Sela tidak tau dimana Shaka tidur semalam. Karena saat bangun, dia sedang sendirian di dalam kamar kos yang sunyi. Agaknya Sela merasa cukup senang karena tidak harus berhadapan dengan Shaka pagi ini mengingat apa yang sudah mereka lakukan kemarin malam.
Sela memukul kepalanya pelan. Dia pasti sudah gila karena berani mencium Shaka duluan. 23 tahun kehidupan 'polosnya' terpaksa dia lepaskan hanya karena sebuah tindakan impulsif.
Ya sudahlah, toh nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sela tidak punya kuasa apapun lagi untuk mengubah hal-hal yang sudah terjadi selain instropeksi diri dan berefleksi.
Semoga ini kebodohan pertama dan terakhir kalinya yang pernah Sela lakukan.
Pagi itu Sela tidak langsung bergegas mandi. Mengambil jaket Shaka yang tersampir di gantungan baju belakang pintu, Sela berniat menghabiskan beberapa waktu untuk berputar-putar di area sekitar. Selesai mencuci muka dan menggosok gigi, tidak lupa juga mengoles sunscreen ke wajah karena proteksi is a must, barulah Sela keluar dari kamar kos. Segera saja udara dingin pagi menyerbu Sela. Ada banyak kegiatan di luar kos. Kebanyakan anak-anak muda yang sedang bersiap untuk masuk kelas pagi. Selebihnya hanya duduk santai sembari menikmati secangkir kopi sachet.
Sela menarik napas dalam-dalam, bibirnya mengulas senyum tipis dan seakan lupa jika kemarin dia punya hari yang cukup buruk. Dia suka Jogja. Layaknya sebuah lirik lagu yang berbunyi, "Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja." Di luar magisnya, Jogja adalah tempat yang nyaman. Namun sayang, survei mengatakan kalau penghasilan harian masyarakatnya sangat kurang dari kebutuhan pokok yang diperlukan. Hingga Jogja dicap sebagai kota yang tidak di rekomendasikan jika untuk dijadikan tempat merantau dan mencari pundi-pundi rupiah. Meskipun begitu, berkebalikan dengan fakta di atas, Jogja adalah tempat yang 'ramah mahasiswa' karena memiliki kos-kosan yang jauh lebih murah dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan untuk makanannya pun bisa dibilang murah meriah dan ramah kantong.
Sembari berjalan kaki, Sela mulai mengarahkan kamera ponselnya pada setiap sudut jalan yang dia anggap menarik. Anggap saja sebagai kenang-kenangan karena siapa tau, suatu hari nanti, dia kembali teringat tentang Jogja. Pukul setengah tujuh pagi, belum terlalu banyak aktifitas yang bisa Sela temui selain para pedagang yang sibuk menyiapkan jualan mereka.
Puas berkeliling hingga satu kilometer jauhnya, Sela akhirnya memutuskan untuk kembali. Karena jalan yang dia pilih tidak begitu banyak belok kanan-kiri, membuat Sela bisa mengingat rute pulangnya dengan baik. Berjarak dua puluh meter dari kos-kosan, Sela menemukan gerobak penjual bakmi.
Alhasil perut Sela keroncongan. Tanpa pikir panjang segera menyambangi gerobak penjual tersebut dan memesan satu mangkuk bakmi. Lalu Sela memesan satu lagi untuk di bungkus. Akan dia berikan untuk Shaka nanti.
Dia harus berterima kasih pada dirinya sendiri hari ini karena sudah berinisiatif untuk membawa dompetnya ikut serta.
Sedang asyik menikmati sarapannya–yang sebenarnya jauh dari kata sarapan yang ideal–Shaka menelepon. Tanpa pikir panjang Sela segera mengangkatnya.
"Ya?"
"Lo dimana?" tanya Shaka tanpa tedeng aling-aling. "Gue cariin dari tadi gak ketemu."
"Lagi sarapan deket kosan. Kenapa?"
Terdengar Shaka menghembuskan napas berat. "Sori, gue telat banget bangunnya. Lo sampe kelaparan. Sekarang posisinya dimana? Biar gue susul."
Sela menggeleng meskipun Shaka tidak bisa melihatnya, menyeka sisa kuah di sudut bibirnya sebelum menjawab, "Nggak usah. Gue udah mau selesai juga kok. Ini tinggal balik. Lo belum sarapan, kan? Gue beliin makanan sekalian biar nanti lo tinggal makan. Sarapan bakmi gak apa-apa, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Law Of Arshaka
RomanceWaktu zaman sekolah, kalau soal fisika, Sela suka beberapa materi meskipun gak begitu menguasai: hukum Newton, hukum Kepler, hukum Archimedes dan sebagainya. Setelah tamat, Sela suka Law Of Attraction yang lagi gencar di suarakan di berbagai sosial...