| Enam belas : Kita yang salah |

55 31 7
                                    

Entah apa yang dipikirkan Dio saat dirinya memilih bolos dari kelas tambahannya. Duduk di ruangan serba feminim dengan penerangan yang menyilaukan mata seraya membaca buku adalah situasi yang masih perlu ia sesuaikan. Apalagi dengkusan kesal yang pacarnya keluarkan sedari tadi membuatnya tidak bisa fokus belajar.

Dua jam berlalu namun, Dio masih merasa gusar sejak ponselnya ditahan Alanis dengan keadaan kehabisan daya. Bahkan, ia belum sempat memberi kabar pada ibunya mengenai alasannya membolos, dan memberitahu Anya atau Adrian agar tidak ikut mencarinya yang tiba-tiba hilang. Jangan sampai ada omelan Tara setelah ia kembali ke rumah. Semoga. Karena ia sudah terlalu lelah mendengarkan gerutuan pacarnya.

Alanis melempar bantal—kesekian kalinya—ke arah Dio. "Kamu niat temenin aku gak, sih? Aku minta kamu ke sini karena aku kesepian. Mama-papa belum pulang, dan harusnya kamu gak sibuk sama buku kamu."

"Bolos les bukan berarti aku gak belajar, Nis," ucap Dio yang membalikan halaman buku.

"Ya udah, kamu les aja, sana!"

Dio menghela napas kasar. "Ya udah, kamu maunya apa?"

"Sini," Alanis menepuk tempat di sebelahnya. "temenin aku sampai tidur."

Ia tak langsung beranjak dari sofa. Mengamati wajah pucat Alanis yang tersenyum hingga menampakkan giginya, mulai berbaring miring di tempat tidur. Dio berdehem pelan. "Aku di sini aja."

"Ayolah, Di. Kamu sombong banget, gak mau deket-deket pacar sendiri." Alanis mengerucutkan bibirnya.

Dio menutup bukunya, lalu tersenyum tipis. "Mau cerita sesuatu? Kamu belom bilang alasan orang tua kamu gak di rumah."

"Mereka masih kerja. Mungkin gak akan pulang sampai besok."

"Kita tunggu satu jam lagi, kalau memang orang tua kamu gak pulang, aku minta bi Icih temenin di sini," jelas Dio.

Alanis mengangguk.

Ia melirik jam di dinding, pukul delapan malam. "Boleh aku minta hape dulu? Aku belom ngabarin ibu."

"Aku udah kasih tahu Adrian, bilang kalau kamu lagi di rumah aku. Dan udah titip pesan juga, kalau ibu kamu nanya, bilangnya gak tahu," jelas Alanis.

Dio menggeleng tak percaya. "Kenapa kamu bilang gitu?"

"Terus aku harus bilang apa?"

***

Sesampainya di rumah, Dio mendapati Eva tertidur di kamarnya. Ia langsung mengisi daya ponsel, lalu ponselnya tak berhenti bergetar mendapati banyak panggilan dari ibu, Tara, Anya dan Arsen. Banyak juga pesan dari sang ibu dan Anya yang menanyakan keberadaannya. Dan di paling bawah ada omelan Tara yang mungkin, akan ia baca besok pagi, kalau-kalau tidak lupa.

Dio naik ke atas tempat tidur saat waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Memeluk Eva yang terlelap di sampingnya seraya ikut memejamkan matanya yang lelah. Setelahnya, ia tidak ingat apapun. Hanya suara nyaring alarm yang dapat membangunkannya di tidur yang indah.

Melirik jam di ponselnya yang ternyata sudah pagi, Dio membersihkan tubuhnya lalu menyiapkan peralatan sekolah, kemudian menuruni anak tangga dengan tergesa. Ia tak melihat sosok Eva di dapur, hanya ada Arsen yang sedang menikmati kopinya.

"Pagi, Pa," sapa Dio.

"Pagi, Di." Arsen meliriknya sekilas. "Ibu lagi di rumah Bu RT, bekal kamu udah disiapin," jelas pria paruh baya itu.

"Oke." Dio mengangguk.

"Semalam..." Arsen berdehem. "papa belum tidur ketika kamu sampai rumah. Jangan sesekali membuat ibumu khawatir lagi."

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang