39 : warmth

438 52 1
                                    

Max berjalan dengan santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celana training abu-abunya. Tubuhnya yang tinggi dan tegap terasa kontras dengan suasana sepi di tempat itu. Sementara itu, Ann berjalan di sampingnya, sesekali melirik pria itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Tatapannya tiba-tiba tertuju pada sebuah papan penunjuk arah berwarna cokelat tua dengan tulisan Library di atasnya.

Mata Ann seketika berbinar.

"Tunggu, tidak ada yang bilang mereka mempunyai perpustakaan di sini," Ann mengerjap, berhenti sejenak untuk memastikan dia tidak salah lihat.

Max mendengus pelan, ekspresi malasnya tidak berubah. "Itu cuma ruangan berisi buku, Ann. Apa yang menarik?"

Ann hanya melirik sekilas. "Itu lebih baik daripada ruang terapi, kan?"

Tanpa menunggu jawaban Max, Ann langsung melangkah menuju perpustakaan itu.

Setidaknya, ada hal lain selain ruangan terapi yang setiap hari Ann datangi bersama Max.

Begitu masuk, aroma khas kertas tua dan kayu menguar di udara. Rak-rak tinggi memenuhi ruangan, menyusun ratusan buku dalam berbagai kondisi.

Beberapa pasien ada di sana, ditemani suster mereka masing-masing.

Ann mengamati sekeliling.

Ada seorang pria tua dengan rambut putih yang rapi, duduk di sudut dengan buku terbuka di pangkuannya, tetapi matanya menatap kosong ke depan——tidak benar-benar membaca.

Di meja lain, seorang wanita muda dengan rambut acak-acakan sibuk membalik halaman buku dengan cepat, bibirnya bergerak-gerak seolah sedang membaca sesuatu yang hanya bisa ia pahami sendiri.

Lalu seorang pria bertubuh kurus dengan tatapan kosong duduk di lantai dekat jendela, memainkan halaman buku dengan ujung jarinya, seolah menikmati sensasi teksturnya lebih daripada isi tulisan di dalamnya.

Dan di antara mereka semua, hanya Max yang terlihat paling… tidak seperti pasien psikiatri.

Setinggi hampir 190 cm dengan tubuh atletis, wajah tajam dengan rahang kokoh, dan mata biru safir yang terlalu penuh kesadaran untuk seseorang yang seharusnya 'sakit'. Seolah ia tidak seharusnya ada di tempat ini.

Tak hanya itu, Max bahkan tidak mau didampingi suster seperti pasien lainnya.

Ann merasa tatapan beberapa suster tertuju pada mereka, atau lebih tepatnya pada Max. Mereka pasti bertanya-tanya, kenapa seorang pria seperti Max bisa ada di sini?

Max tampak tidak peduli, hanya melangkah santai, membiarkan Ann sibuk mengamati sekeliling.

Ann berjalan ke rak buku, menarik salah satu buku tebal, dan membolak-balik halamannya dengan penuh semangat.

Max tetap diam, berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Napasnya tenang, posturnya tegap, matanya dingin, tetapi ada sesuatu dalam sorotannya yang lain dari biasanya.

Ann membalik halaman pertamanya, tetapi ada rasa aneh yang membuat tengkuknya meremang. Ia bisa merasakan sesuatu… atau seseorang yang mengamatinya.

Perlahan, Ann menoleh.

Jantungnya hampir berhenti.

Max berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat hingga Ann bisa melihat bayangan dirinya di mata birunya itu.

Tatapan Max begitu dalam, begitu menusuk, hingga membuat Ann kehilangan kata-kata.

"K-Kenapa melihatku seperti itu?" suara Ann nyaris berbisik, berusaha terdengar biasa saja, tetapi ada ketidakstabilan dalam nada suaranya. "Carilah buku yang bisa kau baca, Max."

Die Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang