Bayangkan, saat generasiku saja, yang disebut sebagai generasi milenial, sangat kesusahan membeli rumah. Apa yang bakal terjadi dengan generasi Z? Generasi yang sebagian besar orangtuanya pas-pasan, beberapa malah nikah lebih cepat dan punya anak tapi masih mengontrak? Sedangkan harga tanah, rumah, dan properti nyaris mendekati gila.
Parahnya lagi, banyak dari kita, entah generasi Milenial atau Z, sudah terlanjur menginginkan rumah yang indah, elegan, dan terkesan mewah. Virus internet dan video-video media sosial beserta kafe-kafe yang menjamur, membuat padangan memiliki rumah yang jelek tak lagi menarik. Atau malah memalukan.
Terlebih, beberapa orang beranggapan tidak memiliki mobil berasa seperti manusia yang sangat hina. Apalagi lingkungan baru dan tetangga sebelah berisikan orang-orang yang memiliki mobil dan rumah yang cukup bagus. Itu juga sangat menyakitkan.
Tanah-tanah lama dan rumah-rumah lama dijual dan dibangun rumah-rumah baru dari kaum kota yang terpinggirkan. Orang-orang kampung atau desa, mulai terhimpit dengan rumah-rumah baru yang lebih bagus. Orang-orang desa itu melahirkan anak-anak yang nantinya akan merasakan iri yang luar biasa dengan tetangga sebelahnya yang lebih makmur dan semuanya serba ada.
Sedangkan orang-orang kota yang berpendidikan pun merasa hidup ini sangat mencekik. Boro-boro membeli rumah. Gaji selalu habis untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau habis untuk menekan kegelisahan jiwa yang kian parah.
Segala kebutuhan naik. Gaji tak seberapa. Sedangkan harga tanah dan rumah beserta segala macam kebutuhan yang ada di dalamnya, sudah berada pada tahap yang sinting. Bahkan gaji yang cukup besar pun tak akan mampu untuk membeli rumah yang diinginkan. Kecuali sekedar membeli rumah yang terpaksa dibeli dari pada tidak memiliki sama sekali.
Para pengembang dan investor rumah, kaum boomer, dan anak-anak muda yang otaknya tak jauh dari pada orangtua mereka yang mata duitan. Membuat harga rumah menjadi sangat buruk. Keterlaluan mahal.
Bagaimana bisa membeli rumah, jika gaji hanyalah sekedar UMR dan biaya hidup semakin membuat kepala pusing. Kredit rumah pun berasa seperti penjara sampai mati. Puluhan tahun lamanya, seolah-olah hidup kita ini dilahirkan untuk sekedar mencicil biaya membeli rumah dan kita bekerja hanya untuk menyerahkan gaji kita tanpa sisa setiap bulannya.
Apakah kita bisa menikmati hidup? Nyaris mati-matian bekerja, berhemat sehemat-hematnya, tak pernah liburan, nyaris jarang menyentuh kafe, apalagi nongkrong di tempat-tempat yang mahal, hnya untuk sebuah rumah?
Kelak, menjadi laki-laki akan sangat menyakitkan. Gaji tak seberapa. Kebutuhan terus naik. Sedangkan perempuan yang tersedia, jarang yang berani memulai dari nol. Ingin semua langsung ada.
Banyak perempuan terselamatkan karena mereka jarang pernah memikirkan membangun rumah sendiri. Mereka biasanya mengikuti suami dan langsung menempati rumah yang tersedia. Apa yang terjadi, jika para calon suami kelak semakin kesusahan memiliki rumah? Apakah orang-orang masih berpikiran untuk memiliki anak? Bahkan jika suami istri sama-sama bekerja mati-matian
pun masih sangat kesusahan untuk membeli rumah yang sesuai selera.Rumah kecil jauh dari kota, harganya berasa rumah di perkotaan. Rumah jelek dengan desain yang buruk, harganya bikin sakit hati. Masa depan buruh UMR adalah masa depan yang mengerikan. Berapa puluh tahun lamanya untuk bisa memiliki rumah sendiri? Apa yang bisa dilakukan dengan gaji 1-3 juta? Sedangkan mereka yang bergaji 5-8 juta saja nyaris kewalahan untuk bisa menabung dan harus mati-mati menekan kebosanan serta kegilaan setiap harinya.
Harga untuk menerapi diri sendiri biayanya sangat mahal. Belum biaya makan dan keseharian. Memikirkan memiliki rumah? Generasi Milenial saja banyak yang tak mampu. Berapakah harga tanah di saat generasi Z sudah berada di ambang kerja dan berumah tangga?
Harganya pastilah sangat membuat air mata ingin keluar dan tentunya, sangat mahal.
Saat sebagian generasi Z kian dewasa dan hampir menuntaskan pendidikan mereka. Mereka akan dihadang oleh kenyataan pahit bahwa mereka harus bertahan sendiri dan hidup dengan segala yang serba mahal. Tak ada lagi uang dari orangtua. Sedangkan pekerjaan tak lagi banyak dan gaji nyaris sama tak berartinya.
Membeli rumah? Mungkin akan menjadi impian yang sangat muluk dan membuat sakit hati. Lebih baik menyeleksi calon suami dari kumpulan generasi Milenial yang berhasil. Yang jumlahnya sangat sedikit. Dari pada berjuang sendiri dengan gaji pas-pasan. Yang bahkan sampai mati pun, tak akan mampu untuk membeli rumah yang sesuai selera dan diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITA
Literatura FaktuBanyak hal yang telah menjadi masalah keseharian kita. maka buku ini akan membicarakan masalah-masalah itu, juga hal-hal yang menyangkut cara menghindari dan berpikir jauh ke depan untuk menghindari masalah-masalah itu.