pulang."

"Boleh, Bu?" tanya Sela keheranan, ini satu keluarga apa tidak pernah berburuk sangka, ya? Bisa saja kan Sela menggunakan kesempatan buat maling kalau diberi kesempatan sebesar ini? Meskipun mustahil juga sih, Sela maling. Mencuri uang dua ribu dari dompet Mama saja Sela tidak berani.

Law Of ArshakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang