Kita telah sampai pada suatu titik terakhir dari batas rasa sakit emosional kita. Suatu kondisi yang membuat kita pun menyerah terhadap kejeniusan kita. Karir kita yang luar biasa. Kekayaan dan pencapaian bisnis yang kita capai. Pendidikan tinggi dan kecerdasan yang kita miliki. Dan semua hal yang telah kita miliki tapi tak menghasilkan pujian dan penghargaan yang seharusnya.
Kita pun lari ke tubuh kita. Membuatnya semakin cantik dan terlihat tampan. Memperkokoh mitos kecantikan dengan melakukan diet, berolahraga demi bentuk tubuh, mengubah bagian-bagian tertentu dari tubuh yang kita miliki, dan mencari perhatian atau pengakuan dengan menggunakan tubuh kita sebagai jalan pintas, jalan terakhir, atau teriakan putus asa dari manusia yang pada akhirnya terpenjara dalam media sosialnya masing-masing.
Hari ini, banyak orang mulai terobsesi dengan mencari perhatian lewat tubuhnya. Menabrak semua jenis norma. Nilai kesopanan. Dan bahkan melakukan banyak hal gila yang dulu dianggap menjijikkan dan tak tahu malu.
Kita telah berada di suatu abad, di mana kejayaan abad rasa malu pun telah berakhir.
Rasa sakit emosional yang manusia derita hari ini begitu sangat mengerikan dan tak tertahankan. Membuat siapa saja melakukan apa pun demi bisa meredakan perasaannya yang kosong, yang hampa, yang kesepian dan penuh dengan derita hidup.
Jika pencapaian dalam karir, otak yang pintar, kekayaan, dan perilaku yang baik tak lagi bisa memuaskan dan memberi kita perasaan aman. Kita butuh hal lainnya untuk bisa tetap hidup dan bertahan dari kegilaan yang menggerogoti perasaan kita setiap hari.
Kita pun, manusia yang hidup saat ini, tengah melihat secara massal, para manusia yang mencoba mati-matian untuk tetap hidup dengan mengandalkan tubuh mereka. Mencari dan menjadi pusat perhatian lewat tubuh mereka. Mencari cinta dan kasih sayang lewat tubuh mereka. Mencari pekerjaan dan menumpuk uang dengan tubuh mereka.
Lalu, saat semua perhatian, gegap gempita sanjungan, dan kekayaan menghampiri dengan cara yang dianggap jauh lebih mudah daripada mati-matian belajar hal-hal yang rumit, menjadi bijak, atau melakukan penelitian-penelitian saintis dan sosial yang mengesankan. Kita pun mulai mengabaikan sisi luar bisa kita sendiri.
Sisi kita yang pintar, yang jenius, penemuan-penemuan kita, segala jerih payah pekerjaan yang kita lakukan, dan bisnis-bisnis yang kita bangun. Atau idealisme kita akan kebaikan dan kemanusiaan. Semuanya kurang begitu penting dibandingkan tubuh kita yang cantik, yang tampan, yang seksi, yang atletis, yang menggoda, yang membuat kita menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya.
Kita pun perlahan dan pasti, membunuh sisi kita yang luar biasa demi mendapatkan perhatian dan hidup nyaman yang dianggap jauh lebih mudah didapatkan.
Atau tetap saja, segala macam pencapaian kita pun pada akhirnya menjadi sekadar bayangan-bayang dari tubuh kita yang memesona.
Orang-orang akan cenderung bersuka cita dan mengelu-elukan orang kaya yang cantik dan tampan. Orang pintar yang cantik dan tampan. Orang jenius yang cantik dan tampan. Orang sukses yang cantik dan tampan. Orang baik yang cantik dan tampan.
Semua pencapian kita pun dibayang-bayangi oleh tubuh kita sendiri. Tanpa tubuh kita yang dianggap sebagai indah dan menawan itu, menurut standar kecantikan modern. Kita bukan siapa-siapa.
Kita hari ini, hidup di sebuah dunia sosial yang benar-benar sangat kejam. Saat penampilan fisik menjadi standar pemujaan dan kesenangan. Maka, banyak dari kita pun, yang lebih cenderung memiliki mental yang lemah. Menukar bakat-bakat kita sendiri dan keberhasilan-keberhasilan yang kita capai demi mendapatkan pengakuan dari orang-orang yang tak kita kenal di luar sana.
Bukan lewat kekayaan hasil dari kerja keras kita. Atau lewat keberhasilan kita dalam ilmu pengetahuan. Tapi hanya lewat tubuh. Kita hanya perlu sedikit lebih nakal, lebih terbuka, dan lebih telanjang untuk mendapatkan pengakuan dan pemujaan yang tak bisa kita dapatkan dengan kerja keras.
Begitu mengerikannya dunia sosial dan masyarakat yang kita tinggali hari ini sehingga membuat kita tidak yakin oleh diri kita sendiri. Apa-apa yang kita mampu lakukan. Dan berakhir sebagai orang yang harus memuaskan orang-orang yang tak kita kenal secara terus-menerus lewat tubuh yang suatu saat nanti akan menua dan berakhir.
Banyak orang lebih memilih memerhatikan, merawat, dan memberikan kepeduliannya yang paling dalam untuk tubuh mereka sendiri. Menjaganya dengan hati-hati. Dan bekerja keras untuk selalu tampil indah dan menyenangkan.
Segala jenis kejeniusan pun tersingkir. Semua kerja keras dalam perekonomian dan politik pun mencapai titik kritisnya. Dan empati pun menyusut menjadi individualisme dan egoisme.
Tubuh kita pun berubah menjadi pelindung terakhir bagi diri kita hari ini dan masa depan kita yang rapuh. Menjadi sumber kepercayaan diri kita setiap harinya. Tempat kita sangat bergantung dan menyombongkan diri. Suatu kondisi di mana kita masih bisa berpuas diri, merasa ada, mendapatkan perhatikan, dan diberi tempat.
Dan saat segala jenis kecantikan, ketampanan, dan tubuh yang telanjang tak lagi bisa membuat kagum orang-orang. Luka yang kita alami menjadi begitu parah. Begitu sangat parah.
Tak ada jalan untuk kembali. Selain kegilaan kita yang binal. Yang telanjang. Atau mencoba mundur dan menyembuhkan diri kita dengan cara menjauhi orang-orang. Memutus semua harapan kita untuk dikenal dan disukai oleh banyak orang. Lalu belajar untuk menghargai diri kita sendiri dan berpuas diri terhadap apa-apa yang kita capai dan miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITA
Não FicçãoBanyak hal yang telah menjadi masalah keseharian kita. maka buku ini akan membicarakan masalah-masalah itu, juga hal-hal yang menyangkut cara menghindari dan berpikir jauh ke depan untuk menghindari masalah-masalah itu.