SAAT BEKERJA MENJADI KIAN MEMUAKKAN

38 2 0
                                    


Bekerja perlahan menjadi kian memuakkan. Bahkan jika pekerjaan yang kita lakukan sangatlah mudah, cair, berpenghasilan tinggi, dan di mata orang lain, adalah pekerjaan yang sangat bagus dan nikmat. Tapi di mata kita, itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, yang perlahan-lahan menghancurkan kehidupan kita sebagai manusia.

Yang membuat kita lelah. Tak lagi bersemangat menjalani hari. Kita merasa, hidup hanya untuk datang dan pergi di tempat yang sama. Setiap hari melakukan sesuatu yang sama. Tak ada banyak kejutan. Segala hal baru dan keceriaan dalam menjalani pekerjaan sudah lenyap nyaris sempurna, entah kapan.

Kita tak lagi mampu menikmati pekerjaan kita sendiri. Setiap hari terasa begitu sangat memuakkan. Benar-benar memuakkan.

Seringkali kita ingin berhenti bekerja. Mengakhiri rasa muak yang setiap hari kita rasakan. Sayangnya, kenyataan selalu membutuhkan uang.

Generasi kita, para kaum milenial, mengalami perasaan muak dan terjebak di pekerjaan kita masing-masing. Kita bertahan. Mencoba bertahan. Mencoba untuk tak keluar dan menyerah dari apa yang selama ini menghidupi keseharian kita. Kita menekan ketidakpuasaan kita dan rasa sakit kita dan mencoba untuk tetap bekerja dalam dunia yang hambar dan tak lagi menarik.

Setidaknya, sebagian dari kita menjadi makmur dan sangat makmur. Mengalami kebosanan dalam kemakmuran kita setiap hari. Dan sebagian kecil dari generasi kita, menjadi orang-orang yang kaya raya.

Para generasi setelah kita, generasi yang lahir di tahun 2000-an, mengalami situasi pekerjaan yang lebih mengerikan daripada kita. Hidup mereka sudah kacau sejak remaja. Mudah bosan dengan kehidupan mereka. Keluarga mereka cenderung berantakan. Dan mereka harus menghadapi situasi ekonomi dunia yang tak menarik.

Mereka bekerja lebih banyak. Gaji mereka tak seberapa. Mutu pendidikan mereka jatuh begitu parahnya. Kehilangan banyak sekali keahlian  penting. Dan dipaksa berkompetisi dengan jutaan orang lainnya, sehabis lulus dari pendidikan mereka masing-masing.

Sebuah generasi yang sakit. Yang mutunya pendidikannya rusak. Yang takut menikah. Para laki-lakinya yang kesusahan mengamankan sumber ekonomi mereka. Saat semua harga menjadi mahal. Saat kecemasan hidup menjadi bagian dari penderitaan yang tiada akhir. Membeli rumah terasa seperti membeli khayalan di abad seperti sekarang ini. Biaya kuliah yang sangat mahal dan gaya hidup yang cenderung terlalu nyaman. Tak sebanding dengan gaji saat mereka mulai bekerja.

Jika generasi milenial semacam kita merasakan betapa mengerikannya hidup saat ini. Betapa mahalnya biaya hidup. Betapa membosankannya hidup setiap hari. Betapa kekayaan dan kemakmuran tak membuat kita merasa senang. Generasi Z, yang lahir di abad 21, mengalami tekanan mental yang jauh lebih luar biasa. Seolah-olah, kebahagiaan bukan bagian dari generasi mereka.

Mereka memulai pekerjaan mereka saat ekonomi sedang tak membaik. Saat tekanan emosional menjadi begitu sangat menyakitkan untuk dijalani. Mereka sering berakhir bosan dan tak nyaman di tempat pekerjaan mereka. Merasa penghasilan mereka tak sepadan dengan pendidikan yang mereka miliki dan jam kerja yang harus mereka jalani.

Menjadi makmur adalah khayalan yang terlalu muluk. Benar-benar muluk. Kecuali hanya untuk segelintir orang yang beruntung dan memiliki sejarah hidup yang lebih baik.

Mereka akan lebih mudah mengeluh dengan pekerjaan mereka. Ketidakpuasaan mereka jauh lebih besar. Keinginan mereka yang terlalu banyak akibat media sosial yang masuk ke kamar mereka setiap hari. Membuat mereka tidak puas dengan apa pun. Semuanya terasa kurang dan tak cukup.

Hidup mereka pada akhirnya hanya bekerja dengan gaji tak seberapa nyaris setiap hari. Nyaris seumur hidup. Dengan begitu banyaknya jumlah total keluar masuk dari pekerjaan yang mereka jalani. Mereka menjalani hidup yang serba terbatas. Kehidupan yang indah bagi mereka ada saat mereka masih bersekolah dan berstatus mahasiswa. Saat segalanya masih mudah untuk dijalani. Dunia pekerjaan ternyata tak seindah apa yang selama ini mereka nikmati sewaktu masih remaja yang tanpa tanggung jawab sama sekali.

Sebagian kecil dari mereka akan makmur dan menikmati kekayaan yang berlebih. Tapi jauh lebih banyak orang terpelajar yang mengalami situasi sulit dan memuakkan di tempat kerjanya mereka masing-masing.

Saat gaji terlalu kecil dan jam kerja terlalu panjang menghancurkan kesempatan mereka bersenang-senang dan membangun masa depan. Mereka yang mendapatkan gaji yang layak dan usaha yang mulai membesar. Dihadapkan pada krisis kepercayaan diri, apakah mereka akan mampu bertahan dan apakah pasangan mereka akan masih terus bersama.

Dalam keadaan cemas dan tak pernah tenang dengan masa depan sumber penghasilan, ikatan sosial dan percintaan yang dijalani. Kita menjadi begitu lelah terhadap hidup. Lalu perlahan-perlahan kehilangan ketertarikan dengan pekerjaan kita sendiri. Kita bosan bekerja. Kita muak. Jika pada akhirnya, hidup yang kita jalani selalu tak bisa lepas dari perasaan sedih, terasing, dan hampa.

Kita muak bekerja. Kita muak untuk berkembang. Kita muak untuk terus belajar. Kita muak mengenal orang-orang. Kita pun mulai muak melindungi lini usaha dan sumber keuangan kita sendiri. Kita muak menjalani kehidupan yang nyaris sama setiap hari. Kita sudah tak lagi merasakan adanya kepuasaan di dalamnya. Rasanya ingin menjauh. Dan lepas dari seluruh kehidupan ini.

Inilah yang sering terjadi terhadap sebagian besar orang tua kita, yang mengalami perasaan putus asa di usia 40-50an. Lalu generasiku mengalaminya di usia 30-an. Dan generasi hari ini, mengalaminya saat masih remaja dan dan berada di usia 20-an awal.

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang