| Sembilan : Terima kasih |

92 48 17
                                    

Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, seragam yang tadi pagi dipakainya masih melekat di tubuh jangkungnya. Dengan wajah lelahnya, Dio masih bisa memberikan senyuman pada ibunya yang berdiri di depan pintu.

"Setelah mandi, langsung makan malam ya, Di. Ibu udah siapain di dapur."

"Iya, Bu."

"Ibu tungguin, lho, ya, jangan sampai ketiduran habis mandi."

Dio mengangguk. Setelah Eva menutup pintu kamarnya, ia merebah di atas tempat tidur, memejamkan matanya yang sedikit sakit akibat belajar berlebihan. Ponselnya berdering di saku celana, Alanis meneleponnya.

"Halo, Nis?"

"Kamu dari mana aja, sih? Kenapa WhatsApp aku gak dibalas?"

"Sorry, aku baru pulang les."

"Kamu tuh, kebiasaan banget, sih! Kapan ada waktu untuk aku kalau yang kamu pikirkan itu cuma belajar?!"

"Kalau kamu nelepon cuma buat ngomel, aku tutup."

"Di—"

Dio menutup sambungan telepon. Ia menghela napas kasar saat ada pesan masuk dari ayahnya.

Papa : Gimana hari ini?

Dio : Lancar.

Papa : Papa udah transfer ke rekening kamu, silakan kamu pakai untuk keperluan sekolah.

Dio : Makasih, Pa.

Papa : Jangan lupa baca buku yang udah papa kirimin.

Pesan itu hanya ia baca. Menjadi anak laki-laki memang selalu dituntut lebih oleh orang tua. Dio tidak bisa menolak apapun yang orang tuanya inginkan. Hal ini bermula sejak ia memutuskan untuk tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Membiarkan Tara menggantikan posisinya tinggal bersama sang ayah dan ibu tirinya di Makassar ternyata tidak membuat dirinya bebas. Semua alat game yang ia beli hasil tabungannya dan hadiah dari Arsen telah ayahnya ambil, Dio dituntut belajar dengan giat untuk masuk ke sekolah yang ayahnya inginkan.

"Bukan waktunya untuk bermain-main di saat orang lain berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan. Pikirkan hidup kamu sepuluh tahun ke depan jika hari ini masih saja terpedaya oleh game." Nasihat itulah yang selalu Dio ingat dari ayahnya.

Masa-masa itu terlewati dengan berat, tidak ada hiburan sekedar menjernihkan pikiran dari tekanan sang ayah. Akhirnya ia memutuskan untuk menerima kehadiran Anya sebagai satu-satunya teman yang mengerti dirinya, juga mulai terbuka pada Adrian dan mengajak laki-laki itu masuk ke dalam kehidupannya. Dio pun mulai bisa berbaur dengan beberapa teman, mendapat banyak perhatian dan pujian karena prestasi yang ia dapatkan lebih banyak dari sebelumnya.

"Dio hebat ya, ranking satu pararel dua kali berturut-turut."

"Tahun kemarin dia menang OSN Matematika tingkat provinsi, 'kan?"

"Rencananya dia juga mau diikutsertakan ke OSN Ekonomi bulan depan."

"Orang tuanya pasti bangga sama dia."

"Gue denger-denger, sih, dari SMP dia udah belajar keras banget."

"Gak anehlah, anak kayak gitu pasti ambisius."

"Tapi, katanya, orang yang berprestasi dan rajin belajar gitu sebenarnya lagi banyak nanggung beban. Orang tuanya juga pasti selalu nuntut dia untuk jadi lebih baik lagi."

Kepalanya berdenyut nyeri setiap kali mengingat apa yang orang-orang bicarakan tentangnya. Dio menopang kepalanya dengan tangan, lalu menghela napas panjang. Ia melihat meja belajarnya yang penuh dengan buku, lalu tatapannya beralih pada bingkai foto berisikan dirinya, Anya dan adik tirinya—Ahza yang tersenyum lebar beberapa bulan lalu. Senyumnya ikut mengembang.

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang