| Dua : Maaf |

113 68 8
                                    

Faya menghentikan laju motornya tepat di sebelah gerbang sekolah adiknya. "Udah sampe, Nya."

Anya yang masih terkantuk-kantuk terpaksa turun dari motor, mencium tangan Faya lalu memasuki gerbang dengan sempoyongan. Semalam ia harus mengerjakan tugas geografi, membuat peta perencanaan pembangunan pemukiman di salah satu wilayah berdasarkan data penginderaan jauh. Membuatnya baru bisa tidur pukul satu malam tadi.

"Mabok lo, Nya?" tanya Ajeng yang menghalangi jalannya.

"Mabok geografi gue," jawabnya malas.

"Kenapa dah?"

"Gara-gara peta sialan—astaga!" Anya melebarkan matanya dengan sempurna. "Peta geografi gue ketinggalan!" Anya segera mencari ponselnya di dalam tas.

"Peta yang perencanaan wilayah itu?"

Anya mengangguk. "Sial banget, sih, gue," rutuknya saat tidak menemukan ponsel di dalam tas.

"Kenapa lagi?"

"Jeng, lo lihat Dio gak di kelas tadi?"

"Gue aja belom sampai kelas, Mansur!" Ajeng mendorong dahi Anya.

"Ayo, ayo, cepat ke lapangan! Upacara akan di mulai!" seru bu Dian yang mendorong para murid keluar kelas. Guru bimbingan konseling itu kerap kali berkeliling saat upacara akan di mulai seperti saat ini.

Ajeng menarik tangannya ke arah meja piket, menyimpan tasnya di antara tas lain yang bertumpuk. "Ayo, sebelum bu Dian marah," katanya.

Anya ikut menyimpan tasnya di dekat milik Ajeng, lalu menyusul perempuan itu ke lapangan. Dari sekian banyaknya murid kelas dua belas, ia tidak menemukan Dio di mana pun, bahkan sampai pengucapan teks pancasila berakhir. Kemungkinan besarnya laki-laki itu terlambat.

Anya bergerak gusar saat para staf dan guru meninggalkan lapangan.

"Kenapa, sih, lo? Daritadi gak mau diem banget. Nahan berak, ya?" kata Ajeng risih.

"Peta sama hape gue, Jeng!"

"Udah kakak lo titipin kali ke depan."

"Nggak bakal." Kalau minggu lalu mungkin saja Faya akan mengantarnya. Tapi minggu ini shiftnya sudah kembali pagi, mana mungkin Faya sempat kembali ke sini untuk menutupi kecerobohannya.

Pukul delapan kurang dua puluh menit upacara selesai, barisan belum juga dibubarkan. Pak Bagas, guru ekonomi yang kebetulan piket hari ini memboyong murid yang terlambat ke tengah lapangan.

"Mau jadi apa bangsa ini kalau generasi penerusnya saja tidak tepat waktu?" katanya dengan logat medan yang kental. Beliau memegang penggaris besar yang sering dipakainya untuk membuat tabel akuntansi di papan tulis.

Anya dapat melihat Adrian di antara banyaknya murid yang terlambat. Laki-laki itu masih menjinjing tas dan dua karton putih di tangannya.

"Indonesia tidak membutuhkan generasi seperti kalian. Dua belas tahun menimba ilmu masih saja tidak tahu jam masuk sekolah. Jangankan untuk mengatur masa depan, mengatur waktu ke sekolah saja tak bisa." Perkataan itu sontak saja mendapat sorakan dari peserta upacara.

"Dio gak ada di sana. Berarti gak masuk, ya?" tanya Ajeng.

Anya merenggut. Kalau Dio tidak masuk sekolah, artinya Faya tidak menitipkan barangnya yang tertinggal.

Sia-sia dong gue ngerjain tugas sampai tengah malem!

"Anya, ih!" Ajeng menyikut lengannya.

"Apa sih, Jeng? Naksir lo sama Dio? Nanyain mulu," gerutunya.

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang