| Lima belas : Tidak terlambat |

57 32 9
                                    

Istirahat kedua yang biasanya akan Adrian habiskan bersama teman-temannya, kini berbeda. Dalila duduk di seberangnya dengan dua mangkuk bakso dan es teh manis yang sudah keduanya habiskan. Perempuan itu terus bercerita mengenai bimbingan belajar yang akhir-akhir ini kurang efektif karena hujan di pagi hari. Tutur katanya yang lembut dan sopan membuat Adrian terhanyut ke dalamnya.

Ia bertopang dagu, tatapannya hanya tertuju pada Dalila, telinganya hanya menangkap suara lembut perempuan itu, isi kepalanya berputar-putar, semua hal tentang Dalila. Seolah bisingnya kantin yang ramai di tengah hari seperti ini tidak membuatnya terganggu sedikit pun. Kalau saja Dio ada di antara mereka, Adrian pasti akan menjadi bulan-bulannya karena bersikap bodoh seperti ini.

Netra itu balas menatapnya, lalu mengerjap beberapa kali. "Kamu dengerin aku 'kan, Yan?"

Adrian mengangguk. "Kita kapan pacaran, La? Aku rasa dua Minggu cukup untuk tahu jawaban kamu," ujarnya.

Senyum Dalila memudar. Ia menunduk. "Aku sebenernya belom siap pacaran. Kamu tahu 'kan, selama ini aku nyaman sama kamu karena kita berawal dari temen. Dan aku belom siap kalau status kita berubah lebih dari itu."

"Gitu, ya."

"Maaf, Yan. Kamu bisa nunggu sebentar lagi, gak?"

Adrian mengingat perkataan Anya. Ia harus lebih tegas. "Sampai kapan, La?"

Dalila nampak berpikir.

"Bukannya aku gak mau nunggu jawaban dari kamu, tapi menurut aku, kalau kamu terus-terusan minta aku nunggu kayak gini, kesannya malah sebenernya kamu gak punya rasa lebih dari temen buat aku," jelas Adrian.

"Adrian..."

"Gak pa-pa, La. Kalau kamu emang lebih nyaman berteman, kita masih bisa berteman. Gak perlu maksain untuk jadi pacar." Setelah mengucapkan itu, Adrian beranjak dari bangku. "Aku ke kelas duluan, ya, ada ulangan sosiologi."

"Maaf, Yan." Dalila menatap Adrian dengan rasa bersalah.

Ia tersenyum, lalu meninggalkan Dalila yang masih duduk di tempat semula. Dalam hati ia menggerutu. Kenapa langsung berkata seperti itu tanpa bertanya lebih dulu, apakah Dalila menyukai orang lain atau tidak.

"Bego juga lo, Yan," gumamnya yang kemudian berbelok menuju perpustakaan.

Di pojok kanan yang terhalang rak-rak tinggi, sudah ada beberapa murid yang berkumpul untuk OSN bulan depan. Ia berjalan menuju pojok kiri, yang sialnya, perempuan yang sedang tidak ingin ia temui sedang duduk di kursi paling pojok seraya sibuk dengan ponselnya.

Dengan berat hati, ia menggabungkan kursi di depan perempuan itu, lalu mulai merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Semoga Anya tidak menyadari keberadaannya dan ia bisa tidur dengan pulas untuk satu jam ke depan, karena sebenarnya, guru sosiologinya tidak akan hadir di kelas.

"Gue putus sama Kevan."

Sial. Adrian langsung terjaga.

"Si brengsek Kevan mau main-main sama gue," katanya.

Ia tidak bergerak sedikit pun, menunggu lawan bicaranya kembali bercerita.

"Lo gimana, Cis? Udah ketemu sama Dalila?"

"Ya." Terdengar helaan napas kasar darinya. "Dia gak bisa anggap gue lebih dari temen. Mungkin lo bener... dia cuma mau mainin perasan gue doang, atau bisa jadi manfaatin gue karena cowok lain. Dia cuma bilang maaf. Nggak untuk apa."

Anya mendengus sebal. "Dalila brengsek juga, ya."

"Seperti yang lo bilang, sakit hati pun bukan urusan dia. Kita yang membiarkan dia masuk tanpa menyelipkan rasa curiga."

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang