Pukul lima lewat dua puluh menit, Dio sudah bersiap ke sekolah. Eva sempat bertanya kenapa harus sepagi ini, namun anak bungsunya menjawab karena takut keburu hujan yang akhirnya ia telat bimbingan belajar.
"Kamu kan bisa pakai mobil. Kasihan itu gak kamu pake. Nyempitin garasi aja," omel Eva.
"Lebih praktis pake motor, Bu. Bisa ngebut."
Dan di sinilah ia sekarang, menunggu sang pujaan hati yang mungkin masih bersolek di balik gerbang tinggi di depannya sejak lima menit lalu. Ia meringis saat membaca beberapa pesan dari Anya yang memarahinya karena meninggalkan tetangganya begitu saja.
Anya cantik : LADI KE MANA SIH?!
Anya cantik : Kata tante Eva lo berangkat pagi bgt takut ujan. Pdhl gue tau itu cuma alesan lo doang!
Anya cantik : TEGA LO NINGGALIN GUE DI SAAT KAK FAYA LAGI SHIFT MALEM GINI!!
Anya cantik : Bayangin dari blok F jalan sampe depan! Keterlaluan!
Dio : Sorry, Nya. Gue berangkat sama Alanis.
Anya cantik : Okd.
"Di?"
Dio cepat-cepat mengantongi ponsel ke saku hoodie-nya tanpa sempat membalas pesan terakhir dari Anya. Kemudian menampilkan senyum terbaiknya. "Berangkat, yuk."
Alanis mengangguk, kemudian merapatkan sweater rajutnya saat menaiki motor. "Maaf lama, tadi mama ribet banget suruh bawa bekal."
Dio mengangguk. "Gak pa-pa." Ia melirik Alanis lewat kaca spion. "Bimbel apa, Nis?"
"Ekonomi. Gak pa-pa kok telat juga. Aku lagi males lihat pak Bagas, nih."
Dio terkekeh mendengarnya. "Aku juga lagi males nih lihat Bu Wiga. Mau bolos aja?"
Alanis terbelalak. "Serius? Gak pa-pa, nih?"
"Seriuslah. Mau gak?"
"Mau!" Alanis mengangguk cepat. "Kita ke mana dulu?"
"Temenin aku sarapan dulu di kantin, gimana?"
Alanis mengiyakan. Dio memperlambat laju kendaraannya, sengaja agar sampai ke sekolah nanti bimbingan belajar sudah dimulai.
"Kamu udah nentuin mau ambil univ mana, Di?" tanya Alanis saat mereka sudah di kantin.
Dio menelan buburnya sebelum menjawab. "Aku mau ambil STAN."
"Jadi yang kemarin itu beneran?"
Dio mengangguk. "Beneran dong." Farhan memang sudah mewanti-wanti kalau ia harus mencoba tes PKN-STAN sejak mulai masuk kelas dua belas. "Kamu sendiri gimana? Mau ngambil SNMPTN?"
Sepengelihatan Dio, sejak mereka mulai bimbingan belajar empat minggu lalu Alanis tidak terlihat semangat. Cenderung bermain-main dengan beberapa temannya.
Alanis memalingkan wajahnya. "Gak tahu."
"Coba aja, Anya juga mau nyoba."
Anya lagi. Kemarin ia mengeluh karena nilai ulangan harian matematikanya hanya enam puluh, dan Dio mengatakan Anya pun mendapat nilai lebih rendah darinya, namun langsung belajar dengan giat lagi. Kenapa hidup pacarnya tidak jauh-jauh dari Anya?
"Aku gak sepinter dia."
"Gak boleh bilang gitu. Kita belajar sama-sama. Usaha gak akan mengkhianati hasil."
"Hm. Mungkin aku mau masuk swasta."
"Kok?" Dio mengernyit.
Alanis mengangkat bahunya tak acuh. "Mama gak maksa aku buat masuk negeri. Sebenernya aku juga bingung mau ngambil prodi apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Teen FictionDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...