Bab 17

14.8K 537 71
                                    

"Alasya? Hari ini gak sekolah?" Tanya suara lembut, seorang wanita paruh baya terlihat dari ujung pintu setelah mengetuk pintu.

Alasya menoleh, melihat ke pintu, Mamahnya sedang berdiri di sana. Ia menggeleng kecil tanpa menjawab.

"Kenapa sayang? Gak enak badan ya?" Marlina berjalan mendekat, mendekati anak tunggalnya itu, yang sepertinya terlihat tidak baik-baik saja.

"Alasya gapapa Mah." Jawab Alasya, namun Marlina tahu jika anaknya itu sedang berbohong. Tatapannya terlihat kosong, seperti banyak hal yang memenuhi otaknya.

"Beneran sayang? Kalau kamu sakit Mamah ga jadi pergi kerja."

Alasya kembali menggeleng, "gapapa Mah, benar. Mamah pergi aja."

Sebenarnya dalam hati Marlina sangat penasaran apa yang terjadi dengan Alasya. Beberapa hari belakangan ini anaknya terlihat lebih murung. Memang biasanya Alasya juga bukan anak yang banyak berbicara, namun sepertinya belakang ini ia telihat lebih pendiam dan wajahnya terlihat lebih murung.

Marlina merasa tidak tega menatap Alasya yang tengah duduk di lantai, ia tidak tega ingin meninggalkan anaknya itu sendirian di rumah. Sejujurnya ia juga kadang merasa bersalah karena harus meninggalkan Alasya sendirian di rumah, ia terpaksa seperti itu karena tuntutan kerja yang mengharuskannya untuk pergi dinas keluar kota sewaktu-waktu.

Mungkin nanti, jika ia punya waktu ia akan mengajak Alasya untuk berbicara berdua. Sepertinya juga saat ini Alasya tidak ingin di ganggu.

"Mamah pergi dulu ya sayang, kamu gapapa di tinggal kan? Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin mamah ya." Pesannya.

"Iya mah," Balas Alasya, dari tatapan matanya saja Marlina tahu anaknya itu sedang menyimpan sesuatu. Namun tidak ingin untuk menceritakannya.

***

Sepeninggalan Mamahnya pergi, Alasya hanya diam, duduk di atas lantai dan bersandar ke kasur. Di temani keheningan dan kesunyian yang membuat pikirannya semakin merambat semakin jauh.

Gimana kalau Arkan beneran nyebarin itu?

Gue beneran mau berhenti.

Gue gak mau nerusin semua ini lagi.

Kenapa Arkan sejahat itu sampai tega ngancam gue kaya gini?

Pikirannya terus berkecamuk, seluruh masalah itu berputar-putar di pikirannya. Ia mencoba mencari cara untuk menyelesaikan semua itu, namun ia tidak menemukan jawabannya sedikitpun.

Arkan kamu jahat banget, kenapa setega itu?!

Sangat lama berfikir Alasya sampai tidak sadar hari sudah mulai siang, rasanya ia ingin menangis saat ini, namun air matanya tidak bisa keluar. Rasanya benar-benar resah gelisah, ancaman Arkan terus terngiang di pikirannya.

Dia takut, dia ingat seseorang bernama Resya yang kemarin dijadikan bahan perbincangan satu sekolah hingga harus terpaksa berhenti sekolah karena kejadian itu.

Alasya tidak mau, Alasya masih mau bersekolah.

Ponselnya berdering, tanpa melihat Alasya sudah tahu siapa yang menghubunginya. Sudah pasti Arkan, ia tidak punya kenalan lain yang cukup dekat untuk menelponnya seperti itu.

Melihat nama itu tertera di sana membuat Alasya merasa dadanya sakit, menyesakan rasanya jika yang menyakiti kita adalah orang yang kita sayang. Rasanya berkali-kali lipat lebih sakit jika yang membuat kecewa adalah orang yang kita harapkan.

Virtual FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang