Hukum 23 Arshaka

199 26 2
                                    

Pepatah bilang, "Makin sedikit yang kamu ketahui, semakin baik." Tentu saja konotasi kalimat barusan lebih merujuk ke hal-hal rahasia yang seharusnya tidak kita ketahui. Sela percaya dengan pepatah tersebut, oleh sebab itu, dia tidak punya keinginan untuk bertanya soal kehidupan ayahnya bersama dengan keluarga barunya. Bagi Sela, dengan tidak bertanya, akan membuatnya jauh lebih bahagia.

Namun kini, duduk bersisian dengan Papa dan Ibu tirinya membuat Sela sadar akan banyak hal.

Rasanya canggung. Wanita di depannya itu jauh lebih muda dari Mama, tapi anaknya yang bernama Clara itu seumuran dengan Nana. Sela jadi berspekulasi, jika ketika Mama hamil, Papa sudah menikah dengan wanita ini dan sedang mengandung Clara.

Hati Sela berdenyut nyeri, memikirkan posisi Mama saja rasanya sudah sakit, apalagi bagi Mama yang mengalaminya langsung. Kala itu Sela memang tidak banyak mengerti. Namun kini dia sadar, kenapa tidak ada kata maaf di hidup Mama untuk Papa.

Kepala Sela tertunduk. Papanya memesan makanan, sedangkan Shaka di samping Sela pun tak banyak bersuara.

Mata Sela tanpa sadar jatuh pada tumpukan tas belanja yang dibawa Ibu dan adik tirinya. Ada beberapa kotak ibox juga. Sela benci untuk terlihat menyedihkan. Namun saat ini, semuanya seolah menceritakan bagaimana bahagianya Papa bersama keluarga barunya. Berbanding terbalik dengan Mama dan kedua anaknya yang berusaha hidup dengan baik.

Sela tanpa sadar meremat tangan pelan.

"Apa kabar, Sela?" sapa Shinta, Ibu tiri Sela dengan ramah. "Udah lama kita nggak ketemu. Terakhir Tante liat kamu pas masih SD, nggak kerasa, kamu udah dewasa sekarang."

"Baik, Tante." Sela memaksakan senyum. Tidak. Dia tidak benci Shinta. Sejauh mereka saling kenal, tak pernah sekalipun Shinta memerlakukan Sela ataupun Nanaa dengan buruk. Shinta wanita baik. Hanya saja, mengingat luka-luka yang disisakan Papa ketika ingin bersanding dengan Shinta membuat Sela merasa begitu suram. "Tante apa kabar? Butiknya lancar?"

"Alhamdulillah, lancar. Tante kaget lho ketemu kamu di Jogja. Setau Tante, asal Papa kamu mau ngajak kamu kesini, kamu nolak terus." Shinta tersenyum kei ibuan. "Ada acara apa di Jogja? Kenapa nggak kasih tau kita? Kan Papa kamu bisa jemput di bandara."

"Ah, gak usah repot-repot, Tante. Kami pake jalur darat, kok."

Perbincangan kecil itu terhenti ketika pelayan mulai menyusun piring-piring pesanan ke atas meja. Shinta sibuk meletakkan piring ke hadapan Sela. Papanya masih tidak banyak bicara. Sedangkan Clara sibuk memainkan ponsel, tampak tidak tertarik dengan apapun yang terjadi.

Sela ingin pulang saja saking tidak nyamannya.

"Omong-omong, kamu sama siapa?" Shinta memandang Shaka. Dia tersenyum kecil. "Kalian cuma berdua."

"Perkenalkan, Tante. Saya Shaka, pa-"

"Shaka temen aku. Kita lagi ada projek sosial untuk panti asuhan. Shaka pencetus idenya, jadi dia adain meet up tim buat ngobrolin masalah ini." Tangan Sela menahan pergelangan tangan Shaka. Sengaja memotong ucapan lelaki itu karena rasanya ... Sela belum punya cukup keberanian untuk mendeklarasikan hubungannya dengan Shaka di hadapan sang Papa.

"Oh, benarkah?" Shinta berseru antusias. "Kegiatan amal, ya? Apa aja, tuh?"

Shaka memandang Sela lama. Ada perasaan yang berkecamuk dari caranya menatap sang pacar. Tapi Sela mengabaikan, seolah-olah dia tidak menangkap raut kecewa yang Shaka tampilkan. Shaka menarik pergelangan tangan Sela yang menggenggam tangannya sampai terlepas sebelum menjawab pertanyaan Shinta.

Percakapan berlangsung dengan lancar. Kebanyakan Shaka yang bertukar cerita dengan Shinta. Shaka menjelaskan banyak hal soal yayasan yang akan dia bantu. Sedangkan Shinta menceritakan soal bisnisnya, juga trip luar negerinya yang luar biasa. Diselingi dengan cerita bagaimana sulitnya dia dan suaminya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Clara yang sedang berkuliah di Australia. Ada banyak cerita gemilang yang seharusnya bisa membuat Sela ikut merasa bangga dan bahagia. Namun yang ada, justru rasa iri yang tumbuh di hatinya. Sedangkan Papa sibuk menyuap makanan. Sela tidak bisa menikmati apapun yang masuk ke dalam mulutnya. Yang bisa dia lakukan hanya pura-pura mengunyah sambil menatapi pantulan wajahnya pada permukaan sendok.

Law Of ArshakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang