41 : trapped in the rain

152 21 2
                                    

Hujan masih turun deras, memukul atap gazebo yang kini menjadi satu-satunya perlindungan mereka dari dinginnya malam. Butiran air yang jatuh melebur dengan angin, menyelinap lewat celah-celah kayu, membawa hawa lembap yang seharusnya membuat tubuh mereka menggigil. Tapi di antara mereka, panas yang membara menghapus semua rasa dingin itu.

Max berada di atas Ann, tubuhnya yang kokoh dan kuat menahannya di bawah, setiap ototnya menegang seiring ritme yang semakin cepat dan dalam. Matanya yang biasanya tajam kini berkabut, dipenuhi sesuatu yang tak terucap. Nafasnya berat, keluar dalam helaian pendek dan tertahan, sementara rahangnya mengatup kuat seakan berusaha mengendalikan sesuatu yang hampir meledak di dalam dirinya.

Ann bisa merasakan setiap inci dari Max. Ketegangannya, kekuatannya, dan cara tubuh pria itu meresponsnya seolah ia adalah satu-satunya hal yang penting saat ini.

Jemari Ann mencengkeram punggung Max, kukunya tanpa sadar menekan kulit pria itu, meninggalkan jejak samar yang mungkin akan bertahan sampai esok. Napasnya tercekat, punggungnya melengkung saat sensasi yang mulai menumpuk di dalam dirinya semakin membesar, semakin tak tertahankan.

Ann tidak menyangka ini akan terjadi di sini, di sebuah gazebo tua asylum, di tengah hujan deras, dengan hawa dingin yang menusuk. Tapi semua itu terasa tak lagi penting ketika dirinya tenggelam dalam sensasi yang nyaris membuatnya kehilangan kesadaran.

Gerakan mereka semakin tak beraturan, napas mereka bercampur di udara yang pengap, dan Max bisa merasakan sesuatu di dalam dirinya menumpuk—–sesuatu yang intens, mendesak, tak bisa dibendung lebih lama lagi.

Pria itu menggigit bibirnya, mengeluarkan erangan rendah yang nyaris terdengar seperti keluhan tertahan, sebelum akhirnya tubuhnya menegang sepenuhnya.

Gelombang itu datang perlahan, menumpuk dalam getaran-getaran kecil sebelum akhirnya menerjang tanpa ampun. Tubuhnya menegang, kepalanya terdorong ke belakang, bibirnya terbuka dalam erangan tanpa suara saat puncak itu menghantamnya dengan keras.

Max merasakannya. Bagaimana Ann kehilangan kendali di bawahnya, bagaimana tubuh gadis itu bergetar dalam genggamannya, dan itu saja sudah cukup untuk menariknya jatuh bersama.

Otot-ototnya menegang, rahangnya semakin mengeras saat napasnya tertahan, sebelum akhirnya satu tarikan panjang keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Max menunduk, menekan dahinya ke bahu Ann, sementara gelombang itu menyeretnya dalam pusaran yang begitu intens hingga dadanya bergetar karenanya.

Untuk beberapa saat, dunia terasa berhenti. Yang tersisa hanyalah suara hujan di luar, napas mereka yang masih berat, dan kehangatan yang perlahan mulai mereda.

Max tetap diam di atas Ann, membiarkan dirinya menikmati sisa-sisa dari sesuatu yang baru saja terjadi.

Wajahnya tetap terkubur di lekukan leher gadis itu, napasnya yang masih hangat menyapu kulit Ann, membuat gadis itu merinding meskipun udara di sekitar mereka mulai terasa dingin kembali.

Jemarinya yang tadi mencengkeram pinggang Ann kini mengendur, bergerak lambat di sepanjang punggungnya, seperti enggan melepaskan keintiman yang masih tersisa di antara mereka.

Ann, yang masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu, mulai sadar bahwa jemarinya juga masih mencengkeram punggung Max. Perlahan, cengkeraman itu melembut, berubah menjadi belaian samar yang bahkan ia sendiri tidak sadari.

Hanya suara hujan yang memenuhi udara, bercampur dengan desiran napas mereka yang perlahan mulai teratur kembali.

Kemudian, Max mengangkat kepalanya sedikit, matanya yang biasanya tajam kini sedikit redup, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Die Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang