Adrian tertahan di kelas yang sudah sepi oleh keempat teman kelasnya. Mereka sedang memperdebatkan di mana mereka akan kerja kelompok hari ini.
"Kata gue juga di rumah Anya!" ujar Aldi.
"Dari rumah gue kejauhan, entar baliknya kemaleman," sanggah Tora.
"Kayak anak perawan aja lo!" seru Anya.
"Ya udah di rumah lo aja!" Teresa menunjuk Tora.
"Janganlah! Adik gue pada rese, gak bakal beres nantinya," katanya.
"Banyak alasan lo!" Aldi memiting kepala Tora diantara ketiaknya. "Di rumah Adrian ajalah, kalo gitu!"
Sang empunya melotot sempurna. "Apaan? Kok jadi gue?"
"Dari tadi lo diem aja," kata Teresa.
"Jangan di rumah gue-lah. Jam segini rumah gue rame. Mending di rumah yang lain aja." Adrian tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya ibu-ibu pembeli sambil bergosip lalu ditimpali suara ricuh keempat orang ini.
"Terus di mana? Mau di panti gue?" tawar Aldi.
Teresa menggeleng cepat. Ia pernah ke panti tempat Aldi tinggal, anak-anak di sana sangat hiperaktif, bisa saja mengganggu mereka nantinya. "Mending di rumah gue!"
"Nggak!" Ketiganya menolak cepat, kecuali Adrian.
"Gak mau lagi gue dikejar-kejar anjing lo!" Aldi mendengus.
"Gue juga gak mau!" tolak Anya.
"Terus di mana?!" seru Teresa.
"Gini aja, lo bertiga beli bahan-bahan buat bikinnya, gue sama Tere yang ngerjain batiknya besok di rumah Tere," usul Adrian.
"Gimana, setuju gak?" tanya Aldi.
Anya dan Tora mengangguk.
"Ya udah, besok lo ke rumah gue aja, Yan."
Setelah itu, mereka keluar kelas, pergi dengan urusan masing-masing termasuk Adrian yang segera melajukan motornya.
Sudah tiga hari ponselnya berada di konter, kata Bang Doni—pemilik konter—ia bisa menjemput ponselnya setelah tiga hari kemudian. Yang mana hari ini ia akan ke sana. Di jaman sekarang memang apapun sudah bergantung pada ponsel. Tugas, obrolan, gosip, pembelajaran, bahkan belanja kebutuhan dapur pun sudah bisa pakai benda pipih itu. Pantas saja optik kacamata laris beberapa tahun belakangan ini.
Maka, setelah pulang dari tempat kerjanya, Adrian segera mendatangi konter hp langganannya sebelum tutup jam sembilan malam nanti. Sebenarnya, uang di celengannya kurang karena memang baru ia isi beberapa Minggu. Adrian terpaksa memakai uang gajiannya Minggu ini untuk menebus ponselnya.
"Gimana Bang? Udah beres?" Adrian duduk di salah satu kursi.
Bang Doni menyerahkan ponselnya. "Beres."
"Makasih, Bang." Lalu ia memberikan uang yang sudah ditentukan tiga hari kemarin. "Sekalian beli kuota deh."
Setelah menghidupkan jaringan datanya, Adrian menyunggingkan senyumnya. Ada beberapa pesan dari Dalila yang menanyakan kabarnya.
Adrian : Sori, La, kemarin hapenya rusak.
Dalila : Oh, syukur deh. Kirain kamu ganti nomor.
Adrian : Kalaupun ganti, pasti ngasih tau. Hehe.
Dalila : Haha iya, bener juga.
Sudah. Ia tidak tahu harus membalas apa. Dalila pun sering kebingungan membangun obrolan dengannya.
"Lo masih mau nongkrong di sini?" tanya bang Doni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Teen FictionDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...