Sekitar 15 tahun yang lalu, antara tahun 2008-2009. Hampir dan bertepatan dengan masa pemilihan umum yang pada akhirnya dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Aku pernah turun ke jalan untuk menentang kebijakan komersialisasi pendidikan, menentang pembentukan badan hukum kampus, menolak adanya outsourcing, dan bersikukuh pada buruknya langkah pemerintah yang semakin mengarah pada neoliberalisme pasar.
Kata-kata di atas mungkin agak aneh karena jarang sekali aku bahas dan tulis. Apalagi aku memiliki kecenderungan menghapus istilah-istilah asing dalam sebagian besar tulisanku. Tapi di masa itu, kata liberalisme, kapitalisme, neolib, marxisme, oligarki, dan sebagainya adalah kata yang umum digunakan oleh para aktivis mahasiswa yang masih terpengaruh dengan suasana reformasi, yang agak marxis, dan ke kiri-kirian. Entah sadar atau tidak.
Aku sendiri, di tengah orang-orang kiri, malah lebih identik dengan pemikir bebas yang pada akhirnya memilih nihilisme dan egoisme. Dan aku, tak pernah benar-benar cocok dengan marxisme.
Sepuluh tahun setelah reformasi, ada orang-orang macam diriku yang sibuk berdiskusi sampai larut malam atau bahkan asyik berdebat sampai pagi buta guna membahas nasib negara ini ke depannya. Masa itu kadang lucu. Terlalu naif. Dan terlalu berani. Atau malah terlalu bodoh.
Jika kamu hidup di antara tahun 2008 hingga 2012 atau lebih. Kamu akan sering melihat banyak aktivis mahasiswa berdemonstarasi di sana sini. Membahasa kebijakan kampus dan negara. Orang-orang yang masih bisa tinggal di kampus, ukm, dan badan mahasiswa sesuka hati bagaikan rumah mereka sendiri.
Masa-masa itu, aktivis kampus masih memiliki pengaruh yang cukup besar, melakukan aksi bersama, dan melakukan kontrol publik secara tak langsung. Walau begitu, pada tahun itu, jumlah mereka tak seberapa. Apatisme sudah menjadi umum dan orang-orang pun cenderung tak peduli.
Kondisi apatisme atau sikap masa bodoh itu terus berlanjut sampai generasi Z tumbuh dewasa dan banyak generasi milenial semacam diriku, menyerah. Hampir semua teman-teman yang aku kenal dulu menanggalkan status aktivis mereka dan membuangnya sebagai sejarah hidup yang agak memalukan.
Kenapa memalukan?
Entah kenapa, kami merasa jadi orang bodoh dengan menganggap keberadaan kami cukup penting dan perasaan kemanusiaan kami, yang memiliki keinginan membantu orang-orang, pada akhirnya tak berguna di tengah ratusan juta apatisme masyarakat.
Satu persatu teman-teman yang aku kenal meninggalkan semangat aktivisme mereka (walau beberapa dari mereka tak masuk menjadi aktivis tapi semangat aktivisme waktu itu cukup kuat) dan berkutat dengan dunia meraka masing-masing. Ada yang menjadi dosen. Ada yang jadi pengacara atau advokat. Ada yang terlibat dengan partai. Ada yang mendirikan NGO. Ada yang menjadi pengusaha. Sebagian lainnya jadi pemikir publik. Lainnya lagi lari menjadi pekerja kantoran dan karyawan yang begitu sibuk. Ada yang bergentanyangan keluar negeri. Atau malah menyerah dan kembali ke kampung halaman tak menjadi siapa-siapa.
Tapi, ada kesepakatan umum dalam diam. Generasi kami, milenial gagal dan akhirnya menyerah.
Untuk apa mensubsidi orang-orang dengan melakukan aktivitas yang percuma? Yang tak digaji dan dibayar. Yang malah mengeluarkan uang, keringat, dan tak dianggap? Yang panas-panasan layaknya gembel demi orang lain yang entah siapa itu.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, para aktivis dikucilkan, tak dianggap, keberadaannya dibutuhkan sebagai sapi perah saja, dan dipanggil saat masyarakat sekadar butuh. Setelah itu, mereka dilupakan. Dihina. Dicaci maki. Dianggap suruhan dan ditunggangi.
Dalam kondisi semacam itu, aku sering mencoba menyuruh siapa saja yang pernah menjadi aktivis untuk berhenti karena semuanya percuma. Waktu dan kondisi semacam itulah yang menghasilkan gagasan mengenai masyarakat yang harus memperjuangkan dirinya sendiri.
Biarkan masyarakat mengurus dirinya sendiri. Itulah gagasan yang lahir dari kekecewaanku pada waktu itu.
Setelah generasiku menyerah dan beralih ke kehidupan pribadi mereka masing-masing. Generasi Z yang cukup abai dengan politik dan tak punya kedalaman dalam memahami itu. Juga tak ada keberanian turun langsung ke jalan secara langsung. Pada akhirnya kehilangan sosok-sosok yang mau memperjuangkan hak-hak mereka. Para mahasiswa makin ogah menjadi aktivis yang sangat dinilai negatif dan tak memiliki prospek kerja yang nyata.
Aktivisme pun ditinggalkan dan menjadi kosong. Hanya ada sisa-sisa yang tak seberapa yang mudah dibubarkan dan berakhir begitu saja. Terlebih, para penguasa pun sangat paham dengan kondisi psikologis generasi hari ini. Mereka tahu, gerakan mahasiswa dan para aktivis secara umum tak pernah mau terlibat dan meneruskan perjuangan secara serius.
Pada akhirnya, aktivisme generasi Z berubah menjadi karnaval. Berkumpul bersama lalu berakhir di saat itu juga. Inilaj yang menyebabkan para pemangku kebijakan dan pemimpin negara bisa berlaku sesuka hati karena mereka tahu, napas para aktivis sekarang ini sangat pendek.
Akhir-akhir ini, entah kenapa, semua yang dahulu pernah aku perjuangan bersama dengan orang-orang yang aku kenal. Semua yang pernah kami tolak berakhir menjadi kenyataan dan kini mulai dikeluhkan oleh generasi Z.
Di sebuah negara yang tak menghargai para aktivis dan yang mencoba memperjuangkan nasib mereka. Maka rakyat harus berjuang sendiri dan langsung berhadapan dengan para penguasa. Inilah yang sekarang terjadi. Dulu semuanya cukup mudah karena masyarakat terkadang disubsidi oleh perjuangan para aktivis yang beragam.
Sakarang gegap gempita aktivisme telah berakhir. Apa yang pernah rakyat secara luas remehkan pada akhirnya berbalik pada diri mereka sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITA
Non-FictionBanyak hal yang telah menjadi masalah keseharian kita. maka buku ini akan membicarakan masalah-masalah itu, juga hal-hal yang menyangkut cara menghindari dan berpikir jauh ke depan untuk menghindari masalah-masalah itu.