Langit gelap bergelayut tepat di atas kepalanya.
Selagi kakinya masih melewati mobil demi mobil yang terparkir, Sela terus saja berpikir sembari mencoba menata kembali emosinya yang sempat kacau. Dia tipikal orang yang selalu ingin menjauh dari sumber masalah agar bisa berpikir lebih baik. Sela ingin pisah saja dari Shaka. Masalahnya sekarang adalah, dia tidak tau sedang dimana dan sejauh mana lagi perjalanan yang perlu ia tempuh untuk bisa sampai di rumah. Hendak balik ke mobil rasanya terlalu malas, dia akan bertemu Shaka lagi nanti.
Sela rasanya lebih ingin naik bus dan pulang dengan terpisah dengan Shaka.
Hm. Bukankah itu ide yang cukup bagus?
Dengan impulsif Sela menelepon Nisa. Tanpa penjelasan lebih lanjut langsung menukas, "Pinjem duit dong, berapapun yang lo punya, kasih gue dulu, nanti gue ganti."
"Ada apa dateng-dateng langsung minta duit? Shaka kena copet apa gimana?" seru Nisa bertanya-tanya, dia tidak langsung mengiyakan permintaan sang sahabat. "Jelasin dulu ada apa, baru gue kirim uangnya."
"Gue berantem sama Shaka,"
"..."
"Gue gak pengen semobil sama dia sampai rumah."
Ada desahan panjang yang Nisa lepaskan setelah mendengar alasan Sela. "Sel, lo udah gede lho. Masa berantem dikit mau diem-dieman. Pacaran sama anak TK apa gimana lo?"
"I know! Gue udah coba ngomong and it doesn't work. Lo tau sendiri, kan? Shaka tuh batu. Gue berasa ngomong sama tembok. Kalau aja dia–" Sela menahan bibirnya untuk tidak memberikan detail pertengkaran mereka sekarang. Nanti. Sela tak mau semuanya dia sampaikan hanya lewat ponsel, rasanya kurang puas. "...kalau aja dia bisa lebih komunikatif, gue nggak akan sekesal ini."
"Jadi beneran mau balik sendiri? Jauh lho, yakin berani?" tanya Nisa ingin memastikan untuk sekali lagi.
"Berani nggak berani aja sih. Masa bodoh! Kalau Shaka mau keras kepala, gue juga bisa lebih keras kepala dari pada dia."
Seperti ada pembakaran di dalam kepala Nisa sekarang, dan otaknya mengepul panas dengan hebat. "Tunggu sebentar, gue kirimin duitnya."
"Cukup kan buat gue sampai ke rumah? Soalnya budget gue juga udah tipis banget sekarang."
"MAKANYA KALAU MAU TRAVELING ITU GAK USAH BANYAK ULAH!" amuk Nisa berapi-api. Sela sampai terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga saking kerasnya teriakan Nisa. "Ditunggu!"
"Gue janji kok bakal balikin uang lo."
"Iya, iyaaaaa."
"Dari rest area bisa naik bus gak sih? Biasanya kudu beli tiket di loket dulu kan ya?" Tiba-tiba Sela kepikiran soal tiket busnya.
"Lo mau beli tiket bus buat apa?"
Suara Shaka yang muncul dari balik punggung Sela membuat cewek itu benar-benar terkejut. Dengan terburu-buru Sela mematikan panggilan, segera menatap Shaka dengan gelagatnya yang mencurigakan.
"Lo mau pulang sendirian? Naik bus?"
Sela mati-matian berusaha menenangkan hatinya saat menjawab dengan nada ketus, "Bukan urusan lo juga, Ka."
"Rosela," Shaka menarik napas dalam. Dia tau kalau Sela sedang kesal. Tapi Shaka tidak sampai berpikir kalau Sela bisa nekat seperti ini. "Gue tau gue salah, gue tau lo marah. Tapi apapun yang lo rencanain di otak ajaib lo itu, kalau gak ada gue di dalamnya, mendingan lo lupain. Bahaya."
"Sejak kapan gue perlu pendapat lo? Toh lo juga nggak pengen melibatkan gue dalam apapun-yang-lo-lakukan di belakang gue," Sela sengaja membuat penekanan pada beberapa kata agar Shaka paham kalau dia sedang sarkas. "Cukup adil, kan? Gini kan cara mainnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Law Of Arshaka
Roman d'amourWaktu zaman sekolah, kalau soal fisika, Sela suka beberapa materi meskipun gak begitu menguasai: hukum Newton, hukum Kepler, hukum Archimedes dan sebagainya. Setelah tamat, Sela suka Law Of Attraction yang lagi gencar di suarakan di berbagai sosial...