| Sepuluh : Janji |

74 42 15
                                    

Anya melirik jendela kamarnya yang terang karena sinar matahari yang masuk, kemudian mengubah posisi tidurnya membelakangi cahaya itu, dan kembali terpejam. Sepulang dari rumah Adrian, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, pinggangnya terasa pegal dan nyeri sekaligus. Sekarang pun masih terasa. Tak peduli ponselnya terus berdering, ia masih berusaha untuk tidur kembali.

Suara Lily Allen mengalun indah saat menyanyikan lagu dari Keane yang berjudul Somewhere Only We Know, membuat Anya membolakan matanya. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu melirik kalender di atas nakas yang menunjukan tanggal tua di bulan September. Hari ini ia dan Kevan harusnya pergi bersenang-senang sebelum ujian tengah semester. Setelah membiasakan rasa nyeri di pinggangnya, Anya meraih ponselnya di samping kalender, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Kevan. Ia memutuskan untuk memasuki kamar mandi dan bersiap untuk pergi.

Ia bersenandung dengan kepala yang mengikuti irama lagu, Anya dengan segala keribetannya harus tampil cantik di depan pacarnya. Namun, setengah jam sudah berlalu, Kevan belum juga datang menjemputnya. Ponsel laki-laki itu mendadak tidak aktif.

"Mau ke mana kamu?" Faya mengernyitkan dahinya saat membuka pintu rumah melihat Anya sudah bersolek rapih.

"Jalan."

"Bukannya pinggang kamu masih sakit?" tanya Faya.

Anya menggeleng pelan. "Sedikit kok. Hari ini aku mau jalan sama Kevan." Jangan sampai karena perkara pinggangnya yang sakit, mereka tidak betemu. Meskipun masih satu kota, dan cuma berjarak beberapa belas kilo meter, Kevan sangat sulit ditemui.

Faya mengangguk. Kemudian berjalan menuju dapur. Ia melirik adiknya yang sibuk dengan ponselnya. "Tadi kakak dapet telepon dari Mama, katanya Desember kamu gak usah pulang. Biar kakak aja."

Ia menatap Faya dengan pandangan protes. "Terus aku sendiri di sini?"

"Iya."

"Kenapa, sih? Kenapa kalian seneng banget ninggalin aku sendirian gini."

"Gak usah lebay, deh. Kamu harus hidup mandiri, jangan jadi anak manja terus." Faya kembali ke ruang tamu, lalu duduk di samping Anya. "Sebentar lagi ujian, kamu harus belajar."

Manja katanya? Oh, ayolah, bahkan kedua orang tuanya tidak peduli Anya melakukan ini dan itu, Faya pun tidak mengurusnya selayaknya kakak di sini. Anya hanya bersikap manja pada Dio dan Ajeng!

Dan ia tahu, bukan itu alasannya. Sejak kecil, kedua orang tuanya memang lebih menyayangi Faya daripada dirinya. Selalu ada cara agar mereka bisa berkumpul bersama tanpa dirinya yang ikut serta. Seperti beberapa bulan lalu saat hari raya idul fitri, mereka tidak pulang ke Pontianak, tapi satu minggu kemudian Faya pergi ke sana diam-diam dengan dalih ada acara bersama dengan teman lamanya. Padahal Anya tahu keluarga besarnya mengadakan acara besar tanpa mengajak dirinya. Anya mengetahui hal itu dari salah satu postingan kerabat jauhnya di Instagram.

Bahkan, orang tuanya hampir tidak pernah menghubunginya lebih dulu selama ia tinggal jauh dari mereka. Memberi kabar apapun itu pasti selalu melalui Faya. Beginilah nasib anak buangan. Menyebalkan!

"Aku berangkat sekarang, Kevan udah jemput," ujarnya mengalihkan topik. Suasana hatinya sudah memburuk.

"Jangan pulang kesorean." Pesan Faya hanya ia balas dengan acungan jempol sebelum keluar rumah.

Sebelum memesan ojek online, Anya memeriksa ponselnya yang menampilkan pesan dari Kevan.

Kevano : Sayang, sorry, aku ada acara sama temen temen mau main badminton.

Anyakkk : Kita udah rencanain ini dari jauh hari lho.

Kevano : Sorry:(

Anyakkk : Aku udah rapih bgt ini tinggal jalan.

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang