| Dua puluh Empat : Om Hans |

28 18 1
                                    

Bel pulang sudah terdengar lima menit yang lalu, para siswa berbondong-bondong keluar kelas dan menyerbu gerbang dengan semangat membara. Begitu pun dengan Ajeng yang memilih mencari pecel lele seorang diri karena Anya menolaknya tadi. Temannya itu benar-benar nekat seperti tidak ada hari lain lagi.

Anya menghentikan langkahnya di anak tangga terakhir saat melihat Adrian dan Dalila berbincang di dekat tangga. Perempuan itu merapatkan tubuhnya pada sisi lain tangga dan berusaha tidak menimbulkan bunyi apapun. Setelah putus dengan Kevan, Anya tidak lagi bertemu Dalila di mana pun. Jujur saja, ia ingin sekali memberitahu Dalila bahwa pacarnya itu sangat keganjenan hingga main Tinder dan harus direhabilitasi. Namun apa daya, ia takut Dalila justru menyalahkannya. Dan lagi pun, Dalila juga bermain-main dengan Adrian.

Emang pasangan toxic.

"Makasih ya, Yan, kamu masih mau temenan sama aku. Buku sastra Germannya aku pinjem dulu."

"Sama-sama Dalila. Jangan sungkan kalau butuh bantuan ya."

Apa katanya? Jangan sungkan? Anya mencibir sebal. Kalau ia yang meminta bantuan pasti laki-laki itu menolak tanpa pikir panjang.

Dasar bulol!

Meskipun saat ini Anya tidak dapat melihat ekspresi keduanya, ia sudah menebak wajah malu-malu Dalila dengan senyum manisnya dan ekspresi sok lembut Adrian saat bertatapan dengan gebetannya. Membayangkannya saja membuat Anya mual.

"Oh, iya, aku tahu kamu dekat sama Anya. Tolong bilangin ya, makasih karena mau mutusin Kevan. Makasih karena tetap diam dan nggak marah-marah sama aku."

"Sumpah? Dia tahu kalau cowoknya selingkuh?" Anya menutup mulutnya tak percaya.

"Aku dan Kevan terlibat perjodohan keluarga. Kami juga udah tunangan. Mau sebanyak apapun cewek yang dia pacarin demi membatalkan perjodohan kami, itu nggak akan berhasil. Makasih karena Anya mau mengalah."

Penjelasan Dalila tak kunjung mendapatkan sahutan dari Adrian. Mungkin laki-laki itu sama terkejutnya dengan Anya yang masih setia menempelkan tubuhnya di tangga.

Drama sekali hidupnya, pikir Anya.

"Adrian?"

"Eh, iya? Aku bakal sampaikan ke Anya. Dia juga pasti ngerti," katanya tertawa canggung.

Anya merasa bodoh. Kevan memperalatnya untuk kepentingannya sendiri. Sialan. Mentang-mentang cakep, berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Memang benar mereka serasi. Penuh drama dan toxic.

Karena sudah tidak minat pada pembicaraan keduanya, Anya keluar dari persembunyiannya dan berbelok ke arah lain untuk menuju gerbang sekolah tanpa sepengetahuan mereka.

"Kevanjing!" umpatnya.

***

"Itu bukannya om Hans ya?" Anya mengerutkan keningnya heran.

Di depan gerbang Bina Bangsa yang tinggi, pria paruh baya dengan setelan kerjanya tengah menyandarkan tubuhnya di kap mobil. Ia melambaikan tangan pada Anya dengan senyum lebarnya.

"Ah, ternyata bener." Ia berlari pada omnya dan memeluknya erat. "Anya kangen banget sama om!"

Hans tertawa. Ia balas pelukan keponakannya. "Om juga kangen banget sama Anya. Gimana kabarnya?"

"Baik!" Anya melepas pelukannya, mundur satu langkah dan berputar. "Tapi bukannya om Hans datangnya baru Minggu depan?"

"Nggak sabar ketemu sama kamu." Hans mengajak Anya memasuki mobil. "Kita sambil jalan ya, kamu mau makan dulu?" Ia mulai menjalankan mobilnya.

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang