Hukum 31 Arshaka

240 26 5
                                    

"Rosela cantik, ya? Hidungnya mancung."

Tiap kali ada yang memuji seperti itu, rasanya Sela ingin berterus terang menjawab, "Iya, soalnya cengeng, kebanyakan nangis. Sering mencet idung buat buang ingus."

Kalau melihat secara genetik, baik dari pihak Mama maupun Papa, tidak satu pun dari keduanya yang memiliki garis hidung yang tajam. Nana pun begitu, hidungnya biasa saja. Jadi Sela bisa ambil kesimpulan kalau hidungnya mancung karena dia terlahir dengan mental yang cengeng.

Alasan yang gak ilmiah banget.

Apa saja, Sela bisa menangisi apa saja. Tak heran dia harus membersit hidung puluhan ribu kali dalam setahun. Dari kecil dia memang dikenal penuh empati. Sayangnya, sampai detik ini, dia belum punya cara tepat untuk meregulasi emosinya dengan baik.

Marah sedikit, menangis.
Kesal sedikit, menangis.
Kecewa, ujung-ujungnya juga menangis. Tak ada yang bisa diselesaikan dengan menangis, tapi hanya itu satu-satunya cara yang Sela tau untuk membuat hatinya sedikit lega.

Yah … mungkin mirip-mirip Shaka yang susah berbicara jika bersangkutan dengan apa yang ia rasakan, Sela juga demikian.

Tidak semua emosi bisa dijabarkan dalam bentuk kalimat.

Meskipun begitu, segitu cengengnya Sela, dia bisa dengan santai menceritakan pertemuannya dengan Papa saat di Jogja. Anehnya lagi, saat melapor pada Nana perihal 'gebrakan' baru Papa mereka itu, Sela merasa baik-baik saja. Berbeda saat Sela harus menghadapinya secara langsung kala itu, semua emosinya meluap dan dia berakhir menangis sejadi-jadinya.

Apa ini definisi ikhlas, ya?

Sebagai mahasiswi yang selalu butuh uang lebih untuk menjalani hidup, setelah tau kalau adik tiri mereka, Clara, bisa hidup dengan baik selama mengenyam pendidikan di Australia sana, tentu saja Nana menjadikan cerita Sela sebagai senjata untuk meminta uang lebih pada Papa. Gacor. Nana jadi punya uang banyak sekarang setelah notif brimo-nya berdenting merdu tepat dua menit setelah Nana menelepon.

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Tentu saja di kamar, hanya berdua, tidak ada Mama. Kalau ada beliau bisa jadi lain cerita, bisa-bisa nanti Mama sedih setelah mendengar betapa makmurnya hidup keluarga Papa sekarang setelah mencampakkan mereka.

Itu adalah hal paling tidak ingin Sela lakukan.

Omong-omong, kalau kalian bertanya-tanya kenapa tiba-tiba ada Nana di kamar Sela, kabar terbarunya adalah dia baru pulang tadi sore. Hari ini hari Jum'at, karena Senin depan tanggal merah, Nana jadi punya waktu tiga hari untuk pulang ke rumah. Yah, tugas-tugas kuliahnya masih jalan, sih. Tapi masih bisa dikerjakan sambil liburan.

Disinilah mereka sekarang, berbaring berdua sambil bertukar cerita. Kalau bahasa trendinya sih, life update.

"Jadi yang tadi itu pacar lo?"

"Yang mana?"

Nana langsung memandang Kakaknya dengan wajah kaget. "Emang cowok lo ada berapa anjir?!"

Sela sontak tertawa. Kurang ajar. "Ya kalau lo mikir kurir paket itu pacar gue, ya enggak!"

"Yang satunya? Yang katanya nganterin makan malam itu?"

"Nah, kalo yang itu, baru iya." Sela nyengir tak berdosa.

"Lo masang pelet dimana? Kok nggak ngasih tau gue?"

"Ha?"

"Lo masang pelet dimana sampe yang kayak gitu mau sama lo?" tuduh Nana penuh curiga, membuat gelak tawa Sela semakin lantang.

"Helooo, gak jaman main pelet! Gini-gini gue juga cakep, tau. Buktinya yang bentukan Shaka aja mau sama gue." Nana memasang gestur hendak muntah, membuat tawa Sela berubah menjadi tamparan pada bahu adiknya dalam sekejap. "Kok respon lo gitu sih?"

Law Of ArshakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang