Memiliki rumah adalah harapan banyak orang. Apalagi rumah yang terlihat menarik, indah, nyaman dan layak huni. Membuat kita betah dan merasa tak ingin kemana-mana lagi. Masalahnya, keinginan kita memiliki rumah, sejak beberapa tahun lalu sampai hari ini, tak pernah kesampaian.
Kita hanya bisa mengontrak, mengontrak dan terus mengontrak. Saat ada teman yang memiliki rumah baru. Kita bersedih. Karena rumah bagi kita, berarti banyak hal.
Jika memiliki rumah sendiri. Kita merasa jauh lebih aman. Saat sakit, hilang pekerjaan, dan ketika mendapatkan masalah. Kita berada di rumah sendiri. Tak perlu berpikir harus membayar uang sewa tahun berikutnya. Tak perlu banyak khawatir akan diusir secara mendadak. Kita bisa pulang kapan saja. Anak dan pasangan berada di rumah yang sudah dimiliki, yang bisa saja untuk selamanya. Tak harus ada drama berpindah-pindah karena gagal membayar dan murung karena gaji yang tak seberapa, dikumpulkan untuk sekedar membayar uang sewa saja.
Keinginan akan rumah telah menjadi obesesi. Pikiran yang terus-menerus. Dan seringkali, membuat kita berkhayal dan mengandai-andai. Sering termenung. Mendadak bersedih hati. Manahan napas, memikirkan kenyataan diri sendiri.
Saat masih sendiri, beban pikiran karena tak memiliki rumah masihlah belum terlalu besar. Tapi saat sudah berkeluarga, rasanya ya ampun. Kadang tak bisa tidur. Kadang isi kepala melayang-layang semalaman hanya untuk memikirkan cara apa saja agar memiliki rumah. Semua itu demi keluarga yang bisa hidup lebih stabil. Dan saat guncangan terjadi secara mendadak. Keluarga yang dimiliki, sudah berada di rumah milik sendiri.
Bagi diri sendiri, bagi banyak orang, terlebih orang tua, mertua, saudara jauh, kenalan dan lainnya. Rumah menandakan status kemandirian dan keberhasilan hidup. Memiliki rumah sendiri, berarti kita layak sebagai orang yang berani berumah tangga. Kita layak sebagai orang tua. Dan kita dianggap sudah berhasil dalam pijakan pertama dalam kehidupan berumah tangga.
Rumah yang hari ini kita tempati, yang berstatus kontrakan, bukanlah rumah milik kita. Mungkin, saat umur kita masih di bawah 35 tahun. Belum mendekati empat puluh. Banyak orang, yang hidup di lingkungan perkotaan dan cukup terdidik, bisa memahami perjuangan hidup kita.
Hanya saja, saat kita sudah berkeluarga dan umur berada di atas tiga puluh tahun. Tidak memiliki rumah, serasa menyedihkan. Di usia yang sudah dianggap tua oleh banyak pihak. Hanya rumah saja kita tak punya. Kadang, itu menjadi cemooh dalam diam. Sebagus apa pun rumah yang kita kontrak. Itu bukan rumah kita. Keluarga jauh dan dekat pasti ada yang meremehkan. Atau, menganggap kita tak becus untuk bertanggung jawab terhadap keluarga.
Umur mendekati empat puluh tahun adalah umur yang sangat krusial bagi banyak pihak. Di umur segitu, saat kita tak bisa segera memiliki rumah. Bayangan masa depan begitu tak menyenangkan. Kita akan selalu kepikiran. Apalagi, di usia mendekati empat puluh tahun dan nanti akan menjadi lebih. Tubuh kita menua. Kita lebih mudah sakit. Kita juga tak tahu apakah pekerjaan hari ini yang digeluti masih tetap ada. Anak-anak sudah mulai besar dan membutuhkan banyak biaya ini dan itu. Sedangkan banyak kejadian mendadak, dari krisiss politik, wabah, dan ekonomi bisa saja menghancurkan tabungan dan jaminan ekonomi kita seketika.
Apalagi jika salah satu dari anggota keluarga memiliki sakit fisik yang harus diobati, mengidap gangguan kejiwaan dan memiliki masalah serius yang selalu membutuhkan uang dan titik stabil yang kokoh. Rumah, menjadi begitu sangat penting dan berarti banyak. Sangat banyak.
Kenyataan yang agak menyakitkan adalah gaji kita yang tak seberapa. Umur yang sudah menua. Anak yang semakin besar dengan biaya-biaya yang menumpuk. Dan semakin hari, harga tanah atau rumah, semakin naik dan mahal. Semakin kita menunda membeli rumah. Gaji kita habis hanya untuk keperluan rumah tangga, pasangan, dan anak-anak. Bagi beberapa orang, malah habis untuk menghindari kebosanan hidup dan sebagainya. Jika itu terus berlanjut, harapan memiliki rumah kian jauh dan suram. Apabila kita memikirkan hal itu lebih jauh, kadang kita merasa cemas dan tak kokoh. Merasa masa depan mendadak saja tak lagi menggembirkaan.
Bagi banyak orang, rumah adalah awal terpenting untuk mengokohkan proses kehidupan yang selanjutnya. Kehidupan yang menuju tua dan sakit. Menuju bosan dan malas. Tempat kembali dari perjalanan panjang yang penuh dengan kekecewaaan dan kegagalan-kegagalan. Tempat berpulang yang aman, setelah kehidupan membuat kita agak compang camping.
Tempat kita merasa memiliki pijakan dan tak lagi khawatir mengenai keuangan kita yang morat marit tak menentu. Terlebih bagi laki-laki. Yang menganggap rumah adalah tanggung jawab bagi dirinya. Menyelesaikan urusan perihal memiliki rumah adalah kisah terbesar dari perjalanan seorang laki-laki. Hal yang kadang tak dimiliki oleh para perempuan, yang sejak awal, langsung menerima jadi rumah yang disediakan oleh suami.
Apalagi, bagi kebanyakan perempuan, yang sejak awal memang menganggap, urusan rumah adalah tanggung jawab suami atau calon suami mereka. Dan pikiran mengenai rumah, telah menjadi harapan sekaligus kecemasan yang tiada akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITA
Não FicçãoBanyak hal yang telah menjadi masalah keseharian kita. maka buku ini akan membicarakan masalah-masalah itu, juga hal-hal yang menyangkut cara menghindari dan berpikir jauh ke depan untuk menghindari masalah-masalah itu.