"Kamu gak dengerin aku, ya?" Perempuan berkemeja biru muda itu melipat tangan di dada, menatap pacarnya dengan sebal. "Kamu bahkan nggak fokus sepanjang nonton film tadi. Kenapa, sih?"
"Ah, sorry. Aku cuma lagi kepikiran bimbel." Dio mengusap tengkuknya. Hari ini ia bolos les lagi karena Alanis mengajaknya main setelah pulang sekolah.
"Kamu tuh udah pinter, materi pelajaran udah ada di luar kepala, nggak usah mikirin belajar terus. Percuma kamu di sini kalau pikiran kamu nggak tahu ke mana. Kamu anggap aku nggak, sih?" omel Alanis.
"Iya, maaf, Nis. Aku cuma takut ada aduan dari pihak sana ke ibu lagi kayak waktu itu," jelasnya. Ia tidak bisa berbohong pada ibunya karena ponselnya pun Alanis ambil alih saat ini.
"Aku cape terus-terusan jadi nomor sekian. Aku juga mau jalan sama pacar, nonton film, makan kayak temen-temen aku. Bahkan aku tahu ya kamu belakangan ini nempel terus sama Anya. Aku bahkan masih marah karena kamu turunin aku di jalan demi jemput Anya di sekolah! Kamu lupa janji kamu buat jaga jarak sama dia? Kamu udah gak sayang aku lagi?"
Dio mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tidak sesabar itu untuk meladeni sikap Alanis yang makin hari makin tidak terkendali dan berusaha mengaturnya. Dio masih mewajarkan sikap Alanis yang posesif dan menyita ponselnya saat mereka bersama, tapi kali ini keluhan perempuan itu benar-benar membuatnya muak. Cukup sudah orang tuanya mengatur hidupnya terlalu dalam.
"Kamu tuh berubah! Nggak kayak awal-awal pacaran, manis banget! Sekarang kamu bosen sama aku?" Nada suaranya yang meninggi membuat beberapa pengunjung restoran yang duduk di dekat mereka melirik.
"Aku kan udah minta maaf, Nis. Kenapa kamu jadi merembet ke mana-mana gini, sih? Aku cape kalau kamu kayak gini terus."
"Kamu cape sama aku? Aku lebih cape sama kamu!"
"Ya udah, terserah kamu."
"Ya udah!" Alanis mengeluarkan ponsel Dio dari dalam tasnya, kemudian berdiri kursinya dan pergi begitu saja.
Dio masih diam di tempatnya. Makanan mereka bahkan belum sempat disentuh. Tapi ia terlalu lelah untuk membujuk Alanis saat ini. Tekanan dari orang tuanya sudah cukup berat, ia tidak ingin Alanis menambahnya lagi.
***
Bukannya pulang setelah bertengkar dengan Alanis, Dio justru membelokan mobilnya pada sebuah bangunan di pinggir jalan bertuliskan Steam Motor & Mobil Babeh Udin. Meskipun hari sudah menunjukkan pukul delapan malam, masih ada beberapa karyawan yang sedang mencuci kendaraan di sana, sisanya membereskan peralatan.
Dio duduk pada kursi tunggu, memerhatikan temannya melepas sepatu bot dan sarung tangannya, kemudian berjalan menghampirinya dengan wajah kusam dan baju yang basah dibeberapa bagian hingga menimbulkan warna lebih gelap dari aslinya. Laki-laki itu sudah bekerja keras hari ini.
"Ngapain?" tanya Adrian setelah duduk di sebelah Dio. Ia tahu, ada maksud tertentu temannya itu menghampirinya malam-malam begini. "Anak-anak baru aja balik dari sebelah," jelasnya. Teman-temannya yang lain memang baru saja pulang dari warkop sebelah.
"Gue nggak nanyain anak-anak." Dio menyerahkan paperbag restoran tempatnya makan tadi. Ia membungkusnya pada pelayan di sana untuk di bawa pulang karena Alanis terlanjur pergi. "Nih, makanan."
"Bukannya lo abis jalan sama Alanis?" Adrian membuka paperbag itu dan mulai melahap makanannya. Perutnya memang belum diisi apapun lagi sejak sore tadi. "Nyokap lo tadi nelepon, lo ketahuan bolos terus tapi masih aja dilakuin. Bego."
Dio tertawa. Ia tahu. "Terus lo jawab apa?"
"Gue bilang lo lagi kerja kelompok sama gue. Hape lo mati dan lagi boker di WC pas nyokap lo telepon," jelasnya. "Gila ya, gue sobat sejati lo banget. Tanpa disuruh pun gue udah tahu tugas gue apa."
Ia tertawa lagi. Adrian memang selalu bisa diandalkan.
"Yang abis kerja gue, tapi kenapa muka lo lebih kusem?" tanya Adrian.
"Gue berantem sama Alanis. Itu cewek makin menjadi. Pusing gue denger omelannya." Ia mulai mengeluh.
"Yang gue heranin, dari awal lo jadian sama dia aja gue gak tahu alasannya apa. Lo milih jaga jarak sama Anya padahal sebelum-sebelumnya justru kedekatan dengan Anya, lo manfaatin biar pacar lo minta putus. Lo lebih gampang diatur sama Alanis." Adrian menghabiskan makanannya dengan cepat. "Lo nggak bawa minumnya juga?"
Dio menggeleng. "Gue yang mau pacaran sama Alanis."
Adrian berdecak, namun, ia kembali bertanya, "Kenapa, tuh? Cinta lo sama dia?" Kalau memang itu alasannya, Adrian bisa menerima. Ia pun sempat menjadi tolol kemarin-kemarin karena berhubungan dengan Dalila. Cinta memang selalu bisa membuat seseorang melakukan hal yang tidak masuk sekali pun.
"Suka aja." Dio mendengkus geli mendengar jawabannya sendiri. "Dia nggak caper dan terlalu percaya diri. Gue pikir, mungkin gue bisa beneran nikmatin pacaran di akhir masa SMA gue. Saat itu gue juga lagi jenuh banget sama tekanan bokap. Gue pikir dia nggak semenyebalkan yang lain."
"Kenapa nggak sama Anya aja yang jelas-jelas lo udah tahu sifat aslinya gimana?"
"Anya, ya?" Ia menopang dagu dengan tangan kanannya di atas lutut, menjadikan Anya sebagai pacarnya? "Gue nggak pernah berpikir buat macarin dia."
Sejak awal mereka bertemu, Dio hanya berfokus pada amanah keluarga Anya untuk selalu menjaga dan menemani perempuan itu selama ini. Berbeda ketika ia melihat Alanis yang terlihat tidak menunjukkan ketertarikannya saat berada di ekskul basket bersamanya selama dua tahun ini, atau dengan percaya dirinya perempuan itu mengikuti beberapa lomba kelas meeting tahun lalu melawan siswi lain dan memenangkannya, Dio mulai tertarik dengan Alanis. Selama masa pendekatannya dengan perempuan itu tiga bulan semuanya berjalan lancar, itu yang membuat Dio memutuskan untuk mengajaknya berpacaran.
Namun, semua ekspektasinya buyar begitu saja. Alanis bukanlah perempuan impiannya yang tangguh dan percaya diri. Seperti mantan-mantannya sebelum, Alanis banyak menuntut dan melarangnya. Ia yakin, Alanis pun merasakan hal yang sama. Dio punya banyak hal yang menjadikan Alanis di nomor urut sekian, tidak bisa selalu memprioritaskan pasangannya. Mereka hanya berusaha bertahan dan mewujudkan ekspektasi yang selama ini ada dalam imajinasi, yang sayangnya tak kunjung jadi nyata.
Dio merasa terlalu lelah melanjutkan hubungan mereka yang tidak ada titik terangnya. Ia tidak bisa menjauhi Anya terlalu lama dan membuang waktu belajarnya untuk bersenang-senang dengan perempuan. Ia lebih takut dengan amarah orang tuanya kalau tahu ia semakin memberontak. Dio jelas masih memiliki akal untuk tidak menjatuhkan prestasinya demi Alanis.
"Terus lo mau putus?"
"Nggak tahu." Ia masih memikirkan bagaimana baiknya hubungan mereka.
"Ada orang yang bilang ke gue, kalau emang dia nggak bisa dipertahankan lagi, nanti lo akan ketemu sama dia seperti udang yang ketemu rendang di etalase nasi Padang." Adrian tertawa sendiri dengan ucapan absurdnya.
"Orang tolol mana yang jadiin itu sebagai patokan?" dengkus Dio.
"Ada, nanti juga lo tahu orang tololnya." Adrian tertawa geli sekali lagi. Bisa-bisanya ia mengingat ucapan absurd perempuan menyebalkan itu. "Saran gue, sih, lo jangan bohong terus sama orang tua lo. Mau lo lagi sama cewek lo atau apapun, jujur aja. Toh, nyokap lo bakal berusaha ngerti 'kan?"
Dio termenung lama. Bermenit-menit ia habiskan untuk diam memikirkan semuanya.
***
Update pagiii, vote + komen jangan lupa ya 🤍01/07/24
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Teen FictionDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...