| Dua puluh tiga : Khawatir |

30 16 0
                                    

Eva melempar rapor sementara dari tempat les anaknya ke atas meja belajar.  "Cukup main-mainnya, Dio."

Dio memejamkan matanya. Ia baru sampai di rumah sepuluh menit yang lalu, ponselnya bahkan belum ia cek sejak disita Alanis. Ketika tidak mendapati siapapun di ruang tamu, dan tahu ibunya tidak menunggunya pulang, Dio bernapas lega dan segera menuju kamarnya, namun ternyata itu bukan pertanda baik.

"Kalau kamu pikir, kamu bisa lolos karena sering bolos les, kamu salah. Ibu tahu kamu nggak kerja kelompok sama Adrian atau teman kamu yang lain." Eva memijit pelipisnya dengan lelah. "Sudah cukup main-mainnya. Kamu harus fokus belajar."

"Selama ini Dio udah fokus belajar, Bu," bantah laki-laki itu.

"Kalau fokus kenapa nilai-nilai kamu terus turun?" Eva menunjuk rapor yang tadi ia bawa. "Kamu belum lihat hasilnya 'kan?"

Dio membuka rapor itu dengan berat hati. Nilai-nilainya memang merosot sejak kemarin. Buku-buku yang ayahnya belikan belum semuanya ia pelajari, waktunya pun tidak cukup untuk belajar setelah pulang dari tempat les. Ia sudah terlalu lelah.

"Kamu pikir ibu nggak tahu kamu sering bolos karena main sama pacar kamu? Putusin dia sebelum papa kamu tahu!"

Kalimat itu sontak mengalihkan atensi Dio pada ibunya. "Papa nggak akan tahu kalau ibu nggak bilang."

"Karena ibu masih melindungi kamu."

Dio berdecih. "Kenapa dulu Tara nggak disuruh putus juga? Kenapa cuma sama Dio, kalian bersikap keras begini? Masalah belajar, masa depan, bahkan urusan se-sepele pacaran aja harus diatur. Dio cape nurutin kemauan ego kalian."

"Jaga bicara kamu, Dio! Ibu dan papa begini karena mau yang terbaik buat kamu! Agar kamu punya masa depan yang baik!"

"Tapi kenapa Tara dibebaskan sama keputusannya? Tara nggak dituntut masuk STAN, nggak disuruh putus sama pacarnya, nggak harus ngikutin karir papa. Kenapa, Bu? Kenapa cuma Dio? Kenapa sejak dulu kalian terus menuntut Dio harus ini-itu, sedangkan Tara bebas melakukan apa yang dia mau."

Eva mengusap bahu putra bungsunya, mencoba meredam amarah Dio. Saat ini, mungkin Dio sedang lelah dan tidak ingin diganggu. Mungkin hanya butuh istirahat sejenak dari banyaknya materi yang harus ia pelajari. "Kami melakukan ini karena kamu punya potensi yang bagus. Dan papa nggak mau potensi kamu disia-siakan. Tara biarlah dengan keputusannya mau jadi apa. Tapi kamu, satu-satunya harapan papa."

"Apa pernah ibu tanya apa yang Dio mau selama ini? Sama seperti Tara, Dio juga mau dipercaya kalau keputusan Dio memang tepat." Dio mengatur napasnya yang terasa kian sesak. "Tapi selama ini ibu nggak pernah memberikan kesempatan itu. Ibu selalu melakukan apa yang papa perintahkan tanpa pernah ngerti apa yang Dio mau."

"Besok kamu nggak perlu masuk sekolah, ibu udah izin sama wali kelas. Gunakan waktu untuk istirahat dan renungi kenapa ibu dan papa melakukan ini." Eva mengusap puncak kepala Dio, lalu mengambil ponsel anaknya di dalam tas. "Hape kamu ibu ambil dulu. Fokus pada apa yang harus kamu kejar. Kalau papa kamu sampai tahu nilaimu turun, dia nggak akan tinggal diam."

Selalu seperti itu.

***

Bimbingan belajar sudah dimulai sejak dua puluh menit yang lalu, matahari semakin cerah dan panasnya menembus jendela kelas. Pak Jamal masih menjelaskan macam-macam batuan dan jenis tanah yang terdapat di layar proyektor. Seisi kelas hening terasa normal dan tampak memerhatikan. Semua ini karena Dio, siswa kesayangan pak Jamal itu tidak masuk. Mereka tidak bisa mengandalkan Dio jika tiba-tiba diberi pertanyaan random seperti biasanya.

Dino dan Hendra yang biasanya menutupi wajah dengan buku, kini terlihat anteng duduk di kursi paling belakang, sementara Adrian duduk sendirian tepat di depan meja Dino. Entah apa alasan Dio tidak masuk hari ini, padahal ujian akhir semester sebentar lagi.

"Silakan isi link soal yang bapak kirim di grup, batas waktu pengerjaan sampai pelajar bapak jam tiga nanti," jelas pak Jamal sembari merapihkan barang-barangnya. "Ada yang tahu Dio ke mana? Tumben dia telat bimbel."

Keadaan kelas mulai ricuh, beberapa siswa mulai berspekulasi kenapa Dio tidak masuk hari ini. Karena ia tipe murid yang rajin dan giat belajar, sangat mengherankan Dio tidak masuk terlebih kegiatan mereka makin padat sebelum libur semester tiba.

"Anya?"

Mendengar namanya dipanggil, sontak Anya mengangkat wajahnya yang sejak tadi sibuk dengan bukunya. "I-iya?"

"Pak Jamal tanya, Dio nggak masuk atau telat?" bisik Ajeng.

Anya mengalihkan pandangan ke arah sudut kelas, baru menyadari kursi laki-laki itu kosong. "Saya nggak tahu, Pak."

"Ya sudah. Kalian jangan ribut, ada waktu lima belas menit sebelum bel masuk." Pak Jamal meninggalkan kelas dan semua siswa mulai berhamburan keluar mencari udara segar. Tidak ada yang betah berlama-lama di kursinya jika pak Jamal sudah memulai pembelajaran, mereka semua tegang. Tapi akhirnya sesi bimbingan selesai dan mereka bisa bernapas lega.

"Lo beneran nggak tahu kenapa Dio nggak masuk?" Adrian menghampiri meja Anya, mendorong kursi kosong ke meja perempuan itu.

Anya menggeleng. "Nggak tau. Kan lo temennya."

"Lo juga."

"Gue beneran nggak tahu." Anya masih belum bicara pada Dio, sepertinya temannya itu benar-benar marah atas ucapannya.

"Lo bisa pastiin dia baik-baik aja, nggak?"

Pertanyaan Adrian membuat Anya sedikit cemas. "Dia ketemu sama lo kemarin? Apa dia sakit?"

"Makanya lo pastiin dia sakit atau apa."

"Kenapa nggak lo yang mastiin langsung?" Ajeng yang sejak tadi diam bertanya pada Adrian. "Dio pasti lebih terbuka sama lo karena sesama cowok 'kan?"

"Gue ada urusan." Adrian bangkit dari sana dan mengembalikan kursinya pada tempat semula.

Ajeng memerhatikan langkah Adrian keluar kelas, laki-laki itu terlihat seperti siswa biasa saja jika tidak bersama Dio. "Nya, lo bilang mau makan pecel ayam di rumah Adrian lagi kan? Hari ini aja, yuk!"

"Nggak bisa. Hari ini gue ke rumah Dio buat mastiin dia baik-baik aja atau nggak."

"Oh, lo beneran nggak tau Dio kenapa? Gue kira cuma alesan doang biar Adrian pergi," gumamnya.

Anya termenung. Ia sedikit khawatir tentang tetangganya. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Dio sampai membuatnya tidak masuk hari ini. "Gue bikin kesalahan. Dan dia masih marah sama gue." Ia membuka ponselnya, pesannya masih belum terbaca sejak kemarin sore.

"Lo pasti udah keterlaluan banget sampai Dio marah berhari-hari kayak gini." Ajeng hanya bisa menyemangati temannya. "Minta maaf dan akui kesalahan lo. Gue yakin Dio akan bermurah hati untuk maafin."

***

Udah masuk konflik nih, bentar lagi ending. Tumben banget kan donat up cepet 😁

Vote + komen jangan lupa ya 🤍

02/07/24

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang