Saat mobil Hans berhenti tepat di depan gerbang rumahnya, Anya keluar dari sana dengan terburu-buru dan membuka gerbang agar mobil bisa masuk. Ia menghampiri omnya. "Om, Anya ke rumah Dio dulu, ya. Mau ngasih ini." Ia menggoyangkan kotak berisi tembikar yang tadi ia beli di tempat keramik.
Hans mengangguk.
Setelah mendapat izin, ia menghampiri pak Didi di pos. "Malam pak Didi."
"Eh, malam, Non. Kenapa, ya?" Pak Didi dengan wajah terkantuk-kantuknya menyembulkan wajahnya dari kaca pos.
"Boleh buka gerbangnya gak, Pak? Aku mau ketemu Dio."
"Waduh, maaf, Non. Ibu berpesan jangan ada yang ketemu sama Den Dio dulu untuk beberapa hari ke depan."
"Lho, kenapa, Pak? Kan ini Anya. Rumah Anya di sebelah, Pak." Perempuan itu menunjuk rumahnya. "Anya cuma mau ketemu sebentar aja, kok."
"Maaf, Non, gak bisa. Soalnya ibu udah wanti-wanti sejak kemarin."
Anya mendesah pasrah. "Tapi Dio gak pa-pa 'kan, Pak? Dio nggak sakit kan?"
"Setahu bapak, sih, nggak. Tapi Den Dio nggak boleh keluar rumah sama ibu."
"Kenapa, Pak?"
"Maaf ya, Non, sebaiknya Non Anya pulang aja, udah malam. Bapak juga nggak bakal buka gerbangnya."
Dengan berat hati ia meninggalkan pos dan berjalan lesu menuju rumahnya. Niatnya ingin meminta maaf atas perkataannya yang kasar pada Dio batal. Tembikar yang ia beli tadi untuk Dio masih dijinjing di tangan kirinya saat suara Faya terdengar dari arah dapur. Rupanya kakaknya sudah pulang.
"Gimana sekolah Anya, Fay?" Hans baru saja duduk di meja makan.
Dapat Anya lihat Faya bersandar pada meja pantri sembari memakan buah apel di tangannya. "Aman om."
"Dia ada bilang mau ngambil jurusan apa buat kuliah? Atau ke kampus mana gitu?"
"Nggak. Aku sibuk. Nggak sempat buat nanyain hal kayak gitu."
"Kamu ini gimana, sih, kan om titipin dia sama kamu biar lebih diperhatiin. Tahu sendiri di Pontianak dia dijauhi keluarga besar."
Faya memasang raut tak suka. "Bukan kewajiban aku buat ngurusin Anya. Om Hans kan ayah kandungnya, harusnya om yang bertanggung jawab atas hidup anak itu, bukan malah nitipin ke mama-papa apalagi aku. Uang transferan aja nggak cukup buat besarin anak, om." Ia mendengkus kasar.
"Jaga ucapan kamu, Faya." Anya tidak bisa melihat ekspresi Hans karena pria itu duduk membelakangi pintu dapur.
"Lho, memang benar kan? Om nggak berhak marah sama aku karena nggak ngurusin Anya, karena yang harus marah itu kami sekeluarga yang harus merawat dia dari bayi sampai sebesar sekarang. Om yang hamilin anak orang di luar nikah, kami yang harus tanggung jawab menutupi kebrengsekan om Hans! Nggak adil!"
"Faya!"
"Lebih baik om kasih tahu di mana ibu kandungnya biar Anya tinggal sama dia. Anak itu bahkan nggak tahu masa depannya mau kayak gimana."
"Justru itu tugas kamu. Kamu arahkan dia mau ambil jurusan apa sesuai minat dan passionnya."
"Kenapa nggak om Hans yang arahkan dia? Tante Nita nggak mungkin curiga kan?"
Hati Anya mencelos mendengar penuturan kakaknya-ah, lebih tepatnya kakak sepupunya. Jadi selama ini ia hanya anak adopsi. Pantas saja Hans selama ini baik padanya, itu karena ternyata Anya anak kandung pria itu. Rasanya lebih sakit daripada saat ia dijauhi oleh keluarga besar. Ayah kandungnya pun tidak mau mengurusnya dan membiarkannya dikucilkan oleh keluarga besar mereka selama ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/196179727-288-k863187.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Novela JuvenilDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...