Part 9 Ancaman

13 3 0
                                    

Happy reading... 🤩🤗

New part, support kakak.. 🙂

Ancaman

“Gue akan tetep perjuangin lo, sekalipun lo itu adik dari musuh gue sendiri Za”

“Van, itu ada Vero!” Rafael berseru dengan menepuk keras pundak Devano. Cowok itu beberapa kali menengok ke belakang untuk melihat gerombolan Vero dan teman-temannya yang mengikuti mereka. “Pergi ke jalan sepi, Van. Jangan sampai ganggu pengendara lain,” seru Gara yang menyejajarkan motornya dengan Devan.

Mendengar itu, Devan mengangguk. Dia menarik gas untuk menambah kecepatan motornya. Dia tahu kalau Vero dan teman-temannya akan berbuat ulah. Setelah beberapa lama kebut-kebutan, akhirnya Devan dan teman-temannya sampai di jalan yang cukup sepi. Mereka berhenti di sisi lajan area hutan yang jarang dilewati. Lalu Vero dan gerombolannya mengelilingi mereka.

Devan melepas helm-nya. Matanya menatap ke arah Vero yang sudah turun dari motornya dengan sengit. “Mau apa lagi lo,” tanyanya sewot. “Gue mau lo jauhin Gheisya,” Vero berucap tanpa basa-basi terlebih dahulu dengan menunjuk Devan. Mendengar itu, Devan langsung turun dari motor diikuti oleh yang lain.

“Dia punya gue. Jangan pernah coba-coba ambil dia dari gue,” balas Devan penuh penekanan. Vero tertawa remeh. “Sebelum lo kenal dia, dia punya gue dan gue mau ambil dia dari lo,” ucap Vero dengan menunjuk Devan. “LO PIKIR DIA BARANG?!” tanya Devan di puncak emosi ia mengepalkan tanganya. Kalau Gara tidak menggenggam erat tangannya, mungkin Devan sudah menghajar wajah Vero saat itu juga.

Vero tersenyum sinis, “Dan buat lo El, jangan dekati adek gue lo!” ucap Vero dengan menunjuk ke arah Rafael. “Maksud lo, apa hah..!” tanya Rafael dengan mengerutkan kening. “Nggak usah pura-pura nggak tahu deh, lo deketin Chezza kan, dia adek gue!” ucap Vero dengan tatapan tajam ke arah Rafael. Rafael yang mendengar itu pun terkejut bukan main, dia tak menyangka kalau cewek yang dia suka adalah adik dari musuhnya sendiri.

Vero menyunggingkan seringainya. Dia, lantas menepuk pundak Rafael sebanyak dua kali. “Hati-hati aja El, kalau lo masih berusaha deketin adek gue, lo berurusan sama gue.” Setelah mengatakan itu, Vero memerintahkan teman-temannya untuk segera pergi dari sana. Para anggota Heroes pun saling berpandangan bingung harus mengatakan apa. Fabio yang lebih dulu memecah keheningan.

“Tumben nggak ngajak baku hantam,” gumam Fabio seraya menatap kepergian gang Drackmon itu. “Lo pengen? Gue sih ogah,” balas Chelsea memutar bola matanya malas. “Kalau dia nggak mulai, kita nggak boleh cari masalah duluan, ayo cabut.” ujar Gara memberikan perintah kepada yang lainnya, cowok itu pun segera melajukan kembali motornya diikuti yang lain.

🥀🥀🥀

“El, fokus!” lagi-lagi suara Devan menggema di ruang Bridge. Baru setengah jam Heroes bermain, Rafael sudah berkali-kali mengalami kekalahan. “Sorry Guys, gue minta istirahat lima belas menit aja ya. Setelah itu, gue bakalan fokus beneran,” ucap Rafael. “Oke, kalau gitu kita semua istirahat lima belas menit,” Devan menyetujui permintaan Rafael.

Rafael pun duduk dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.“El, udah lah. Nggak usah lo pikirin! Masa gitu aja overthinking!” ucap Fabio tiba-tiba. “Kalau lo suka sama dia, lo perjuangin,” timpal Gara dengan menepuk pundak Rafael. “Ada apa sih, kenapa dia?” tanya Devan dengan sebotol cola di tangannya. “Ini sih Rafael lagi galau,” Fabio nyeletuk sambil nyengir.

El, beneran lo lagi galau?” tanya Devan pada Rafael. “Nggak Van, beneran!” Rafael membantah ucapan Devano. “Udah-udah! Gue udah bisa fokus. Ayo main sekarang!” Rafael berdiri dari sofa. “Awas aja lo nggak fokus, gue gepukin rame² pakai botol, ya El,” ucap Devano. “Iya Van, iyaa,” Rafael menatap Devano yang tersenyum jahil kepadanya.

“Latihan latihan!” ucap Fabio.
“Semangat!” susul Gara.
Mereka segera memulai permainannya kembali. Untungnya, Rafael benar-benar bisa fokus seperti apa yang dia katakan tadi.

***
Siang ini Gheisya sedang berada di kantin kampus bersama Chelsea dan Chezza untuk membeli makanan. Dari kejauhan Devan memerhatikan mereka dan menghampirinya, “Lo harus ikut gue sekarang,” ucap Devano dengan mencekal lengan Gheisya sesampainya di sana. “Eh, ke mana?” tanya Gheisya.

“Ayo ikut dulu aja,” ajak Devan seraya mengulurkan tangannya, Gheisya menatap uluran tangan Devano. Lalu, dengan ragu, Gheisya menerima uluran tangan itu. Mereka berdua pun beranjak meninggalkan Chelsea dan Chezza yang duduk membisu melihatnya membawa Gheisya dengan paksa.

Setelah mengendarai motor selama beberapa saat, mereka sampai di sebuah mall besar. “Kak, ada yang mau di beli, ya?” tanya Gheisya. “Iya, baju buat lo nanti malem,” jawab Devano. “Nggak usah kak, nggak usah repot-repot beliin baju buat aku,” ucap Gheisya cepat. “Harus mau,” ujar Devan tersenyum seraya menarik tangan Gheisya dan memasuki pintu mall.

Cowok itu berbelok masuk ke salah satu toko pakaian bermerek. “Kak, jangan di sini, ini terlalu mahal buat aku.” Gheisya menarik tangan Devano agar menghentikan langkahnya. “Gue yang beliin jadi lo harus nurut,” ucap Devan. Gheisya tidak bisa membantahnya lagi, dan mengikuti Devan. “Lo mau yang mana?” tanya Devan kepada Gheisya, Gheisya menatap Devano. “Terserah yang mana aja,” jawab Gheisya sudah tidak ada tenaga untuk menolak. “Kalau gitu gue yang pilihin,” ucap Devan dengan semangat.

“Kakak kenapa buang-buang uang buat aku sih?” keluh Gheisya menatap bungkusan di tangan kirinya. Tangannya yang lain berada di genggaman Devano. “Nggak papa, mending sekarang ikut gue beli es krim,” ajak Devan. “Tapi, kali ini aku yang bayarin,” Gheisya berucap dengan cepat. Devan terkekeh pelan. Lalu, dengan cepat, Devan melangkah ke hadapan Gheisya, membungkukkan badannya hingga wajah mereka berhadapan.

“Okee..,” ujarnya sambil menunjukkan senyum. Gheisya langsung terdiam. Jantungnya berdetak dengan kencang, Gheisya buru-buru mundur, menjauh dari Devan. “Kakak ngagetin!!!”. Devan tertawa. “Ayo!” Devan kembali menggenggam tangan Gheisya menuju gerai es krim. “Selamat datang, mau pesan rasa apa kak,” tanya penjual es krim saat mereka sudah tiba di sana. “Vanila aja satu,” jawab Devan. “Blue Berry satu Mbak,” ujar Gheisya.

“Totalnya lima puluh ribu, Kak.”
Tangan Devano refleks bergerak mengeluarkan dompetnya, tetapi dengan cepat, Gheisya menatap Devano dengan tatapan tajam. “Aku yang bayar, Kak,” ucap Gheisya seraya mengeluarkan dompet dan membayar pesanan mereka. Devan dan Gheisya duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Gheisya langsung menikmati es krimnya, sedangkan Devan menatap Gheisya.

“Suka blue berry?” tanya Devan. Gheisya menatap Devano.“Iya, mau coba?” tanya Gheisya. Devan menganggukkan kepalanya, dan menerima suapan dari Gheisya. “Gimana?” tanya Gheisya. Devan menatap Gheisya dengan tatapan datar. “Rasanya aneh,” ujar Devan dengan susah payah menelan es krimnya. “Hah? Aneh?” tanya Gheisya bingung.

“Gue nggak suka blue berry,” jawab Devano. “Terus kenapa malah mau nyobain,” tanya Gheisya. “Lo nawarin, nggak mungkin kan gue nolak,?” jawab Devan. Gheisya tersenyum, sedangkan Devan menikmati senyuman cewek di depannya itu. “Jadi, sukanya apa?”
“Kamu.”
“Apaan sih, kak!”

🥀🥀🥀

Baca terus ya kelanjutan ceritaku ini dan kasih kritik kalau ada kurangnya...🤔😥

Terimakasih telah membaca.. 🤩🙏🏻

BEATARISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang