Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja 'kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu
Tepat di belakang kelas XII IPS 3 terdapat taman untuk para siswa tingkat akhir menenangkan diri di tengah sibuknya tugas-tugas yang menumpuk. Awalnya memang seperti itu. Namun, sejak tahun ajaran baru dimulai, taman tersebut menjadi tempat tongkrongan anak-anak band gadungan. Seperti saat ini, petikan gitar dan tabuhan kajon mengiringi nyanyian mereka.
Dio termasuk salah satunya, meskipun hanya ikut duduk seraya sibuk dengan bukunya. Kepalanya menunduk, mencermati isi buku akuntansi—yang penuh dengan coretan tangannya—seolah suara gaduh di sekitarnya adalah iringan lagu penghantar kecerdasan yang bisa membawa angka-angka di buku itu masuk ke dalam otaknya.
"Ngapain, sih, Bor? Sibuk bener," tanya Dino menyikut lengan temannya.
Dio mengangkat bukunya. "Ada ulangan ekonomi besok."
Terdengar decakan malas dari lelaki itu. "Masih sempet-sempetnya mikirin ulangan besok di saat kita baru kelar kuis matematika. Hiburan dikit napa, Di!" katanya menabuh kajon dengan semangat membara. Pasalnya, ia bisa lolos dalam kuis matematika karena Dio telah menjelaskan ulang materinya kemarin.
"Ah, elo, kayak yang gak tahu Dio aja, No," ujar Hendra. "Biar cepet sukses ya, Di."
Dio mengangguk.
"Biar cepet nikahin Anya, ya?!" seru Dino yang langsung mendapat sorak-sorai dari yang lain.
"Masih sekolah jadi temen aja dulu, kalau udah sukses baru, deh, lo kawinin," ujar teman yang lain.
"Kawin-kawin, lo kira sapi main dikawinin aja!" kata Dio tak terima.
"Mau kawin atau nikah, sama-sama pasti mau bikin anak. Yang belum pasti itu, Anya mau gak sama elo?" tanya Dino yang langsung membuat heboh.
Dio mendengus pelan, tak mau menanggapi lebih lanjut.
Sementara Adrian yang sedari tadi fokus memetik gitarnya, memberi kode pada Dio lewat dagu untuk menoleh ke belakang. Dio mengangkat sebelah alisnya. Saat hendak bertanya, suara lain lebih dulu menginterupsi riuhnya mereka.
"Boleh pinjem Dio-nya sebentar gak?" tanya perempuan berambut panjang bergelombang pada mereka. Dia Anya, sahabat sekaligus tetangga Dio. Senyum cerah Anya membuat mereka mengangguk. Toh, di sini pun Dio tidak berkontribusi apa-apa.
"Boleh banget dong."
"Lama juga gak pa-pa."
"Apa, sih, yang enggak buat Anya."
"Minjem Dio mah boleh, Nya. Yang gak boleh tuh minjem duit. Soalnya gue juga lagi bokek," sahut Dino yang langsung mendapat toyoran di kepala oleh Adrian.
Tanpa mendengarkan celetukan teman-temannya lagi, Dio menarik Anya menjauh. "Kenapa, Nya?"
"Makan siang kesorean." Anya mengangkat paperbag di tangannya. "Gue pesan Richeese kebanyakan," katanya.
Dio menatap Anya lebih lama, meragukan alasan perempuan itu.
Anya berdehem. "Tadinya mau makan sama Kevan, tapi dia tiba-tiba gak bisa. Ajeng juga udah pulang dari tadi. Temenin gue makan, ya?"
Dio menghela napas kasar. Pacar Anya memang sering kali membatalkan janji secara tiba-tiba seperti ini. Dio tidak akan membahasnya lebih lanjut kecuali Anya yang bercerita lebih dulu.
"Mau makan di rumah aja atau di mana, Di?"
"Di taman yang tadi aja."
"Gue nggak ganggu?"
Tanpa menjawab pertanyaan Anya, Dio menariknya kembali ke belakang kelas.
Sekembalinya mereka ke taman, Dino beserta yang lainnya sudah pergi. Menyisakan Adrian seorang yang sibuk dengan buku ekonomi milik Dio. Sepertinya, ia sudah teracuni virus rajin dari Ladio Harsa.
"Yang lain pada ke mana, Yan?" tanya Dio.
"Ke warkop babeh."
"Adrian makan sama kita, yuk. Gue bawa banyak," ajak Anya seraya duduk di samping Dio.
"Mau balik," tolak Adrian. Ia menyampirkan tasnya di bahu dan bersiap pergi. Teman Dio yang satu itu selalu bisa membuat banyak alasan agar tidak berinteraksi dengan Anya kapan pun dan di mana pun.
Anya lebih dulu menahannya, membuat Adrian kembali duduk. "Sebentar aja, ya?"
"Nggak. Gue ada urusan."
Anya menyerahkan kentang pada Adrian lalu membuka paket miliknya dan Dio. "Ambil chiken-nya," ujar Anya pada Adrian yang langsung mendapat gelengan. "Ambil dulu sebelum pergi."
Adrian berdecak. "Gak mau."
"Ian gak suka pedes, Nya," ujar Dio pada akhirnya.
"Ini enak, kok. Gue yakin lo akan ketagihan."
"Nggak."
"Ck, jangan norak, deh. Ini enak banget."
"Nggak."
"Lo harus coba ini." Anya menyodorkan satu fire chiken ke mulut Adrian yang berada di seberangnya.
"Gak." Adrian hendak bangkit dari sana namun Anya kembali menahannya.
"Cobain dulu."
"Gak mau."
"Satu gigitan aja, plis!"
"Gak usah dipaksa, Nya." Dio menginterupsi.
"Ladi gak usah ikut campur. Dia harus nyobain makanan enak ini." Anya menyondongkan tubuhnya ke depan agar memudahkannya untuk menyuapi Adrian.
Adrian melotot sempurna saat bibirnya bersentuhan dengan makanan pedas yang katanya enak ini. Ia menjauhkan kepalanya.
"Ayo, makan!"
Ia menggeleng. Saat hendak membuka mulutnya untuk protes, Anya sudah menyumpalnya dengan fire chiken. Mau tak mau, ia mengigitnya, lalu mendorong tangan Anya untuk menjauh. Tenggorokannya terasa sakit saat rasa pedas masuk ke kerongkongannya.
Anya menyerahkan pink lava miliknya yang langsung Adrian terima. Wajah merahnya menatap Anya dengan kesal. "Lo gak pa-pa?"
"Konyol," katanya setelah cairan merah muda itu tandas di kerongkongannya.
Dio menghela napas kasar. Anya tidak bisa sembarang memaksakan kehendaknya pada orang lain. "Kanya, minta maaf."
"Maaf. Gue kira Dio bohong soal lo yang gak suka pedes."
Adrian melengos, kemudian ia benar-benar pergi dari sana.
"See? Lo nggak bisa memaksa orang lain untuk suka apapun yang lo suka juga Anya. Sikap lo tadi betulan kasar," ujar Dio.
"Maaf, Di."
Ini kali pertama Anya dan Adrian berinteraksi panjang setelah hampir tiga tahun mengenal sebagai teman Dio, dan Adrian sudah mengibarkan bendara perang padanya.
Mati lo, Nya!
***
Halo! donat publish cerita baru lagi, kali ini teenfiction. Yang baca TARAKA pasti tau Dio siapa.
Jangan lupa vote & komen ya! 🤍
12/06/24
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Teen FictionDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...