Sore itu, Dio baru saja pulang dari tempat Adrian, langkahnya terhenti di bangunan di samping rumahnya yang satu tahun lalu kosong. Ia melihat dua orang dewasa sedang berseteru di depan rumah itu. Yang salah satunya, ia kenali sebagai tetangga barunya.
Dio mendekati pagar hitam menjulang di depannya yang sedikit terbuka, kemudian menyondongkan telinganya. Ia tahu, mencuri dengar pembicaraan orang lain memang bukanlah hal yang benar, namun, ia benar-benar merasa harus mengetahui isi pembicaraan itu.
"Mama tahu sendiri kan, Anya itu orangnya ceroboh dan banyak mau, dia pasti akan merepotkan. Aku gak mau dia tinggal di sini."
"Mama juga gak mau dia tinggal lebih lama di rumah."
"Kenapa gak jujur aja sih, kalau dia sebenernya anak haramnya Om Hans, bukan anak mama sama papa? Kita gak akan ngurusin si anak manja itu sampai dia menikah 'kan?"
"Jaga omongan kamu Faya!" Wanita paruh baya itu meninggikan suaranya. "Anya memang anak dari luar pernikahan, tapi kamu gak boleh sembarangan bilang kayak gitu!"
Detik itu juga, Dio menyesal telah berdiri di sana. Tidak seharusnya ia mendengar rahasia orang lain.
"Tapi aku gak mau Anya tinggal di sini, Ma!"
"Justru Anya tinggal di sini biar dia bertemu ibu kandungnya! Wanita itu tinggal di sekitaran sini, cepat atau lambat mereka pasti bertemu. Kamu cuma perlu tinggal sama dia tanpa perlu mengurusnya layaknya seorang kakak."
Malamnya, Dio mendapati wanita paruh baya itu bertamu ke rumahnya. Dio dan orang tuanya dititipkan bayi besar bernama Kanya Dwi Sabria, yang saat ini duduk dihadapannya dengan cengiran kuda. Perempuan yang tadi pagi bertemu dengannya karena ibunya menyuruhnya untuk beramah tamah pada tetangga baru. Perempuan yang keluarganya bicarakan sore tadi, juga perempuan pertama yang memanggilnya "Ladi". Ya, Ladi. Singkatan dari Ladio.
"Maaf mengganggu waktu malamnya, Pak, Bu," ucap pria paruh baya yang seumuran dengan Arsen. "Kalau begitu, kami permisi. Selamat malam."
Arsen mengangguk, lalu ikut berdiri bersamaan dengan tamu. "Sama sekali nggak mengganggu. Kalau Nak Faya dan Anya memerlukan sesuatu, jangan sungkan untuk meminta bantuin kami."
Para orang tua berjalan lebih dulu ke luar, Tara beriringan dengan Faya dan Kaila, sementara Dio paling belakang bersama Anya. Remaja laki-laki itu dapat mendengar obrolan singkat kedua kakak perempuannya dengan Faya mengenai universitas.
"Nanti bantu aku buat mengenal Bogor ya, Di."
Dio menoleh. Ia memerhatikan senyum lebar itu dengan seksama, lalu mengangguk.
"Aku mau sekolah di tempat yang sama kayak kamu. Nanti kita daftar bareng, ya?" Senyum itu belum pudar meskipun Dio tak kunjung menjawab.
"Aku minta nomor telepon kamu, dong." Anya menyerahkan ponselnya pada Dio.
Tanpa kata laki-laki itu mengetikan nomor ponselnya, lalu mengembalikan ponselnya lagi.
"Makasih, ya." Anya masih mempertahankan senyumnya. "Selamat malam, tetangga."
Entah mengapa senyum itu terasa menyedihkan di mata Dio.
Mereka berpisah saat Anya dan keluarganya memasuki rumah, Tara menyenggol lengannya. "Temen baru. Besok harus kasih bitterballen buatan gue ke dia. Sebagai bentuk pertemanan."
"Males."
"Lusa gue udah berangkat, lho. Lo harus punya temen selain Adrian."
Besoknya, ia terpaksa mengantarkan camilan itu pada Anya karena Tara dan Kaila mengawasinya dari pagar rumah mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/196179727-288-k863187.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Novela JuvenilDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...