| Tiga : Ikhlas |

94 66 7
                                    

"Bu, Ian sama Caca berangkat, ya." Adrian menyalakan Beat merahnya seraya menggendong adiknya—Nesa—untuk naik di jok depan.

Tak ada sahutan dari sang ibu, karena Adrian tahu, Mala sedang sibuk mengurusi dagangannya untuk sore hari di dapur. Motornya melaju melewati gang kecil rumahnya, yang pagi ini sudah ramai oleh anak ayam berjalan di area gang. Adrian menyalakan klaksonnya, agar para anak ayam itu menyingkir.

"Isukan keneh atuh, Jang, geus tan-tin-tan-tin wae," ujar tetangganya sebal.

Adrian mendengkus. Lalu turun dari motornya untuk menggiring anak ayam itu ke pinggir. "Punteun, Bi." Setelahnya, ia kembali melajukan motornya.

Senin pagi yang menjengkelkan ketika Caca mengatakan kalau bekalnya tertinggal di teras rumah saat ia memakai sepatunya tadi. Yang artinya mereka harus kembali ke gang sempit berisikan anak-anak ayam itu, sementara mereka hampir sampai di sekolah Caca.

"Caca lupa, A."

Adrian mengangguk. "Balik lagi, yuk."

Mau bagaimana lagi. Mereka kembali ke rumah dengan setengah hati, yang sialnya, saat mereka sudah sampai, isi kotak bekal kuning mentereng itu sedang dimakan kucing liar. Sungguh menyebalkan.

"Yah, Ca, bekalnya gak bisa dimakan."

Gadis berkucir dua itu menatap kotak bekalnya na'as. "Terus Caca makan sama apa, A?"

"Ya udah, Caca makan bekal A Ian aja." Adrian mengeluarkan bekalnya dari dalam tas, lalu memasukannya ke dalam tas adiknya.

"Terus A Ian makan sama apa?" tanya Caca.

"Gampang Aa mah, makan sama apa aja," katanya. "Yuk, ke sekolah."

Caca mengangguk patuh. "Maaf ya, A."

Adrian tersenyum dibalik helmnya. Itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan saat ini. Yang pasti, mereka harus segera ke sekolah sebelum terlambat upacara.

Caca mencium punggung tangan kakaknya, lalu melambaikan tangannya sebelum memasuki sekolah. "Dah... A Ian."

Adrian balas melambaikan tangannya. Jarak sekolahnya dengan Caca tidak jauh sebenarnya, cukup dengan waktu kurang dari lima menit saja ia sudah sampai di depan gerbang sekolah.

Ponselnya mendadak bergetar di saku celana, Dio meneleponnya. Perasaannya tidak enak.

"Kenapa, Di?"

"Yan, lo di mana? Bisa ke rumah gue gak sekarang?" Terdengar suara parau dari seberang.

"Ngapain? Gue udah di depan gerbang."

"Ada barang Anya yang ketinggalan, mau dipake presentasi hari ini."

Adrian mengerutkan dahinya. "Emang lo di mana?"

"Sini dulu deh, makanya. Penting banget, nih." Kemudian Dio menutup sambungan telepon dengan sepihak.

Yang benar saja, ia sudah di depan gerbang sekolah, kurang dari dua meter lagi motornya memasuki area sekolah. Adrian tak habis pikir, dengan seenaknya Dio menyuruhnya balik arah ke rumah laki-laki itu yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat hanya karena Anya. Seorang perempuan menyebalkan di matanya.

***


"Di, Ibu berangkat dulu, ya. Kalau dokter Kris udah datang langsung telepon. Ibu usahakan pulang cepat." Eva mengusap kepala Dio dengan lembut.

Dio mengangguk. "Hati-hati, Bu."

"Sarapannya dihabiskan. Soal barang Anya yang tertinggal, kamu bisa minta tolong Adrian untuk ambil."

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang