Hukum 30 Arshaka

212 27 6
                                    

"Kapan temen-temen kamu kesini, Shaka?"

Bapak, yang selalu menikmati hening pagi bersama kopi pahit andalannya, entah kenapa hari itu membuka pembicaraan dengan Shaka. Meskipun hampir setahun terhitung sejak Shaka pulang ke rumah, tetap saja, canggung dan kikuk itu bisa Shaka rasakan dengan jelas.

Ia jarang berbincang dengan Bapak, biasanya berbicara pun hanya membahas hal yang penting-penting saja. Bisa dihitung jari jika mereka berbicara basa-basi.

Setelah mereguk kopinya, kebiasaan yang sepertinya diwariskan dari Bapak untuk Shaka, barulah dia menjawab, "Sebulan lagi lah, Pak. Mereka masih ngajuin banyak proposal, juga ketemu sama donatur yang niat nyumbang."

"Temen kamu jadi mau nginep di rumah selama disini, Mas? Kalo jadi, nanti Ibuk mau beresin kamar tamu," imbuh Bu Jainab yang juga sedang sibuk di dapur, menyiapkan makanan ringan untuk dua pria yang tak terbiasa makan pagi. 

"Gak perlu repot, Bu. Yang mau nginep cuma Aidan, nanti suruh sekamar sama aku aja."

"Bapak seneng, Ka. Kamu mau ngambil inisiatif bantuin panti. Anak-anak itu, kalau bukan kita yang ngurus, siapa yang mau bantu?" Pak Heru tersenyum tipis, saking tipisnya Shaka sampai ragu kalau segaris lengkung samar dibibir itu bisa disebut senyuman. "Semenjak gerak Bapak terbatas, Bapak suka kepikiran sama nasib anak-anak panti."

"Makanya, Pak, aku sama temen-temen ngumpulin dana bukan cuma buat bantuin keuangan panti. Tapi juga bikin program buat anak panti yang udah dewasa untuk bisa bikin usaha mereka sendiri. Semacam workshop nantinya. Ati sama temen-temennya udah kita minta buat ikut kelas menjahit–atau apa aja, sesuai kemauan mereka dibidang apa–nanti sisanya kita ajarin buat jalanin bisnis, nyari relasi, bangun komunitas, sama cara buat manfaatin sosial media biar bisa raih pelanggan dengan lebih luas. Jadi insha Allah, panti bisa punya penghasilan sendiri nanti, gak perlu lagi cemas nungguin uang dari donatur. Setiap dua persen dari omset penjualan bakalan disalurkan ke dana panti." Shaka menjelaskan sedikit panjang. Omong-omong, Ati adalah nama dari segelintir anak panti yang tahun ini menyelesaikan pendidikan mereka dibangku sekolah. Karena sudah dianggap dewasa, Shaka harap mereka punya sedikit kemampuan agar bisa hidup mandiri. 

"Bagus-bagus, ide anak muda memang bisa diandalkan. Efisien dan sesuai zaman," Bapak manggut-manggut, tampak optimis mendengar rencana Shaka. "Berarti kamu udah punya mentor buat ditunjuk ngajar nanti?"

"Udah, Pak."

"Siapa?"

Shaka agak ragu untuk memberi tahu. "Melati sama … Aya."

Mau tak mau Bu Jainab menoleh mendengarkan Shaka menyebut nama yang familier namun sudah tidak pernah lagi Shaka bahas. "Aya yang itu? Aya mantan kamu itu, Mas?"

"Iya, Bu." Shaka menunduk. Menatap cangkir keramik ditangannya. Enggan bersitatap dengan mata Bu Jainab yang tampak menyelidiki.

"Kamu gak apa-apa?" Berbeda dengan Ibuk yang tampak sungkan bertanya lebih jauh, Pak Heru justru bertanya dengan terus terang. Shaka hanya bisa mengangguk kecil. Tentu saja dia baik-baik saja. Dia dan Aya sudah dewasa, meskipun berakhir dengan cara yang sedikit rumit, pada akhirnya Aya dan Shaka sudah sepakat untuk menganggap yang lalu tetap sebagai masa lalu. Tak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka dimasa kini.

Justru yang membuatnya gusar adalah Sela.

"Aku gak apa-apa, Pak." Aku Shaka pada akhirnya. Dia mengecek ponsel. Sudah pukul sembilan pagi, tapi masih belum ada kabar dari Sela.

Bagaimana caranya Shaka menjelaskan masalah ini pada Sela? Semalam saja sudah cukup ribut, apalagi kalau Sela sampai tau kalau Aya akan datang dan menetap sementara waktu untuk urusan di panti asuhan.

Law Of ArshakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang