Perempuan berkucir kuda itu baru saja selesai menulis agenda kelas untuk hari ini, ada dua temannya yang mengabari kalau hari ini tidak akan masuk kelas. Anya merogoh saku almamaternya yang bergetar, mengerutkan keningnya saat ada telepon masuk dari Teresa. Tumben sekali.
"Kenapa, Re?"
"Nya, gue gak masuk hari ini. Kakek gue meninggal, pesawat gue take off setengah jam lagi. Maaf gue gak bisa bikin batik."
Anya menggaruk pelipisnya. "Emm... gitu ya, Re. Oke deh, gak pa-pa. Take care, ya."
Setelah mendengarkan ucapan terimakasih, Anya memutuskan sambungan telepon. Ia mencatat di buku agenda kelas bahwa Tere juga izin hari ini.
"Tere izin kenapa?" tanya Adrian yang berdiri tepat di sampingnya.
"Ke Medan. Kakeknya meninggal."
"Terus gue ngerjain batiknya sendiri?"
"Sama kita-kitalah. Gue juga gak setega itu."
Adrian mengangguk. "Oke deh."
Tora dari arah pintu berseru, "Dalila cantik amat, dah. Gemes gue lihatnya."
"Pagi-pagi udah ngalusin cewek aja lo, pulang sekolah bikin batik!" sembur Anya.
Tora menatapnya tak setuju. "Kan gue udah beli bahan-bahannya kemarin, Nya."
"Tere izin gak masuk hari ini. Pulang sekolah jangan kabur, Tor," ujar Adrian seraya menepuk bahu Tora.
***
Nyatanya saat bel pulang berbunyi, Aldi dan Tora sudah hilang entah ke mana. Menyisakan Anya dan Adrian di parkiran sekolah yang masih kebingungan. Sungguh menyebalkan.
"Si Aldi gak bisa ikut. Ada turnamen futsal katanya, terakhiran kelas dua belas," kata Anya setelah membaca WhatsApp dari Aldi.
"Tora disuruh jagain adik-adiknya," jelas Adrian.
"Jadi kita berdua doang nih, yang ngerjain?"
Adrian tak menjawab pertanyaan retorik itu. Ia menaiki motornya. "Mau ikut gak?"
"Ke mana?"
"Ke rumah gue-lah. Katanya mau ngerjain batik."
Anya mendengkus. "Biasa aja kali! Sensi banget sama gue!" Ia menaiki motor Adrian dengan barbar.
"Pelan-pelan woi! Ini motor satu-satunya, kalau rusak gak ada gantinya," kata Adrian saat motornya oleng.
"Emangnya gue peduli?!"
Lihat kan? Bagaimana Adrian tidak menghindari perempuan ini selama dua tahun terakhir kalau baru beberapa bulan mereka satu kelas saja, ia sudah sebal dengan tetangga kesayangan Dio ini.
Adrian menggerutu di sepanjang jalan. Perempuan yang duduk di jok belakangnya menyebalkan dua kali lipat hari ini. Belum lagi ocehannya yang tak kunjung berhenti saat Adrian melesat cepat melewati kendaraan umum lainnya. Tidak taat aturanlah, tidak berperikeangkotanlah. Membuat kepalanya pusing saja.
"Turun," titahnya.
"Rumah lo yang mana?"
"Dalem gang."
"Terus kenapa gue disuruh turun sekarang?"
"Di sana banyak ibu-ibu, kagok." Adrian menunjuk sekumpulan ibu-ibu yang duduk berkerumun di salah satu rumah warga.
Anya mendengkus. Ia turun dari motor, lalu berjalan membuntuti motor Adrian.
"Punteun," kata Adrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Fiksi RemajaDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...