SAAT PERNIKAHAN TAK LAGI SEKALI SEUMUR HIDUP

46 1 0
                                    

Mendapatkan pernikahan sekali seumur hidup seperti orang-orang terdahulu, tidaklah mudah sekarang ini. Kian sedikit pasangan yang mampu melakukannya dan komitmen terhadap kesetiaan jangka panjang menjadi kian bermasalah, beresiko, dan tak banyak lagi digemari.

Hari ini, pernikahan bukan lagi hal yang suci dan begitu sakral. Nilainya telah jatuh sedemikian rupa menjadi hal yang begitu sangat rendah dan tak lagi banyak pertimbangan untuk memulai dan mengakhirinya.

Pernikahan kini berstatus layaknya pacaran. Bisa dimulai kapan saja dan diakhiri juga kapan pun. Ikatan suci yang berharga di dalamnya telah menghilang oleh kehidupan keras penuh tuntutan dan khayalan tinggi yang berakhir gangguan jiwa dan kekecewaan, yang membuat nilai pernikahan menjadi tergerus dan kian tak lagi bernilai penting.

Hal itu diperparah dengan generasi yang lebih muda, yang hidup dengan media sosial dan internet, berpendidikan, dan telah melihat dunia dan pengalaman jatuh bangunnya orang lain jauh lebih banyak. Malah melakukan keputusan-keputusan salah yang sembrono tanpa berpikir panjang semacam pernikahan muda yang berakhir perceraian dan meninggalkan anak yang masih sangat kecil.

Semakin dunia maju. Banyak orang lelah untuk memakai otaknya dan berpikir lebih dalam karena terlalu banyak hal yang melelahkan hidup sehingga kian banyak orang tak ingin berpikir jauh ke depan karena itu memusingkan dan tak menyenangkan.

Akhirnya, banyak orang memutuskan berpikir pendek dengan cara trial dan error walau mereka berpendidikan tinggi, lahir dari keluarga makmur, dan membuang jauh kebijaksanaannya untuk sekadar mengambil keputusan yang sembrono atau tak hati-hati.

Hidup yang melelahkan dan penuh masalah membuat banyak orang terpelajar, baik yang miskin atau makmur, menyisihkan kemampuan berpikir dan merasanya dan mencoba-coba banyak hal di dunia dengan cara tanpa pertimbangan yang matang. Itulah yang kini tengah dialami dalam dunia pernikahan modern abad 21. Tempat di mana kita hidup hari ini. Saat kita melihat hancurnya dunia pernikahan di sana sini dan anak-anak yang ditinggalkan para orang tuanya tanpa rasa bersalah sama sekali.

Pernikahan yang berumur pendek, komitmen yang tak pernah kuat, perselingkuhan yang kian brutal, dan prinsip hidup yang kian hilang membawa abad 21 menjadi salah satu abad yang paling menyakitkan secara emosional.

Abad di mana seseorang tak lagi pernah yakin tentang masa depannya dengan seseorang apakah akan bertahan seterusnya sampai ajal menjemput. Saat pernikahan kian ditakuti dan hubungan dengan orang lain juga tak lagi sama seperti dahulu; penuh keraguan, jarak yang terlalu lebar, dan perasaan cemas.

Saat orang-orang sakit yang tak yakin dengan dirinya sendiri bertambah banyak dan saling bertemu. Pernikahan ideal seperti masa lampau pun mulai hancur berantakan. Saat seseorang dengan mudahnya memutuskan untuk pergi dan memberi kesempatan kedua menjadi hal yang kini ditertawakan bersama-sama di media sosial dan lain sebagainya. Maka, dunia pernikahan akan menjadi salah satu yang pertama mengalami kerusakan yang mungkin, tak lagi bisa dipulihkan sampai pergantian abad berikutnya.

Apa yang bisa dipulihkan dari masyarakat yang diisi oleh orang-orang sakit yang telah dirusak oleh orang tua mereka, kekasih mereka, pasangan mereka, dan hubungan sosial yang berakhir buruk di mana pun mereka berada.

Di tahun-tahun ke depan, orang-orang tak lagi memiliki sejarah hidup pernikahan sekali seumur hidup. Akan semakin banyak orang yang bercerai dengan menikah lagi untuk yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Seolah-olah, pernikahan tak lagi menjadi komitmen untuk hidup bersama, saling berbagi, dan menjadi lebih bijaksana dengan menurunkan ego pribadi dan lebih berprinsip menyenangkan, mendengarkan, menemani, melindungi, dan mencoba selalu ada untuk orang lain. Tapi pernikah berakhir hanya sebagai tempat persinggahan sementara sebelum mencari tempat berteduh berikutnya dari terpaan hidup yang tak habis-habis.

Pernikahan menjadi ajang untuk bertahan hidup layaknya seseorang yang tak tahan menghadapi kesepian dan bisa begitu mudahnya berpindah dari satu orang ke orang lainnya asalkan ditemani dan rasa sepi sedikit diobati. Pasangan hidup berubah menjadi sekadar pasangan sementara yang akan diganti oleh pasangan berikutnya saat konflik tak bisa diredam dan seseorang menyerah dengan mudahnya terhadap pernikahan mereka karena mencari pasangan lainnya jauh lebih mudah hari ini daripada dahulu kala.

Dari satu pasangan ke satu pasangan lainnya layaknya masa pacaran yang belum memiliki komitmen kuat sama sekali. Begitulah bagaimana seseorang kelak akan memenuhi sejarah abad-abad berikutnya.

Pernikahan sekali seumur hidup kian susah ditemukan dan hanya sedikit yang masih bisa melakukannya. Pernikahan kelak hanya akan jadi ajang untuk sekadar meneruskan hidup. Menjalani hidup agar tidak sendirian sampai mati. Saat prinsip telah berubah menjadi seperti itu. Komitmen kuat tak lagi dibutuhkan. Orang bisa berganti-ganti pasangan seumur hidupnya sampai kematian pun datang kepadanya.

Mungkin, yang menjadi alasan kenapa banyak orang tak mudah melakukan pergantian pasangan berkali-kali adalah adanya rasa sakit dan trauma emosional yang diberikannya bisa menghancurkan siapa saja yang bermental lemah. Adanya rasa sakit emosional yang tak menyenangkan membuat banyak orang masih berharap akan pernikahan yang berusia lama dan seumur hidup. Sayangnya, kondisi masyarakat, nilai sosial, budaya bersama, dan kondisi emosional bersama telah berubah.

Di masa yang dekat dan yang akan datang. Saat nilai masyarakat dan budaya dunia kian melebur. Selain pernikahan yang tak lagi sekali seumur hidup. Kelak, banyak orang pun tak lagi perlu menikah untuk sekadar hidup bersama. Tak perlu menjadi setia ke satu pasangan untuk sekadar menikmati dan menjalani hidup.

Orang-orang bisa bergantian pasangan sesuka hati. Memiliki pasangan lebih dari satu. Masing-masing pasangan memiliki pasangan lainnya. Dan memiliki anak pun tak harus menikah.

Juga, menjalin hubungan asmara tak lagi harus dengan lawan jenis. Orang-orang pun bahkan bisa menikahi dirinya sendiri atau benda-benda mati yang ada di sekitar hidup mereka yang dianggap berharga dan dicintai.

Atau malah, banyak orang lebih nyaman dengan hidup sendiri, tidak menikah, dan tak peduli memiliki anak atau tidak.

Itulah yang tengah terjadi di beberapa negara yang kita kenal hari dan kelak akan menjadi normal di negara dengan masyarakat yang masih menolaknya dan mencoba mempertahankan tradisi yang berlandaskan nilai tradisonal, agama, budaya masa lalu, dan lain sebagainya.

Kelak, saat hidup kian membingungkan dan pernikahan timbal balik dengan satu pasangan kian menjadi langka dan bahkan mempertahankan komitmen kesetiaan bisa berujung depresi, bunuh diri, dan gangguan jiwa. Sejarah hubungan asmara dan pernikahan akan menjadi kian lentur dan menjauhi tradisi lama.

Tapi apakah seseorang akan menjadi lebih hidup dan bahagia dalam suatu ikatan asmara yang cair dengan lebih banyak orang sekaligus? Terlebih saat umat manusia masih belum bisa lepas dari perasaan iri, cemburu, dengki, marah, sakit, terluka, dan trauma?

PSIKOLOGI DAN MASALAH-MASALAH KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang