But even though you're killing me
I need you like the air I breathe
I need, I need you more than me
I need you more than anything
Please, please•••
Apartemen itu sudah tidak bisa dihuni lagi.
Pecahan kaca masih berserakan di lantai, meja dan kursi terbalik, dinding penuh goresan dan retakan. Seperti tempat itu telah menjadi saksi bisu dari segala yang telah hancur, baik di dalam maupun di luar diri mereka.
Mereka pindah ke unit lain malam itu juga.
Ruangan itu sunyi.
Terlalu sunyi.
Cahaya redup menerangi wajah Max yang kuyu, rambutnya yang berantakan, dan luka-luka di tangannya yang nyaris membusuk jika dibiarkan lebih lama. Aroma antiseptik samar memenuhi udara, bercampur dengan keheningan yang berat, nyaris tak tertahankan.
Ann tidak seharusnya peduli. Tidak setelah semua yang terjadi. Tidak setelah Max menghancurkan segala sesuatu yang tersisa di antara mereka.
Seharusnya Ann tidak ada di sini, dan pergi saat kesempatan itu masih ada.
Tapi tetap saja....
Ann duduk di hadapan Max, kedua tangannya sibuk dengan gulungan perban dan salep yang baru ia ambil dari kotak obat. Tangannya mulai terampil mengobati luka-luka Max, mungkin karena ini bukan pertama kalinya.
Mungkin karena Max selalu seperti ini, selalu menyakiti dirinya sendiri, dengan tindakan kasarnya, dengan amarahnya, dengan ketakutannya.
"Sampai kapan kau mau melakukan ini?" gumam Ann akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
"Melakukan apa?" Max menjawab tanpa menatap wajahnya.
"Melukai dirimu sendiri."
Selanjutnya, senyap.
Keduanya hening dengan isi pikiran masing-masing.
"Diam," ujar Ann pelan saat Max bergerak sedikit ketika kapas dingin menyentuh kulitnya yang robek.
Max hanya duduk diam, membiarkan Ann membersihkan luka-lukanya tanpa protes.
Kepalanya sedikit tertunduk, rahangnya masih mengatup rapat, tetapi tidak ada tanda-tanda perlawanan dalam dirinya. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia tidak punya tenaga lagi untuk melawan.
"Aku tidak bisa mengendalikannya, Ann." Max akhirnya menjawab dengan pelan, lebih lemah. "Aku bahkan tidak tahu lagi apa yang kulakukan."
Ann terdiam. Tangannya yang sedang merapikan perban ikut membeku.
Ann menggigit bibirnya, menekan dadanya yang terasa sesak.
Lalu matanya kembali menatap luka di tangan Max lebih parah dari yang ia kira. Kulit di buku-buku jarinya robek, beberapa bagian berdarah, dan ada luka lebam di punggung tangannya yang terlihat seperti hasil pukulan keras ke permukaan yang kasar.
Sesuatu yang ia hancurkan dalam amarahnya.
"Sakit?" tanya Ann, meski ia tahu jawabannya.
Max tidak menjawab, amarah menyerap habis seluruh tenaganya.
Ann menghela napas pelan, menekan kapas ke luka itu sedikit lebih keras, menguji sesuatu.
Masih tidak ada reaksi.
"Aku bilang diam, bukan pura-pura mati rasa," gumam Ann, suaranya terdengar lelah. "Aku tahu ini sakit. Kau tidak perlu bersikap seolah tidak merasakannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Romance"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!